Try new experience
with our app

INSTALL

Askara sang penerus tahta 

7. Mengunjungi Opa Surya

- Bandung -


Angin berhembus pelan menyapu rerumputan, padi-padi di sawah bergoyang mengikuti irama musik alami.


Pak Surya, ayah kandung Andin berdiri di tepi sawah, memejamkam mata menikmati suara angin dan hangatnya sinar mentari pagi.


Tak terasa air matanya menetes di pipi bulat namun sudah mengeriput, rambut dan jenggot yang sudah memutih memberikan kesan tua pada laki-laki yang telah menjadi cinta pertama Andin dan adiknya yaitu Elsa.


"Mah, bukankan suasana seperti ini yang mamah inginkan?" Ucapnya pada diri sendiri sambil membayangkan wajah istrinya Sarah yang sudah lama di panggil tuhan.


"Maafin papah belum bisa menjadi suami yang baik untuk mamah, papah rindu sekali." Lanjutnya.


Tiba-tiba lamunan nya buyar dikala suara telfon mengagetkannya.


"Andin telf." Wajahnya berubah menjadi ceria saat melihat nama Andin di layar ponselnya.


"Assalamu'alaikum nak." Dia mengangkat telfonnya.


"Wa'aaikumsalam pah." Jawab Andin. "Papah sehat?" Tanyanya.


"Alhamdulillah sayang, kamu sendiri gimana nak, sehat?"


"Alhamdulillah pah, oh ya pah. Mas Al bilang besok kita mau ke tempat papah. Boleh?"


"Haha." Pak Surya tertawa. "Kenapa ga boleh, papah senang kalian kesini. Papah juga sudah rindu sekali dengan si bungsu Rania."


"Baik pah, jaga diri baik-baik ya. Sampai jumpa besok. Assalamu'alaikum."


"Kamu juga nak. Wa'alaikumsalam. Warahmatullahi. Wabarakatuh."


Setelah menutup telfon, pak Surya berlari ke dalam rumahnya yang berada tak jauh dari tempat berdirinya tadi. Dia memang sengaja lebih memilih tinggal di sebuah kampung dibanding di kota. Lebih sejuk dan tenang katanya.


Pak Surya tinggal disini di temani oleh Marni dan suaminya beserta anak perempuan satu-satunya. Suami Marni yang bernama Putra merupakan mantan pegawai Aldebaran yang sekarang sudah mempunyai usaha sendiri walau masih kecil-kecilan.


Mereka juga disuruh Aldebaran untuk membantu pekerjaan rumah karena pak Surya yang sudah tidak sanggup mengerjakannya.


"Pak Surya keliatannya seneng banget hari ini?" Tanya Marni yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan melihat pak Surya masuk dengan tawa bahagia.


"Iya, besok anak dan cucu cucu saya mau kesini." Pak Surya tersenyum lebar.


"Oalahhh pantesan wajah pak Surya ceria sekali, siapa pak, neng Elsa sama den Abi?" Tanyanya kembali.


"Bukan Mar, Elsa sama Abi kan masih di Aussie. Andin sama Al sekeluarga yang akan kesini."


"Neng Rania ikut dong pak?"


"Pasti dong."


"Rania mau kesini bu?" Teriak seorang perempuan yang tak lain adalah anak Marni. Kebetulan usia nya sama dengan Rania.


Perempuan itu berlari dari kamarnya menghampiri Marni di meja makan.


"Beneran bu, Rania mau kesini?" Tanya nya lagi.


"Iya neng geulis."


"Ahhhh,," Dia berteriak memeluk ibunya.


"Tiara, jangan kaya anak kecil ah. Malu sama pak Surya." Protes ibunya.


"Udah ga pa pa, biar Tiara mengekspresikan kebahagiaannya karena akan bertemu Rania. Sudah lama juga kan mereka ga ketemu." Pak Surya terus menebar senyuman.


Tiara tersenyum bahagia mendengar pernyataan pak Surya.


"Udah udah, cepet bantuin ibu bawa makanan dari dapur kesini. Trus nanti temani ibu belanja ke pasar. Buat persiapan besok menyambut Pak Al sekeluarga."


"Siap bu."


***


"Anak-anak udah belum packing nya?" Teriak Aldebaran dari luar kamar Askara dan Rania yang kebetulan bersampingan.


"Bentar lagi pah." Jawab Askara.


"Bentar pah, ini lagi di bantuin miss Kiki." Teriak Rania.


"Papah tunggu 10 menit lagi, kalau belum selesai di tinggal ya."


