Try new experience
with our app

INSTALL

CINTA TERLARANG 

Pertemuan Pertama Dua Keluarga

RENNE yang maniak kopi begitu antusias saat tahu di dekat apartemennya sedang ada launching kafe baru. Sekarang dia tidak perlu buang uang buat jauh-jauh ke coffeeshop saat menulis. Dia cukup turun dari apartemennya dan jalan kaki sebentar untuk menyetok kadar kafeinnya di kafe baru bernama Kopanda.

“Mami, ikut dong. Mau ikut icip menu kafe baru di bawah,” mohon Jianna yang masih dalam masa tunggu daftar ulang masuk ke SMA Harapan Bunda.

“Serius, cuma pakai outfit kayak gitu?”

“Ah, malas dandan, Mam.”

“Yudah, kamu di rumah aja kalau gitu,” ancam Mami serius. Penampilan adalah hal yang perlu di jaga di mana pun. Apalagi ini kafe baru launching tadi pagi. Baju kasual pun harus tetap dipikirkan.

“Tungguin!” jerit Jianna memelesat ke kamarnya yang masih berantakan. Tepatnya, seluruh isi apartemennya masih berantakan. Kata Mami, beres-beresnya bertahap aja, biar nggak tepar. Kayak nyicil utang gitu.

Setelah Jianna siap, Ibu anak itu pun berjalan kaki ke arah bangunan estetik sebelah minimarket di dekat apartemen. Renne selalu menganggap jalan yang dia pijak adalah red carpet untuknya catwalk. Jadi saat memasuki Kopanda, langkahnya yang jenjang dan anggun menarik perhatian semua pengunjung. Renne langsung mencari tempat duduk yang masih kosong. Perkara pesan memesan dia serahkan kepada Jianna.

Jianna yang membuntuti maminya masuk seketika terkesima dengan interior Kopanda. Selain, kelezatan yang disuguhkan di tampilan display rack sebelah kanan kafe, ada juga display rack yang menampilkan senjata para barista seluruh dunia. Ya, di rak bagian kiri itu Jianna bisa menyaksikan deretan alat-alat brewing method sebuah kopi. Mulai dari V60, pour over coffee dengan paper drip sebagai filter, alat sederhana french press yang berukuran jumbo, syphone—alat brewing dari kaca yang seperti sebuah piranti di laboratorium kimia, hingga alat tercanggih yang menggunakan sistem tekanan.

Puas melihat-lihat alat-alat itu, Jianna kemudian mendekat ke arah rak berisi kue-kue manis untuk memesan menu khusus maminya. Dia sudah hafal luar kepala pantangan-pantangan maminya. Tugas pesan memesan memang sudah menjadi tanggung jawabnya kalau dia mau dapat uang jajan dari Mami.

Di waktu yang sama Karel juga sedang berjalan ke arah display rack untuk mengecek jumlah semua persediaan eclair yang masih terpajang. Betapa kagetnya dia saat melihat pengunjung cewek berdiri di depannya angkuh dengan kacamata hitam sebesar jengkol tersuntik silikon.

“Aku mau dibikinin cake spesial. Nggak pakai manis!” kata Jianna kepada Karel dengan suara yang nyebelin. Bossy, dan yeah, tipe pengunjung yang perlu dihindari.

“Kamu nggak dengar? Malah diem kayak monas.”

Mendengar putrinya berbicara dingin ke pelayan kafe, Renne langsung mendekat ke arah Jianna.

“Je, sudah ah. Malu dilihatin banyak orang,” ucap Renne yang Karel sangka adalah adalah kakak si cewek bossy ini.

Karel menilai Renne lebih agak sopan karena kaca mata hitam bulat, super gede-nya itu mau dilepaskan. Memandang perempuan tinggi ber-hotpant jeans di depannya itu, Karel malah terpesona dengan keanggunan dan keseksiannya. Tidak seperti gadis bossy yang enggan melepas kacamata hitamnya ini. Perempuan  satunya terlihat cantik dan lebih dewasa. Kalau boleh dia menyandingkannya dengan aktris indonesia, tidak keterlaluanlah jika Ralin Syah menjadi aktris yang paling mirip dengannya.

“Mana ada sih orang di kafe ini?” bantah Jianna kepada Renne sambil mengedarkan pandangannya. “Tuh, acuma ada satu pengunjung yang lagi minum kopi. Yang lain mana? Cuma karyawan sok sibuk kan? Ini pasti kafe nggak laku banget.”

Apa cewek sinting ini bilang? Karyawan sok sibuk? Kafe nggak laku?

Ah, benar-benar ini cewek minta dikasih pelajaran! Mana minta kue yang nggak manis lagi? Gila! Mana ada, bocah aneh!

