Contents
RABU WAGE
4. Balasan Untuk Mereka
Wage berjalan sambil membawa dua kantong kresek hitam besar menuju sebuah bangunan mirip posyandu. Gadis ini tahu jika bangunan tersebut kalau malam hari suka dialihfungsikan sebagai tempat berkumpulnya para anggota karang taruna yang beberapa di antaranya adalah anak - anak yang tadi membuat adiknya harus menjadi tumbal acak pohon keramat.
Seperti dugaan Wage, dari jauh ia bisa mendengar sedikit suara berisik dari para pemuda yang tengah berkumpul itu. Gadis ini pun tahu jika mereka sebenarnya tidak benar - benar sedang rapat atas diskusi mengenai bagaimana memajukan perkampungan dengan sumbangsih dari pemudanya, lebih tepatnya di kampung ini para pemudanya cenderung malas dan lebih suka nongkrong tidak jelas saja. Wage sudah hafal betul kalau malam ini biasanya mereka akan berkumpul untuk memainkan game online bersama - sama istilahnya mabar mungkin.
Dengan langkah pasti tapi tanpa suara, Wage berjalan ke arah belakang bangunan dan mencari sesuatu untuk membantunya mengintai dari luar.
Wage menemukan ada sebuah tangga yang terbuat dari kayu yang bisa dipakai olehnya untuk mengintip di sebuah ventilasi yang cukup besar. Saking besarnya ia bisa masuk ke dalam melalui ventilasi tersebut sebenarnya hanya saja Wage memiliki rencana lain yang dijamin akan membuat mereka kapok sudah berurusan dengan keluarganya.
“Astaga, sial banget ini bocah apek enggak bisa pake strategi apa kalau maen,” celetuk seorang pemuda yang terlihat sangat kesal dengan kegagalan dari timnya. Wage memicingkan matanya dan ia bisa melihat kalau itu adalah anak yang membuat adiknya terikat di pohon.
“Bener Gus, males gini kalau pake anggota random,” sahut yang lainnya.
Wage turun lalu menyiapkan sesuatu yang akan ia pakai untuk membalas perbuatan anak - anak itu. Gadis yang sedang memakai pakaian serba hitam ini merasa beruntung karena ia bisa berkamuflase dengan lingkungan sekitar yang gelap, Wage yakin tidak akan ada yang melihat gerak - gerik nya kecuali pocong yang sedang berdiri di dekat pohon pisang tak jauh darinya.
“Kamu sedang apa?” suara parau terdengar dari arah pepohonan yang kalau orang biasa lihat mungkin tidak sadar ada makhluk halusnya.
“Bukan urusan kamu,” jawab Wage ketus.
“Ini bisa jadi urusanku karena kamu sedang berada di area terotoriku,” pocong itu terdengar tidak ramah, Wage beri dia bintang satu.
Gadis ini sudah tahu jika si pocong hanya sedang menggertak saja agar dia takut dengan penampakannya tapi yang tidak diketahui oleh si makhluk berbungkus kain putih lusuh itu adalah, Wage tidak akan pernah takut sama sekali dengannya.
“Sejak kapan ini jadi wilayah kamu?” tanya Wage datar sambil membuka terus kresek hitam besar itu.
“Aku di sini sudah lama, semua orang sudah tahu itu.”
“Tapi sayang ya semua orang enggak tahu kamu ada di situ tuh. Makanya kalau jadi hantu yang kerenan dikit, jangan pake baju mirip warna pohon pisang mana ada orang yang ngeh,” mendengar ucapan Wage pocong yang tadinya masih terlihat biasa tiba - tiba berubah menjadi raksasa.
Ukurannya bertambah tinggi dengan mata merah yang menyalak menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Wage.
“Hah serius,” dengus gadis itu kesal melihat perubahan wujud si makhluk astral di depannya ini.
“Jangan pernah berani menantangku wahai manusia,” suara si pocong terdengar menggelegar.
Wage menghentikan kegiatannya membuka kantong kresek sesaat lalu melangkah mau dan menengadah melihat ke arah si pocong.