"Iya pah." Serentak keduanya dari dalam kamar.


Aldebaran kembali menghampiri Andin yang sedang terduduk di tepi kasur sambil merenung.


"Kenapa sayang." Al mencium mesra kening istrinya itu.


"Kemarin Askara bilang mas kalau kamu nyuruh dia gantiin posisi pak Rendi untuk sememtara. Apa itu ga berlebihan mas?" Andin mengernyitkan dahinya, menatap Aldebaran lembut agar suaminya itu tidak salah paham dengan ucapannya.


"Ga lah sayang, kan sambil belajar juga. Saya ga terlalu memgharuskan dia untuk langsung bisa. Bertahap step by step." Al duduk disamping Andin kemudian merangkul istrinya ke pelukannya.


"Tapi mas, belum tentu kan Askara paham di bidang itu. Bisa jadi ada bidang lain yang dia lebih sukai." Andin memeluk pinggang Al.


"Kewajiban lebih penting dari pada keinginan, dan kewajiban dia adalah meneruskan bisnis keluarga karena dia adalah putra tunggal Alfahri." Jelas Al yang kelihatannya mulai risih dengan pembahasan mengenai Askara.


Merasa tidak akan menang jika berdebat dengan suaminya, akhirnya Andin memilih mengalah terlebih dahulu sambil memikirkan bagaimana caranya menjelaskan kepada suaminya mengenai keinginan Askara sebenarnya.


***


Setelah semuanya siap, mereka pun pergi ke Bandung menggunakan dua mobil. Al, Andin beserta kedua anaknya pergi menggunakan mobil pribadi Aldebaran sedangkan Kiki dan Mirna menggunakan mobil keluarga yang di kemudikan oleh supir keluarga Alfahri.


Sementara Uya, Boim, Riza dan anak buahnya di tugaskan untuk menjaga pondok pelita selagi keluarga Aldebaran pergi.



"Mah, kenapa opa ga tinggal sama kita aja di pondok pelita?" Tanya Rania yang duduk di bangku belakang beserta kakaknya.


"Mamah sudah ajak opa tinggal bareng nak, tapi opa nya ga mau sayang." Jelas Andin.


"Kenapa ya mah? Padahal kan opa udah tua. Harusnya mau tinggal sama anak dan cucu nya." Ucap Rania dengan polosnya yang membuat Al dan Andin tersenyum lucu sementara Askara terlihat melamun sambil memandang ke luar kaca.


"Askara, kamu kenapa diam saja. Ga senang mau ketemu opa?" Tanya Aldebaran yang melihat putranya di kaca spion.


"Seneng koq pah." Askara pura-pura tersenyum.


Andin memegang paha Aldebaran, memberikan kode untuk tidak dulu mengajak anaknya berkomunikasi karena Andin paham banget kesedihan anaknya itu.


"Kenapa?" Tanya Al berbisik.


"Kan aku udah bahas di kamar pagi tadi mas." Jawab Andin ikutan berbisik.


"Masa sih. Perasaan kamu aja ah Ndin. Askara ga sedih koq."


Al melirik putra nya sebentar kemudian fokus lagi mengemudi.


"Terserah kamu aja deh mas." Andin cemberut.


"Kenapa sih mah pah koq bisik-bisik." Rania menyembulkan kepalanya di tengah-tengan Al dan Andin yang membuat mereka kaget.


"Ya ampun Nia." Al mengusap-usap dadanya begitupun dengan Andin.


"Kamu ngagetin mamah tau." Andin mencubit lembut pipi Rania.


"Habisnya mamah sama papah bisik-bisik, kita ga dianggap." Rania cemberut. "Nia kan bosen."


"Itu kan ada kakak kamu nak." Ucap Al.


"Males ah, berasa ngobrol sama robot." Rania menatap kakaknya sambil cemberut kesal.


"Apa de? Mas ga denger." Askara menutup kedua telinganya.


"Ihhh." Rania menggelitik pinggang Askara hingga kedua nya tertawa.


Melihat hal itu bukannya ikut senang, Andin malah terlihat sedih. Dia membayangkan perasaan Askara yang rela mengorbankan cita-cita nya demi kewajiban seperti yang sering Aldebaran ungkapkan.


'Maafin mamah ya nak, belum bisa membujuk papah kamu. Mamah yakin suatu saat papah kamu pasti akan mengerti dan mengijinkan kamu memilih apa yang menjadi keinginan kamu. Kamu sabar dulu aja ya sayang.' Batin Andin dalam hati.


***