Contents
Wasiat Perempuan Bharata
Bagian VII: Anak yang Tak Diinginkan Pagi
DEWI Kunti:
Namaku Pritha. Ayahku, Raja Surasena pemimpin wangsa Yadwa, memiliki banyak putra dan beberapa putri. Kakak sulungku, Basudewa yang gagah, pandai bertarung, dan bijaksana, adalah putra mahkota Dwaraka, kebanggaan keluarga. Cahaya kebesaran yang dimiliki Basudewa, sepertinya begitu menguasai dalam istana, hingga kehadiran kami, adik-adiknya, seakan-akan tak ada artinya.
Apalagi anak perempuan. Kami hanya berharga jika wajah dan tubuh kami sempurna, sehingga layak diperebutkan para kesatria. Jika di dalam satu keluarga ada beberapa anak perempuan, mungkin kehilangan salah satunya tidak akan dirindukan.
Kerap aku berpikir, apakah itu alasannya, ketika aku masih bayi diserahkan kepada Raja Kuntiboja? Kerajaan Dwaraka dan Kerajaan Kunti memang bersaudara erat bagai busur dan panah, berdekatan laksana bintang fajar yang menemani bulan saat tiba waktunya kembali ke peraduan. Demikian sayangnya ayahku Surasena kepada Paman Kuntiboja, melebihi kasih sayangnya kepadaku, putrinya sendiri.
Bukannya aku mengeluh. Tidak.
Aku menganggap ini adalah berkah dari dewa. Aku kini bukan lagi putri kesekian dari barisan keturunan Yadwa. Bagi Paman Kuntiboja, akulah putri satu-satunya, limpahan kasih sayangnya. Aku begitu dimanjakan, bahkan nama kerajaan pun dijadikan nama baruku.
Aku kini adalah Dewi Kunti, Raja Kuntiboja adalah ayahku yang sesungguhnya.
Para perempuan wangsa kami belajar mengenai kehidupan bukanlah dengan cara menjadi putri raja. Perempuan adalah perawat kehidupan, pengasuh keluarga, penuntun para lelaki yang bertugas memimpin. Adalah kelaziman bagi para putri remaja untuk belajar kebijaksanaan dari para brahmana, sambil merendahkan hati dengan melayani dan mengurus mereka.
Dan bagiku, hadirlah Resi Durwasa. Ayah memerintahkan aku untuk membantunya. Demi dewa, itu sama sekali bukan tugas yang mudah!
Durwasa bukan resi biasa. Ia bagaikan bara api yang tak pernah mendingin. Amarahnya mudah sekali tersulut. Kala itu, aku tak mengerti, bukankah seorang brahmana seharusnya memiliki pembawaan yang tenang? Bukankah para resi seharusnya membawa kedamaian? Mengapa resi yang satu ini terkenal dengan amarah dan kutuknya yang merajalela?
Kisah-kisah yang kudengar tentang kutuk yang terlempar akibat amarah sang resi membuatku begitu berhati- hati. Selalu kusapa Resi Durwasa dengan penuh hormat, kulayani ia layaknya tamu kehormatan di Kerajaan Kunti. Dengan sabar aku mendengarkan petuahnya, menjalankan nasihat-nasihatnya, demi membuatnya merasa nyaman.
Selama masa itu pula, aku belajar bahwa manusia dengan amarah yang meledak-ledak sesungguhnya bisa ditaklukkan dengan kelembutan. Seperti bara api yang disiram air sejuk. Seperti kemarau panjang yang dilimpahi hujan. Kayu yang keras akan terluka dan tercabik oleh anak panah yang tajam. Namun, jika ia dialiri perlahan dengan air yang sejuk, ia pun akan melembut.
Selama waktu yang ia habiskan di istana ayahku, beberapa kali kusaksikan sang resi mengamuk dan murka karena hal yang sederhana, tetapi aku tak pernah menjadi penyebabnya, tak sekali pun. Saat bersamaku, amarahnya tak pernah bangkit.
