Contents
HEART (Ikatan Cinta Fanfiction)
4. Sapaan Pertama Al
Andin dan Elsa sudah berjalan keluar dari lobi, sampai akhirnya Elsa menarik tangan Andin, membuat langkah keduanya terhenti seketika.
"Ada apa, Sa?" tanya Andin, melihat wajah Elsa yang tampak kebingungan sekaligus panik.
"Dompet aku, Kak. Kayaknya tadi aku simpan di kantung celana, tapi kok enggak ada, ya?"
Mendengar ucapan tersebut, Andin juga jadi ikutan panik. "Kok bisa, sih? Apa mungkin jatuh?" dia tanya.
Elsa menggeleng lemah. Sementara kedua matanya menatap sekeliling, berharap menemukan dompetnya di sekitar sana, tetapi rupanya nihil.
"Mau balik lagi? Siapa tahu ketinggalan di kamar atau jatuh pas tadi kita jalan?" tawar Andin.
Elsa masih terlihat cemas. Apalagi ada banyak hal berharga di dalam dompet tersebut. Selain uang tunai, ada juga kartu ATM, kartu kredit, KTP, dan beberapa hal pribadi lainnya.
Elsa dan Andin sudah bersiap untuk kembali. Namun tiba-tiba seseorang menghampiri mereka berdua. Andin dan Elsa bergeming, menatap lamat-lamat wajah pria tersebut. Pria yang beberapa saat lalu berpapasan dengan mereka di depan lift.
Berbeda dengan Elsa yang tampaknya terpesona dengan kerupawanan pria itu, Andin justru berdiri dengan kaku di tempatnya. Tidak karena merasa terpesona, tetapi lebih kepada merasakan desiran aneh yang beberapa saat sebelumnya juga dia rasakan, pada orang yang sama.
'Enggak. Ini bukan karena efek samping operasi, kan? Sebelumnya juga berdebar karena papasan sama orang ini. Dan sekarang, berdiri di hadapan dia bikin debaran ini semakin menggila.'
Andin berusaha menetralkan napasnya. Tidak bisa membiarkan kegilaan ini mempengaruhi dirinya seutuhnya.
"Kalian mencari dompet ini?" pria itu bertanya dengan suara baritonnya yang menggelitik gendang telinga. "Saya menemukannya di dalam lift tadi dan menyadari ini pasti milik salah satu di antara kalian. Soalnya hanya ada kalian di dalam tadi."
"I-iya, itu dompet punya saya." Entah bagaimana, suara Elsa terdengar agak tersendat.
Ketika lelaki itu menyodorkan dompetnya pada Elsa, Elsa lekas menerimanya dengan senang hati. Merasa lega bahwa barang berharganya ditemukan oleh orang yang baik dan jujur. Bonusnya, dia tampan.
"Terima kasih," ujar Elsa dengan senyuman semringahnya.
"Dokter Al!"
Seruan seseorang di belakang Andin dan Elsa seketika menginterupsi suasana yang awkward tersebut. Seseorang yang cukup Andin kenal berjalan menghampiri mereka. Lebih tepatnya hendak menghampiri pria bernama Al tersebut sebelum akhirnya menyadari kehadiran Andin di sana.
"Loh, Andin? Mau ke mana?" Dokter Evan, bertanya pada Andin dengan lugas.
Andin tersenyum kecil menatap dokternya. "AH, saya mau ke depan, Dok. Mencari udara segar dengan adik saya."
"Ah, begitu rupanya." Evan mengangguk pelan beberapa kali. Lantas melirik Al di sana. "Lalu, kalian saling mengenal?" dia bertanya kemudian sambil melirik Al dan anehnya dengan Andin, bukan dengan Elsa yang jelas-jelas terlihat lebih komunikatif dengan Al barusan.
"Oh, enggak. Barusan dompet adik saya jatuh di lift, terus ...."
"Saya mengembalikan dompet tersebut." Al melanjutkan ucapan Andin yang menggantung karena bingung. Pria itu melirik Evan seolah memberikan jawab padanya dengan singkat. Kemudian memusatkan atensi pada Andin kemudian. "Perkenalkan, saya Aldebaran Alfahri. Rekan Evan sekaligus psikiater di rumah sakit ini."
Andin sedikit tercengang mendengar hal itu. Penampilan Al terlalu baik sebagai seorang psikiater. Alih-alih seorang dokter jiwa, Al lebih cocok menjadi seorang model dengan tampang rupawan dan perawakannya yang tinggi ramping itu.
"Saya Elsa." Tiba-tiba saja Elsa mengulurkan tangannya dengan cekatan. "Dia Andin, kakak saya. Kita memang enggak begitu mirip, tapi kami benar-benar saudari kandung."