Emosi Karel sudah meletup-letup melihat tingkah cewek di depannya. Namun, dia berusaha menahannya. Ini hari pertamanya. Dia tidak ingin mood bahagianya karena kesuksesan launching pagi tadi dihancurkan begitu saja oleh cewek gila ini!

“Sudah Je, ayo kita duduk dulu,” ajak perempuan yang mirip dengan Ralin Syah itu sambil menarik lengan cewek bossy menuju kursi di dekat satu-satunya pengunjung kafe. Ya, dia Marvin, yang ternyata secara diam-diam mengawasi dan mencuri dengar percakapan dua perempuan itu.

“Eh, paman cantik! Jangan lupa tadi pesananku! Ingat, kue nggak pake manis!” pungkas Jianna kepada Karel yang hanya bisa diam, bergeming, mematung, shocked, dan beneran mirip monas mengatasi pengunjung yang sangat tidak sopannya itu. Apalagi, dia memanggilnya dengan PAMAN CANTIK?!

Kurang ajar ini Bocah, apa tampangku sudah benar-benar setua itu?

Oke, Karel akui, cewek itu memang masih imut, tidak terlalu tinggi, seperti kakaknya. Wajahnya juga sepertinya cantik, andai kaca hitam sebesar lingkaran jengkol yang disuntik silikon itu dilepasnya. Pasti dia masih anak SMA, terka Karel sambil bersungut-sungut ke arah dapur untuk membuatkan kue-tak-manis-tanpa-gula pesanan cewek yang dianggapnya sinting itu.

Setelah dua cewek cantik, penyedot perhatian semua kaum adam di Kopanda, duduk anggun di salah satu kursi kafe, Habibi mendekati mereka dengan satu buku pesanan. Dia berniat, terjun sendiri menawarkan sorbeto-sorbeto buatannya. Mungkin saja, sekali mendayung, dua pulau bisa terlampaui. Sorbeto laris, dan salah satu perempuan cantik ini, bisa dia dekati.

List menu kafe diberikan Habibi dengan sopan. Senyum manisnya seolah dia suguhkan seperti gelato buatannya yang juga manis, lembut, dan tentu segar. Tetapi sayang, sepertinya mereka bukan perempuan penyuka sesuatu yang manis-manis, termasuk balasan datar dan tidak acuh dari mereka melihat aksi PDKT si Habibi ini.

“Mam, pesen apa?” tanya Jianna sambil melepas kacamata lebay-nya itu.

Dan WOW! Habibi seperti terhipnotis dengan kecantikan gadis imut di depannya itu. Rambut panjang dengan ikal di ujung-ujungnya, mata yang besar diapit bulu-bulu mata tebal dan lentik alami, seperti boneka-boneka india. Dan yang membuat Habibi begitu terkesan akan penampilan gadis itu adalah, kombinasi yang amat akurat dari mulai hidung mancung, bibir sensual, namun tidak begitu tebal, dan lekukan di dagunya, yang seperti membelah.

“Haaah... ane meleleh,” hati Habibi mengomentari semua detail wajah Jianna dengan tubuh yang terasa lemas.

Black coffee. French Press aja, Je,” perintah perempuan yang disebut Jianna dengan panggilan Mam itu sambil membaca sebentar buku yang ada di tangannya.

“Sini, Mas Arab,” panggil Jianna pada Habibi untuk mendekat ke arah mejanya.

Habibi yang belum sadar akan panggilannya itu, atau lebih tepatnya belum yakin dengan suara serak Jianna yang seksi itu, dia tetap berdiri dengan muka shocked. Seperti yang terjadi kepada Karel tadi. Diam-bergeming-mematung-dan-beneran-mirip-monas.

“Mas!” panggil Jianna sedikit menaikkan nada suaranya tanpa mempedulikan mata Marvin yang kini tertuju kepadanya.

“Iya, pesan apa, jadinya?” tanya Habibi dengan suara yang bergetar karena dia benar-benar dalam guncangan badai grogi berhadapan dengan Jianna.

“Pesan black coffee satu. Dengan press brewing, ya. Kalau aku, cappucino aja,” kata Jianna cepat dan angkuh.

“Siap, kami punya barista andal kok. Ada Mas Evan, di sana,” ucap Habibi yang bagi Jianna tidak penting itu. Lalu dia juga menanyakan pesanan Jianna tentang kue tidak manisnya itu, apakah hanya lelucon, atau beneran dia pesan. Habibi menduga siapa tahu karena melihat wajah Karel yang tampan dan menarik, cewek SMA ini sengaja ingin mengerjai dia atau mencari-cari perhatian manajernya itu dengan cara memesan menu yang aneh-aneh. Namun, melihat Jianna yang sudah sibuk dengan gadget di tangannya, dan Renne tidak sedikit pun menarik perhatiannya dari buku yang dia baca, Habibi sedikit ragu.

