Contents
RABU WAGE
2. Siapa Kita?
“Jadi siapa anak - anak yang membuatmu terikat di pohon itu?”
“Aku enggak tahu sih yang jelas mereka masih anak kampung sini,” jawab si remaja yang kini sedang mengambil kantong kresek yang terjatuh tak jauh dari tempatnya.
“Itu apa?”
“Lato - lato,”
“Buat apa?”
“Buat tugas sekolah masa buat dimakan,” jawabnya sambil sedikit tertawa berharap bisa mencairkan suasana hati sang kakak.
“Kak Wage, kenapa diem aja?” ia balik bertanya.
“Enggak, mendingan kita pulang saja sebelum ibu dan ayah semakin panik,” perintahnya sambil beranjak pergi dan menarik tubuh adiknya agar berjalan lebih cepat karena waktu sudah malam dan sudah banyak makhluk lain yang keluar kandang.
“Kak, aku mau tanya tadi kakak lihat sesuatu enggak sebelum bertemu denganku?”
“Kenapa?” Wage balik bertanya kepada adiknya.
“Aku mendengar ada suara - suara termasuk bisikan dan tawa yang melengking dari perempuan,” jawabnya dengan suara pelan karena masih di area kebun.
“Nanti saja di rumah ceritanya,” jawab Wage singkat.
***
DI sudut kampung yang agak jauh dari pusat keramaian, membentang ladang ilalang tinggi yang hampir menutupi sebuah rumah kecil dengan pagar kayu berwarna hitam.
Wage dan adiknya –Surendra, berjalan bersama mengikuti arah jalan setapak di antara ribuan ilalang yang berdiri itu.
Sedangkan rumah yang tersembunyi lama kelamaan bisa terlihat jelas. Rumah yang tampak kecil dari luar dengan halaman yang luas sedikit gersang tapi masih terselamatkan dengan adanya dua pohon kembar yang berada di samping kanan kirinya membuat seolah - olah menjadi dua pilar tinggi penjaga istana.
Dari kejauhan Wage sudah bisa melihat ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah yang sangat khawatir.
“Eh Wage, kamu berhasil menemukan adikmu,” ucap ibu langsung menghampiri kedua anaknya yang masuk ke area pekarangan.
Sang ibu langsung memeluk anak bungsunya yang terlihat sangat kurus dan berantakan karena bekas menangis tadi sedangkan Wage memilih untuk langsung masuk ke dalam.
“Ketemu di mana?” tanya ibunya sebelum si anak sulung benar - benar masuk.
“Pohon keramat di tengah kebun Pak Kade,” ucapnya datar lalu melanjutkan langkahnya.
Di dalam rumah, terlihat ayah sedang bermain dengan seekor monyet berwarna putih berukuran kecil. Beliau terlihat sangat fokus bermain sampai tidak sadar anak perempuannya masuk.
Beberapa saat kemudian Ibu dan Surendra masuk dan menyapa beliau.
“Sayang Rendra sudah ketemu,” ucap sang istri membuatnya berhenti bermain.
“Syukurlah, ketemu di mana?” tanya beliau sambil menghampiri kedua anggota keluarganya itu.
“Wage menemukannya di pohon keramat di kebun Pak Kade,” mendengar ucapan sang istri, ayah langsung terlihat tidak tenang. Ada kecemasan yang tercetak di wajahnya.
“Ko-kok bisa?”
“Entahlah, yang penting Rendra pulang dengan selamat,” jawab ibu sambil mengelus pucuk kepala putra bungsunya.
“Bukan hanya itu saja, ayah khawatir dengan Wage,” raut wajah ayah semakin membuat ibu dan Rendra kebingungan.
“Kamu tahu apa yang dia akan lakukan jika tahu siapa yang menyebabkan adiknya kesulitan terlebih saat tahu Rendra ada ditemukan di pohon keramat.”
Ibu dan Rendra saling menatap seakan tahu apa yang dimaksud oleh ayahnya.
***
Sekitar dua jam setelah kembali ke rumah, Rendra merasa curiga terhadap kakaknya yang dari tadi tidak keluar kamar. Gadis itu pun melewatkan makan malam bersama keluarganya.
“Apa Wage baik - baik saja?” tanya Ayah setelah ia menyeka mulutnya.