“Percuma kamu mau berbentuk seperti apapun aku enggak akan takut sama sekali tapi sebaliknya,” tiba - tiba Wage menempelkan telunjuknya ke bagian bawah tubuh si pocong.
Seketika pocong itu berteriak kesakitan yang lama kelamaan berubah menjadi suara tangisan minta tolong.
Mendengar ada suara aneh dari arah luar, para pemuda yang berada di dalam bangunan tersebut menghentikan kegiatannya.
“Suara apa itu? Ada yang nangis ya?” pemuda berada di ujung kursi panjang dekat pintu belakang celingukan.
“Ah palingan kucing lagi kawin,” seru si pemimpin yang berhasil membuat mereka melanjutkan kembali kegiatannya.
Sementara di tempat Wage, si pocong yang tadi berubah ukuran menjadi pocong raksasa kini kembali ke ukuran semula yang tingginya tidak lebih dari tinggi Wage.
“Ampun, ampun!” suaranya terdengar lirih.
“Makanya jangan macam - macam sama aku,” ucap Wage yang membuat pocong itu menunduk.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan si pocong? Jadi saat Wage menyentuh bagian bawah tubuhnya itu, si gadis bisa menerawang masa lalu kenapa makhluk ini bisa gentayangan dan selalu berada di area pohon ini. Wage tahu jika sebenarnya pocong ini mati karena kebodohannya di masa lalu yaitu ia mati karena main petak umpet dengan teman - teman sebayanya. Dulu si pocong ini tidak berniat jadi pocong dan tidak tahu akan mati seperti ini, yang ia tahu hanya ia berusaha bersembunyi menggunakan kain yang warnanya mirip dengan pohon pisang makanya ia bersembunyi di dekat pohon tersebut dan saking hampir tidak terlihat oleh teman - temannya maka tidak ada yang tahu dia di sana.
Namun tiba - tiba ada mobil dengan rem yang blong menabrak si pohon tempat dia berada. Anak - anak yang melihat kejadian itu kaget ternyata ada orang yang dari tadi berdiri di pohon pisang tapi karena benturan yang keras orang itu terdorong dan terjungkal sampai si kain yang dipakainya menggulung sendiri. Saat di temukan oleh warga lain keadaanya sudah terbungkus rapi tapi kalau dibuka kondisi tubuhnya sangat mengenaskan.
“Itu kecelakaan kenapa kamu tahu kelemahanku,” ucap si pocong kepada Wage.
“Ya jelas, aku tahu itu kelemahanmu karena sampai sekarang kamu sendiri belum ikhlas kan dengan musibah yang menimpa kamu di masa lalu itu kan? Antara malu dan kesal jadi satu,” tebakan Wage benar, pocong itu lalu berhenti menangis.
“Maaf ya cong bukannya aku membuka aib, hanya saja itu kejadian yang sangat konyol dari penglihatanku. Mendingan daripada kamu gentayangan enggak jelas kamu belajar ikhlasin peristiwa itu daripada kamu terus digerogoti aura negatif, mati karena petak umpet harus dibuang dari memori kamu ganti dengan sugesti kalau itu memang takdir kamu,” papar Wage membuat si pocong tertegun, wajah yang sempat menyeramkan perlahan berubah menjadi wujud wajah manusia miliknya dulu.
“Tapi seharusnya aku masih hidup kalau enggak terjadi kecelakaan itu,” ucap si pocong terdengar miris sekali tapi mau bagaimana lagi Wage sudah menekankan kalau itu memang takdir.
“Aku kan tadi udah bilang cong, enggak usah dipikirin lagi,” gadis itu masih berusaha menghibur si pocong yang entah apa dia terhibur dengan perkataannya.
“Gini aja deh, daripada kamu marah, sedih dan malu mengingat kejadian di masa lalu mendingan sekarang bantuin aku yuk,” aja Wage sambil menyeringai membuat auranya lebih menakutkan daripada hantu.
“Bantu apa?”