 

“Hmm, maaf. Kue nggak manisnya, jadi?” tanya Habibi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Ya, jadi dong!” jawab Jianna agak kesal.

“Oh, oke. O ya, di sini juga ada gelato manis dan…”

“Nggak suka gelato manis!” potong Jianna yang langsung membuat Habibi memilih memutuskan untuk segera pergi dari meja dua pengunjung yang lebih terasa seperti tempat penyiksaan mental oleh para iblis bertubuh wanita cantik. Habibi lalu memberikan catatannya ke arah Evan yang tersenyum lebar.

Tawa barista itu mungkin lebih karena dia tertarik dengan dua gadis yang tahu brewing method yang buat pengunjung lain adalah hal yang masa bodoh, yang penting kopi yang disajikan enak. Satu kata kunci itulah yang membuat dua gadis itu spesial di mata Evan, pecinta kopi beneran. Mereka sepertinya sanggup menyesap kejujuran rasa kopi yang mereka nikmati. Persis seperti bosnya, Marvin. Dan Evan sudah bisa pastikan, dari diam duduknya dan koran yang menyembunyikan wajahnya, bosnya itu pasti sudah curi-curi dengar atau bahkan curi pandang ke dua perempuan itu. Ya, karena mereka begitu mirip dan memiliki frekuensi coffeeholic yang sama dengannya.

Berbeda dengan sikap Karel si manajer. Setelah mendengar perintah dari Jianna, juga sebutan Paman cantik kepadanya, dia seperti terbakar emosi. Semua sauchef yang ada di dapur dimintanya untuk tidak menyentuh apapun. Dia ingin membuat eclairnya sendiri. Eclair untuk perempuan sinting yang anti gula itu. Yeah, dia benar-benar merasa tertantang sekaligus terhina dengan sikap angkuh pengunjung pertamanya itu.

Dengan penuh emosi dan rasa terlecehkan, akhirnya dia menyelesaikan juga kreasi barunya. Eclair tanpa rasa manis. Semua yang berbau dengan gula dia singkirkan. Rasa gurih dan sedap khas daging menguar dari aroma eclair yang masih hangat dan menggugah selera. Toping abon sapi, tidak lupa dia ratakan di semua permukaan kulit eclair yang kecoklatan. Untuk krim pengisinya dia menggunakan original cream cheese, tanpa buah dan cokelat.

“Saatnya, kamu mengenal siapa aku cewek sombong,” desisnya ketika akan menghidangkan eclair hangatnya itu kepada sang pemesan yang sukses membuat emosinya.

Dan ketika hidangan karya agungnya itu hendak dia antarkan, hatinya terasa panas saat matanya menumbuk meja yang mereka duduki tadi telah kosong.

SIAL!

Tentu saja, Karel marah. Eclair yang dibuatnya susah-susah dengan keringat dan energinya sendiri itu seperti tidak dihargai. Betapa tidak punya sopan santunya dua gadis angkuh itu keluar begitu saja meninggalkan pesanan. Kalau pesanannya eclair biasa, Karel mungkin masih bisa terima. Ini kan eclair spesial yang dibuatnya dengan tangannya sendiri. Sang presdir chef Kopanda sampai turun tangan. Karel tidak habis pikir dengan jalan pikiran dua gadis berkacamata hitam itu. Jangan-jangan mereka itu sebenarnya buronan yang mencoba melarikan diri, atau penjahat yang sedang dicari-cari?

Padahal, dalam dasar hati Karel dia ingin membuktikan kepada bocah sombong itu bahwa eclair tanpa gula buatannya ini akan membuatnya ketagihan. Ah, ternyata dia sudah raib sebelum, sempat menilai betapa lezatnya kue buatanku ini.

“Mereka sudah pergi. Katanya kamu bikin kuenya kelamaan,” kata Marvin yang melihat Karel bengong dengan satu nampan eclair di tangan.

“Bapak, tahu banyak ya?” sindir Karel dengan wajah kesal yang masih terlihat jelas. Dia sedikit kesusahan saat memanggil Marvin dengan sapaan Bapak. Karena otaknya sudah lama menyimpan nama Papa untuk Marvin.

“Hahaha... tadi, saya mendengar percakapan mereka. Dan tenang saja, Rel. Mereka berdua tinggal di apartemen milik saya kok,” tambah Marvin sambil tersenyum nakal.