Contents
LOST (TAMAT)
Tiga
Seseorang tidak harus menjadi istimewa untuk ada yang peduli padamu ...
-untuk sebuah kepedulian-
Daisy sudah bangun sejak pukul empat pagi. Ia sudah membereskan semua barang-barangnya. Kembali, wajah Nicko tampak memberatkan langkahnya.
"Maafkan Kakak. Kakak belum bisa membawamu sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Berjanjilah kau akan baik-baik saja," bisik Daisy di kuping Nicko. Lalu, ia mengecup hangat dahi adiknya, hingga setetes air mata bergulir dengan indah.
Daisy meninggalkan rumah itu dengan segenap rasa yang bergelut di benaknya. Rasa benci, berat meninggalkan, keinginan lari dari kenyataan, semua berputar-putar di kepalanya. Ia menarik kardigan yang dikenakannya pagi itu. Tulangnya serasa digigit angin kedinginan. Berulang kali ia bertanya apa salahnya? Hingga hidup mengecohnya sedemikian rupa. Berulang kali merusak dan meruntuhkan pertahanan hidupnya.
Daisy berjalan di sepanjang jalan Setia Budi. Jalanan benar-benar lengang. Hanya tampak para padagang yang bersiap menggelar dagangan mereka di pajak pagi.
Langkah Daisy semakin jauh, membawanya meninggalkan rumah penuh luka itu. Hatinya pun, kian terseret arus kesepian.
****
Langit terbelah dua. Sebagian tersepuh semu keemasan yang menyalak-nyalak, sebagian lagi masih kelam bersama sisa malam.
Pagi itu, Danar, Sitta, dan Jeremy—papa Danar—sarapan bersama. Suasana di meja makan sangat hening, seolah mereka sudah terbiasa berkutat dengan pikiran masing-masing. Atau mungkin sudah hal lumrah tenggelam dalam kesibukan ibukota, hingga membuat mereka merasa asing satu sama lain.
Suara denting sendok dan piring menjadi nada menegangkan pagi itu. Ditambah lagi detik-detik jam yang memekakkan telinga, seperti sebuah orkestra menegangkan yang sangat buruk.
Hingga, salah satu dari mereka angkat suara.
"Danar, tahun ini kamu harus menikahi Chrissy. Mama dan Papa sudah mencarikan hari bagus untuk akad nikah kalian," kata Sitta seraya mengunyah rotinya.
Danar meletakkan sendoknya. Meneguk air minumnya, lalu menatap kedua orangtuanya. Ia tak mengerti dengan orang-orang yang di hadapannya itu. Kenapa selalu saja memaksakan dirinya menikah, padahal usianya baru dua pulah delapan tahun.
"Ma, Pa, Danar belum mau menikah. Jadi, jangan merencanakan apa pun. Danar nggak akan setuju," ucap Danar berusaha mengatur suaranya setenang mungkin.
Kali ini, Jeremy menimpali ucapan istrinya tadi. "Kamu mau menikah kapan? Kasihan Chrissy. Pokoknya tahun ini, kamu harus menikah!"
Danar benar-benar tak terima dengan paksaan itu. Yang ia tahu, pernikahan itu didasari cinta dan keinginan, bukan sebuah doktrin dan paksaan.
"Nggak! Danar nggak akan menikahi Chrissy!" sanggah Danar yang mulai jengah dengan semua doktrin dan tuntutan pernikahan.
"Danar! Kamu mulai lancang sekarang!" pekik Sitta diikuti suara bantingan sendok yang beradu dengan piring.
"Ma, Mama nggak bisa memaksa Danar untuk menikah. Menikah itu hal yang sakral. Danar nggak mau ada paksaan di dalamnya!" Danar bangkit dari tempatnya. Semua rasa sudah bercokol di hatinya. Sejak lama, ia sudah bertahan dengan paksaan itu. Selama itu pula, ia sudah menjelaskan dengan sabar bahwa ia tak menginginkan pernikahan itu. Namun, perkataannya dianggap angin lalu yang tak perlu didengar.
"Sudah! Cukup! Aku nggak suka ada pertengkaran pagi-pagi begini!" Jeremy menggebrak meja. "Danar, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, Papa mau kamu menikahi Chrissy dalam waktu dekat. Papa sudah berjanji dengan papanya Chrissy untuk menikahkan kalian!" tandasnya dengan tegas.
"Papa menjual Danar untuk janji konyol Papa?! Gila! Semua yang di rumah ini gila!" Danar berkoar. Ia berlalu dari meja makan, meninggalkannya begitu saja.
Sitta dan Jeremy masih tercengang, tak menyangka Danar bisa marah seperti itu. Selama ini yang mereka tahu, Danar selalu menuruti apa yang mereka katakan.
Danar sudah tiba di batas sabarnya. Ia tak tahan lagi dengan semua paksaan di hidupnya. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia berencana pergi meninggalkan Jakarta dan semua hal buruk yang menghimpitnya; Chrissy, Sitta, Jeremy, dan pernikahan.
****
Seharian Daisy disibukkan mencari kos-kosan yang memang sangat sulit ditemukan di pertengahan semester seperti itu. Hingga akhirnya ia mendapatkan sebuah kamar hasil berbagi tempat dengan Luna—teman sekampus Daisy yang tergolong dalam orang-orang yang pernah berbicara dengan Daisy.