Itulah sebabnya, sebelum Resi Durwasa melanjutkan pengembaraan, ia memberikan hadiah atas pelayananku yang tanpa cela. Ia memberiku sebuah mantra bertuah, Aji Pepanggil. Sang resi mengatakan bahwa jika aku merapalnya, maka dewa mana pun yang kupikirkan akan hadir di hadapanku, siap memberiku seorang putra.
Aku sempat tercenung, hadiah macam apa itu? Dan lagi, mengapa putra, bukan putri? Karena anak laki- laki adalah harta paling berharga? Entahlah, aku tak berani mempertanyakannya. Aku terlalu takut memicu kemarahannya.
Namun, aku tetaplah seorang remaja, darah mudaku yang teredam selama masa bakti pada Durwasa akhirnya menggelegak. Rasa keingintahuan menghantuiku bermalam- malam sejak kepergian sang resi. Apakah hadiah sang resi memang sekuat itu? Bagaimana jika tidak? Bukankah akan jadi sia-sia baktiku kepadanya?
Pada pagi hari ketujuhbelas sejak Aji Pepanggil aku terima, aku tidak mampu lagi menahan rasa penasaran. Aku membuka jendela kamar, menatap matahari yang baru saja hendak bangkit, lalu merapal mantra. Begitu saja.
Detik berikutnya, saat memejamkan mata erat-erat, aku merasakan penyesalan. Aku gegabah sekali. Sayangnya, seperti anak panah yang telah telanjur menuju sasaran, tak ada kesempatan untuk menarik mantra yang telah terucap.
Lalu kurasakan udara hangat menguasai tubuhku, bahkan dengan mata yang masih terpejam, aku menyadari bahwa kamarku dibalut cahaya yang demikian kuat. Aku telah memanggil Batara Surya.
Oh, tidak. Aku tidak benar-benar menginginkan itu terjadi. Aku hanya ingin tahu kalau ....
Ah, bodoh sekali kau, Kunti! Kumaki diriku sendiri.
Apa yang bisa dilakukan perempuan tak berdaya dalam situasi seperti itu? Kekuatan dewa takkan mampu kulawan. Sang Dewa Matahari telah meniupkan penggalan jiwanya ke dalam diriku. Aku sempat memohon kepadanya agar ia kembali ke kahyangan, tetapi tiada guna. Mantra telah terucap. Aku harus menanggung akibatnya.
Aku, Dewi Kunti, putri kesayangan Raja Kuntiboja, akhirnya harus menanggung malu akibat kecerobohanku sendiri. Aku mengandung anak dari Batara Surya, tetapi siapa yang akan percaya?
Dalam keputusasaan, aku memohon belas kasih dewa, demi menjaga kesucianku, dan kehormatan ayahku. Batara Surya memenuhinya. Anakku lahir secara ajaib, dalam keadaan terlindung oleh baju perang dan anting-anting emas berkilauan, anugerah dari ayahnya, sang Penguasa Pagi. Keperawananku pun dipulihkan.
Dia, bayi tampan rupawan yang wajahnya bersinar indah, adalah anak yang tak kuinginkan. Dengan air mata berurai, kubalut tubuhnya—kutahu itu sia-sia karena matahari akan selalu menghangatkannya—dan kubawa ia dalam keranjang, lalu kuhanyutkan di sungai.
Tak kutengok lagi ke mana keranjang itu hanyut dibawa aliran sungai. Hendak kututup rahasia kelam ini rapat-rapat. Jauh di dalam hatiku, aku sadar bahwa rahasia, walau dikubur sedalam apa pun, akan kembali bangkit dan manusia harus menanggung akibat dari setiap tindakannya. Tentu saja aku tahu itu.
Akan tetapi, saat ini, ada masa depan yang harus kusambut. Anak yang tak diinginkan bukanlah bagian dari itu.
***