Try new experience
with our app

INSTALL

My Husband My Enemy 

4. Dendam

Setelah selesai merapikan kekacauan yang dia buat di apartemen Aldebaran, Andin akhirnya pulang. Masih mengenakan baju Aldebaran, sebab bajunya yang semalam sama sekali tak layak pakai.


Andin masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Takut bahwa ibunya menunggu kehadirannya. Sebab Andin yakin bahwa wanita itu akan mengomel padanya setelah apa yang tadi terjadi di telepon.


"Nah. Kamu telat lebih dari setengah jam."


Skakmat. Andin benar-benar harus menyiapkan mental sekarang. Rupanya, ibunya sudah mengintai sejak tadi di ruang tengah.


"Ma, Andin bisa jelasin!" ujar Andin seketika. Gadis itu panik bukan main.


Sarah, ibunya, berdiri dan menghampiri Andin. Sepasang matanya yang nyalang menyisir pandang ke sekitar, ke belakang tubuh Andin, seolah ia tengah mencari seseorang.


"Mana laki-laki yang namanya Aldebaran itu? Kenapa kamu pulang naik taksi? Dia enggak ngantarin kamu?" tanya Mama Sarah dengan nada sangsi.


Andin mengerucutkan bibir. "Ih, Ma. Mama salah dengar tadi."


"Jelas-jelas Mama dengar dengan jelas. Mama bahkan dengar suara laki-laki itu. Jangan ngelak lagi kamu!" Mama Sarah melotot tajam sambil menunjuk wajah Andin dengan kesal. Andin benar-benar tidak tahu bagaimana caranya untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi tadi. Andin saja masih bingung dengan semuanya.


"Astaga, Mama ...." Andin menghela napas dalam. Sungguh, Andin merasa bahwa saat ini dirinya sedang difitnah. "Aku beneran enggak macam-macam. Al itu kakak kelas aku dulu dan ...."


"Nah, kan! Akhirnya kamu ngaku," tukas Mama Sarah, memotong pembicaraan Andin. Andin sampai menganga dibuatnya.


"Ih, Mama! Dengerin penjelasan Andin dulu!" Andin merengek pada ibunya. Berharap wanita itu melunak untuk satu hari saja padanya. Namun tetap saja itu bukan hal yang mudah. Apalagi setelah kesalahan yang dia perbuat sekarang.


"Apa? Penjelasan apa lagi? Sekarang baju siapa yang kamu pakai itu, huh?" Mama Sarah menarik singkat ujung baju Andin. "Ini baju cowok lho, Ndin! Gimana Mama bisa percaya dan dengerin penjelasan kamu?"


Mama Sarah mengerang frustrasi. Terlihat sangat stress dengan kelakuan anak semata wayangnya. Sementara Andin sendiri semakin bingung untuk membela diri.


"Ada apa, sih? Kok ribut-ribut gini? Malu ah, kedengeran sama tetangga." 


Papa Surya, tiba-tiba masuk dan melerai apa yang terjadi antara Mama Sarah dan juga Andin. Pria berkacamata itu melihat dua wanita berbeda generasi di depannya. Menatap penuh penasaran.


"Ini loh, Pa, anak kesayangan Papa," adu Mama Sarah sambil melirik Andin dongkol.


"Ada apa sama Andin anak kesayangan Papa?" Papa Surya bertanya, masih dengan nada yang lembut. Pria itu memang terkenal baik hati dan lembut. Tak jarang Mama Sarah marah karena dirasa dia terlalu memanjakan Andin sampai Andin bisa tumbuh seperti sekarang ini.


"Iya, itu tuh. Andin terlalu sering Papa manjain. Jadinya dia ngelunjak, banyak tingkah, dan sekarang ... haduh, Mama malu ngomongnya." Mama Sarah menepuk jidat frustrasi.


"Apa sih, Ma? Ada apa? Kenapa?"


"Dia enggak pulang semalam, Pa! Dia tidur sama cowok. Kakak kelasnya dulu katanya. Gimana Mama enggak stress lihat anak kesayangan Papa kelakuannya begitu?" pungkas Sarah. Melirik Andin dengan kekesalan yang masih kentara.


"Mamaaa!" rengek Andin. 


"Pokoknya Mama enggak mau tahu. Mama mau ketemu sama Aldebaran-Aldebaran itu!"


"Aku sama dia itu ...."


"Aldebaran? Cowok yang pernah kamu tangisin itu?" Tiba-tiba saja Papa Surya nyeletuk.


"Apa?" Mama Sarah menoleh pada Papa Surya dengan tatapan terkejut. "Gimana bisa Papa tahu soal cowok yang namanya Aldebaran-Aldebaran itu? Dan apa maksudnya Andin pernah nangisin dia?"


Andin. Tidak. Bisa. Berkata. Apa-apa. Lagi.


Satu-satunya hal yang bisa Andin lakukan hanyalah kabur. Namun sayangnya, aksi hendak kabur diam-diamnya itu tidak bisa terjadi begitu saja. Sebab Mama Sarah tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.


"Jadi bener cowok itu?" tanya Mama Sarah.


"Ma. Apa yang Papa omongin itu di masa lalu!"


"Masa lalu? Terus gimana dengan baju yang kamu pakai sekarang? Dengan suara cowok itu tadi pagi?"


Andin menghela napas pelan. Dia masih pusing karena mabuknya semalam dan mamanya memperumit pagi Andin yang sudah kacau sejak awal.


"Ma, aku ... huek!" Andin baru saja hendak menjelaskan kembali. Namun, rasa mual menghentikan ucapannya.


Mama Sarah dan Papa Surya seketika membulatkan mata melihat Andin mual-mual. Dan saat menyadari tatapan terkejut kedua orang tuanya, Andin seketika tahu apa yang mereka berdua pikirkan saat ini sehingga Andin langsung menurunkan tangannya yang barusan secara refleks dia gunakan untuk menutup mulut.


"Andin cuma masuk angin!" pekik Andin segera.


Mama Sarah dan Papa Surya saling bertukar pandang. "Bawa Mama ke cowok yang namanya Aldebaran itu sekarang juga!"


Mama Sarah berteriak keras. Dan Andin, kalah telak. Dia tidak bisa lagi mengelak. Meski dia benar-benar tidak hamil, tetapi Mama Sarah yang panikan dan senantiasa jarang mendengarkan penjelasan Andin, tidak akan pernah percaya apa pun yang Andin katakan.


Andin hanya bisa memasrahkan semuanya sekarang. Berharap bahwa Aldebaran bisa diajak bekerja sama. Namun, gadis polos itu tidak tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi di dalam hidupnya. Sesuatu yang membuat kehidupannya berubah 180 derajat mulai hari itu. Sebab ketika Mama Sarah dan Papa Surya menemui Aldebaran, Aldebaran mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dia katakan.


"Al berengsek! Al sialan! Gue janji gue bakalan bunuh lo dengan kedua tangan gue sendiri!" Andin menjerit keras di dalam kamar. Menarik sprei sehingga membuat kasurnya berantakan seketika.


Mulai hari ini, seluruh kehidupannya akan berbeda. Dia telah kehilangan kebebasan. Kehilangan banyak hal yang telah dia perjuangkan. Dan semua itu terjadi berkat satu orang bernama Aldebaran.


***