Andin menghela napas pelan melihat tingkah adiknya yang gercep jika sudah berkaitan dengan pria tampan.
Al terkekeh singkat mendengar ucapan Elsa. "Baik, saya percaya kalian saudari kandung," jawabnya, melirik Andin dengan seulas senyum tipis, yang entah mengapa membuat Andin nyaris saja tersedak oleh salivanya sendiri.
"Senang berkenalan dengan Anda. Saya akan menyapa jika kita bertemu lagi. Terima kasih untuk dompetnya, semoga hari Anda menyenangkan. Maaf mengganggu waktunya," gumam Andin terburu-buru, membuat semuanya seketika kebingungan.
Andin melirik Dokter Evan. "Dok, saya duluan," lanjut Andin kepada dokter yang menangani dirinya. Kemudian terburu-buru menarik tangan Elsa, menjauh dari hadapan Evan dan Al.
"Kak! Kak, ada apa sih? Kenapa buru-buru banget?" Elsa berusaha melepaskan diri dari Andin yang membawanya pergi menjauh dari pria tampan barusan. Protes dengan tindakan kakaknya yang menurut Elsa sangatlah tidak tepat.
"Kita mau beli es krim, kan? Keburu tutup!" balas Andin sekenanya. Padahal sesungguhnya, dia hanya merasa khawatir sebab jantungnya terus berdetak abnormal setiap kali dia melihat Al, apalagi mendengar suaranya, seakan membuat Andin akan menggila pada detik itu juga.
Elsa akhirnya berhasil melepaskan diri dari Andin. Dia merengut kesal di tempat. "Toko es krim buka lebih lama dari apa yang Kak Andin perkirakan. Jangan berlebihan!" gerutu Elsa sebal. "Padahal aku belum dapat nomor hape Dokter Al, Kak Andin malah ... arghhh!"
Andin merotasikan bola matanya dengan malas. Kenapa Elsa selalu bersemangat jika berurusan dengan pria-pria tampan? Astaga. Tampaknya dia belum kapok jatuh cinta dengan pria tampan, pacaran, dikhianati, dicampakkan, ketemu pria tampan lagi, pacaran lagiui, dikhianati lagi, repeat. Entah bagaimana, berkali-kali dia kepincut dengan paras rupawan dan berakhir patah hati, tetapi dia tidak pernah merasa bosan.
"Sesuka itu kamu sama cowok ganteng?" Andin tanya. Mendelik ke arah adiknya.
Elsa mengangguk dengan polos. "Emang cewek mana yang enggak suka sama cowok ganteng? Kecuali ... cewek itu enggak normal."
"Tapi kamu udah terlalu sering ngoleksi cowok ganteng, Sa! Enggak bosen apa?"
Elsa menyengir lebar, menatap Andin dengan tatapan khasnya yang seperti bayi. "Sayangnya, enggak. Aku enggak bakalan bosen ngelihat cowok ganteng. Aku bahkan bisa bertahan di tengah kekacauan apa pun, asal ada cowok ganteng!"
Andin hanya bisa menarik napas panjang. Mengusap dada dengan kelakuan centil adiknya. "Aku harap, hidayah akan mendatangi kamu secepatnya."
***
Sementara itu, di tempat sebelumnya, Al masih berdiri memandangi kepergian Andin dan Elsa, sampai kedua orang itu tidak bisa lagi dia lihat.
"Gue pikir, lo udah ngomong sama Andin soal semuanya."
Al menoleh ke sisi kirinya, melihat Evan menatapnya lamat-lamat. "Kita semua tahu apa yang Jessica inginkan. Dan apa gunanya juga bilang ke dia soal Jessica?"
"Tapi lo baik-baik aja sekarang? Lo enggak apa-apa ngelihat Andin dari jarak dekat?"
Al terdiam. Sejujurnya, dia belum terbiasa. Sejak kematian Jessica, sejak jantung Jessica didonorkan kepada Andin, sejak tahu bahwa ada bagian dari diri Jessica yang masih tersisa di dunia ini yang kini berada di dalam tubuh Andin, Al tidak bisa menatap Andin dari jarak dekat, Melihatnya dari kejauhan saja sudah berhasil membuat dadanya sesak sampai matanya mengeluarkan cairan bening, apalagi bisa berbincang dengannya seperti tadi?
Namun anehnya, kini dia bisa. Bahkan ketimbang merasa sesak, Al justru merasa bahwa, jantungnya berdebar seperti biasanya saat dia melihat Jessica.
"Enggak mudah buat bisa baik-baik aja seperti yang orang lain bayangkan. Tapi, gue selalu berusaha," jawab Al pada akhirnya.
"Apa rencana lo ke depannya?" Evan bertanya kembali.
Al lagi-lagi merenung sejenak, hingga kemudian dia menggeleng. "Gue belum tahu," katanya.
***