“Aku harap sih baik - baik saja. Ren tadi kakak kamu tidak terlihat aneh kan?” Ibu bertanya kepada Rendra.
“Enggak bu,” jawabnya singkat lalu meminum segelas air putih dan menandakan ia sudah selesai makan.
“Aku cek dulu sebentar ke kamarnya,” ucap Rendra sekalian beranjak dari kursi.
Remaja tersebut berjalan menaiki tangga menuju kamar Wage yang berada di lantai dua, tak perlu waktu lama ia sudah berada di atas dan dapat melihat pintu kamar kakaknya yang berwarna hitam.
Rendra melangkah perlahan mendekati pintu yang memiliki tulisan “AWAS ANJING GALAK” menempel di sana. Sambil mengetuk pintu perlahan, Rendra menempelkan daun telinganya untuk memastikan jika kakaknya masih hidup.
“Kak, aku boleh masuk?”
Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam, Rendra berpikir jika kakaknya mungkin sudah tidur tapi sayang hatinya terus mengatakan jika ada sesuatu hal yang aneh sedang terjadi di dalam.
“Kak?” Rendra kembali mengetuk pintunya kali ini lebih keras.
KLEK! Terdengar suara kunci yang terbuka
lalu secara perlahan pintu itu bergerak.
“Astaga kakak, apa yang sedang kamu lakukan,” Rendra berteriak cukup kencang saat ia terkejut melihat lantai kamar kakaknya penuh dengan lilin dan boneka.
Wage menoleh ke arah adiknya sambil menyeringai, Rendra sendiri cukup ketakutan melihatnya.
Adiknya tersebut tanpa sadar masuk ke dalam kamar dan seketika pintunya tertutup sendiri dan membuatnya kaget sampai hampir meloncat.
Merasa ini bukanlah sesuatu yang biasa Rendra mendesak kakaknya agar mau menceritakan maksud dari perbuatan yang dilakukan Wage ini.
“Kak serius, kamu lagi ngapain sih?”
“Ren, kamu pernah mendengar istilah menyakiti tanpa menyentuh,” jawab Wage dengan nada bicara yang datar dan dingin.
“Apa itu kak? Apakah semacam santet atau teluh?” Wage menyeringai mendengar pertanyaan balik kakaknya.
“Aduh kak jangan berbuat yang aneh - aneh deh, “ Rendra memperingati kakaknya saat melihat ekspresi dari wajahnya itu.
Wage menatap tajam ke arah adiknya lalu berdiri karena tadi ia sedang terduduk di lantai, di tengah lilin - lilin yang ternyata membentuk sebuah simbol pentagram dan dikelilingi boneka tanpa rupa itu.
Gadis itu berjalan perlahan menghampiri adiknya dan memajukan wajahnya ke arah telinga sambil berbisik, “Kamu takut?”
Keringat tiba - tiba saja menetes dari pelipis Rendra, ia paling takut dengan hal - hal yang berbau misterius dan sangat mencekam seperti ini.
“Kak, aku mohon…”
“Haha,” tiba - tiba Wage tertawa, lama kelamaan semakin lepas sampai ia tidak bisa mengontrol diri.
“Woles aja Ren, aku enggak ngapa - ngapain. Ini aku lagi bikin boneka biasa aja dan sengaja pake lilin biar suasananya agak syahdu,” Wage kembali berjalan menuju saklar lampu dan menyalakannya.
“Ih kebiasaan. Apa faedahnya bikin boneka dengan cahaya remang, itu apalagi pake simbol - simbol pentagram sok - sokan jadi dukun ya.” omel Rendra karena merasa dipermainkan.
“Enggak juga sih, tadinya aku mau bikin postingan di Enstahgram ala - ala gothic juga, tapi kamu malah datang,” ucapnya sambil berjalan ke arah tripod yang terpasang tak jauh dari tempatnya tadi.
“Ck, ngapain bikin kayak gitu kak udah tahu keluarga kita selalu dipandang aneh. Kalau kakak posting kayak gitu yang ada entar digunjing lagi sama orang - orang kampung.”
Rendra berjalan menuju kasur Wage dan duduk di tepian sana, ia melihat kakaknya seperti tidak peduli dengan kecemasannya selama ini.
“Memangnya siapa yang aneh?” tanya Wage seperti tidak mengerti dengan maksud adiknya.
“Ya kita kak, keluarga Kliwon.”