Try new experience
with our app

INSTALL

UNLOCK YOU 

Dua Mimpi

PIPI saya perih. Mungkin memerah.

Inilah kedelapan kali Ayah dengan pengaruh alkoholnya memukul pipi saya. Tentu setelah Ibu terkapar tak berdaya di lantai keramik rumah, dan tak sanggup lagi membela saya. Saat Monster keluar dari jiwa Ayah, iblis dalam diri saya sebenarnya ingin lepas. Namun pertanyaannya : apakah saya bisa melawan pria ganas besar yang mabuk ini?

Saya kembali sadar. Waktu itu saya masih sepuluh tahun. Masih ingusan!

"Dia darah dagingmu, Mas!" teriak parau Ibu terduduk dengan punggung tegak, setelah tersungkur di lantai ruang tamu. Kakinya sudah lebam, hasil tendangan keras Monster hanya karena lama membukakan pintu rumah. Ya, hanya masalah itu! Tapi bagi Ibu dan saya, itu bukan lagi HANYA masalah kecil. Sekali memancing amarah Monster, sama saja merelakan diri untuk disiksa.

Mata merah Monster menatap Ibu. Nyalang dan garang. Dia seperti menguliti kami. Saya bergidik, tapi mencoba tetap bertahan.

"Persetan dengan anak ini!" jawabnya penuh hinaan ke arah saya. Lalu dia tertawa keras. Suaranya berat menggelegar. Sungguh, Monster ini sangat mengerikan. "Ini malam terakhir kalian. Besok batas waktu kalian angkat kaki dari sini. Aku sudah bosan melihat wajahmu. Dan wajahmu. Sumpek!" kata Monster sambil menunjuk-nunjuk wajah kami bergantian dengan penuh ancaman. Bola matanya melotot ke arah kami.

"Kenapa, Mas?" tanya Ibu sambil mencoba berdiri dengan susah payah.

Saya langsung menghampiri tubuh ringkihnya, membantunya untuk sekadar berdiri, menegakkan tulang betis yang mungkin sudah retak akibat serangan kaki besi Monster ini.

"Dasar perempuan bodoh! Itu artinya, aku sudah tidak butuh kalian lagi!"

Mendengar ucapannya itu, hati saya teriris. Perih. Satu lagi luka yang terekam dari Ayah. Sedangkan Ibu memilih untuk tak bersuara. Napasnya terdengar berat. Saya tahu, seberat apa beban yang Ibu pikul saat lelehan air mata jatuh lagi dari pelupuk rapuh matanya.

"Awas! Kalau besok aku bangun dan masih melihat kalian? Bersiaplah untuk mati!"

Kalimat terakhir Monster itu sialnya selalu terekam jelas dalam jiwa saya. Pun, semua siksaan, dan penderitaan yang Monster itu sematkan. Bilur-bilur luka ini seperti terabadikan dalam hati saya.

Saya dan Ibu pun berkemas, membungkus luka-luka ini di kota asal Ibu dilahirkan. Di rumah Nenek yang selalu setia menanti kami pulang, Semarang.

"Bumi, bangun. Bangun, Le," suara Nenek memutus mimpi saya.

Saya terkesiap dan terbangun dari tidur. Ternyata, tadi malam saya tertidur di laboratorium.

"Tidur kok sambil duduk. Ndak bagus. Lha terus kamar kamu buat apa?" ucap Nenek mengelus rambut saya yang kata beliau lebat dan lurus. Enak dielus-elus. "Hari ini kan hari pertama kamu ke kampus. Ojo sampai telat."

"Iya, Nek," ucap saya singkat masih belum bisa lari dari mimpi tadi.

"Wis, sak iki mandi, lalu sarapan. Besok kalau sudah selesai belajarnya, langsung ke kamar. Jangan kebablasan tidur di sini lagi," pesan Nenek sebelum keluar.

Saya mengangguk dan tersenyum. Namun, senyum ini mendadak pudar setelah tubuh Nenek ditelan pintu laboratorium saya yang tertutup otomatis.

Saya masih memikirkan kenapa bisa Monster itu datang lagi dalam mimpi?

Ya, hanya ada dua mimpi yang selalu mendatangi saya. Mimpi tentang masa lalu antara saya, Ayah, dan mimpi tentang masa depan, jodoh saya. Saya tidak bisa melarang mimpi-mimpi itu untuk datang. Mereka seperti sudah melekat dalam memori, dan melebur dengan darah saya. Meskipun saya sendiri tidak seratus persen tahu, apa arti mimpi-mimpi itu untuk hidup saya. Saya hanya percaya mimpi-mimpi ini adalah cara Ibu melindungi saya. Sudah lama mimpi masa lalu ini tidak muncul. Biasanya jika mimpi ini muncul, akan ada hal buruk akan menimpa saya.

Apakah ini peringatan dari Ibu, jika ada hal buruk akan menimpa saya di hari pertama OSPEK?