"Makasih ya, Lun. Nggak tahu, deh, gimana bilangnya kalau kau nggak ada," ucap Daisy sungkan.
Luna tersenyum meyakinkan. "Nggak masalah. Mungkin aku nggak dekat sama kau, tapi aku cukup memperhatikanmu. Aku tahu sedikit tentang hidupmu."
Ya, Daisy yang bergantung hidup pada beasiswanya. Daisy yang selalu menutup diri. Daisy yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Daisy yang kedua orangtuanya bercerai. Siapa yang akan peduli dengan semua hal itu? Siapa yang mau peduli hal menyedihkan seperti itu di tengah kemewahan hidup teman-temannya? Tapi, Luna berbeda. Dia tahu, yang artinya dia juga peduli.
"Kau tahu?" Daisy nyaris tak percaya selama ini ada orang yang memperhatikannya, peduli padanya.
Luna mengangguk.
"Kukira, nggak ada yang peduli denganku. Maksudku, siapa sih yang akan peduli denganku? Aku nggak istimewa sama sekali."
"Daisy, kau nggak harus jadi istimewa untuk ada yang peduli padamu. Di tengah lautan orang-orang yang nggak peduli padamu, masih ada satu orang yang akan peduli. Kenapa? Karena peraturan hidup memang begitu. Tuhan nggak akan membiarkanmu sendirian. Percaya deh," kata Luna yang semakin meyakinkan Daisy kalau dirinya tak benar-benar sendirian.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Daisy merasakan hatinya tersentuh. Untuk pertama kalinya ia merasa dipedulikan. Untuk pertama kalinya, ia ingin mencoba untuk percaya, selain pada adiknya, Nicko.
"Makasih, Lun.."
****
Suara deruman mesin pesawat terdengar kasar. Roda-roda sudah diturunkan. Hitungan selanjutnya, benda bulat itu menyentuh landasan dengan mulus. Pesawat mengitari landasan sebelum benar-benar berhenti di apron.
Bandara Internasional Kuala Namu tersepuh kemerahan senja. Gumpalan awan bersalut jingga dengan kalem. Kaca-kaca lobi bandara memantulkan sinar emas yang indah. Cuaca sore itu sangat cerah.
Danar menginjakkan kakinya di bandara yang baru saja diresmikan. Untuk pertama kalinya, ia menghirup dalam-dalam udara Pakam. Udara kebebasan, katanya.
Sore itu, dengan mantap, Danar melangkah menuju Medan. Entah dengan keyakinan apa, dia tahu, kota itu akan menjadi tempat teramannya untuk berlindung. Untuk menghindar dari segalanya.
****
"Permisi, Kak, saya mau masukin surat lamaran ini," ucap Daisy pada salah seorang pelayan di sebuah kedai kopi.
Pelayan itu tersenyum. "Oh, iya, Dek. Nanti saya kasih ke manajernya."
"Makasih, Kak." Daisy undur diri dan pergi dari kafe.
Malam itu juga, ia ingin memulai segalanya, memperbaiki hidupnya, meski ia sangat membenci semua hal yang ada di hidupnya.
Tak lama ia berjalan dari kafe tempatnya melamar pekerjaan tadi, ia tiba di kosannya. Malam itu, udara kota Medan terasa amat panas. Bulan dan bintang berpendar tanpa halangan mendung. Pikiran Daisy tergantung di langit-langit kosannya.
"Nicko.." Daisy menggumam tak jelas. Pikirannya tertuju kepada makhluk yang selama ini tak lepas dari penjagaannya. Malam itu pula, untuk pertama kalinya setelah seharian ia meninggalkan rumah, ia merindukan kepulangan. Ia rindu adiknya.
****
Langit kota Medan berselimutkan kegelapan. Bulan dan bintang tampak indah menghiasi malam. Laju lalu lintas Medan berjalan normal, tanpa macet sedikit pun di setiap sisi. Lampu lalu lintas bertukar warna menjadi hijau, seolah mereka tak pernah memaksakan kehendak, membiarkan waktu memerintahkan mereka untuk menyala, yang selanjutkan akan dipadamkan dan digantikan dengan nyala lampu lainnya.
Taksi yang ditumpangi Danar memutar di bundaran kota menuju jalan Gatot Subroto. Bundaran itu tampak indah dengan lampu-lampu yang menghiasinya. Air muncrat tampak menyalak-nyalak di tengah kegelapan malam. Beberapa anak kecil tampak menenteng box jualannya. Sebagian lagi tampak warga kota Medan yang bermain-main di sekitar bundaran, atau sekadar berfoto-foto di sekitar air muncrat.
Danar memperhatikan potongan kehidupan di kota itu, kota yang baru saja dijejakinya. Tak lama kemudian, ia tiba di lobi hotel Asean Internasional Hotel. Hotel berbintang lima itu menjadi pilihan Danar untuk beristirahat. Setidaknya, ia bisa menginap di sana satu atau dua malam.
“Terima kasih, Pak,” kata Danar seraya menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
Sang supir menerimanya dengan penuh rasa syukur. “Sama-sama, Mas. Kalau butuh bantuan, Mas bisa menghubungi saya. Ini kartu nama saya,” sahut supir itu yang khas dengan logat Jawanya.
Danar hanya membalasnya dengan senyuman. Selanjutnya, ia kembali memandangi hotel yang menjulang tinggi di hadapannya. “Selamat tinggal, Jakarta.”