Try new experience
with our app

INSTALL

BAHAGIA UNTUK ANDIN 

Bab 6. Sifat asli Ricky

"Jadi Mas Al sudah bisa jelasin ke saya, siapa cewek yang sama Ricky tadi?" tanya Andin tidak sabar saat keduanya sudah duduk di salah satu kedai kopi tidak jauh dari restoran. Sejenak gadis itu melupakan keberadaan Frans yang pasti masih menunggunya. Rasa penasaran yang kini bergelayut dalam pikirannya lebih penting. 

 

Aldebaran tampak ragu, laki-laki itu menimbang sejenak jawaban yang akan keluar dari bibirnya. Jangan sampai salah bicara, atau akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. 

 

"Tapi Mbak Andin jangan langsung marah kalau saya jawab."

 

Andin langsung mengangguk tanpa berpikir. Tidak mungkin dia bertindak nekad dengan melabrak Ricky jika ternyata dugaan yang sudah muncul di pikirannya ini benar. Dia adalah Andin, bukan Andini yang akan langsung cemburu. Di matanya semua yang ada di kehidupan Andini adalah sosok asing. Kini Andin hanya penasaran dengan fakta yang sebenarnya tersimpan. Dan dia juga masih penasaran dengan alasan pertengkaran Andini dan Ricky. Sepertinya terlalu berlebihan jika hanya soal Ricky yang selalu mengingkari janji. Pasti lebih dari itu, sehingga Andini bisa sampai mengalami kecelakaan fatal. 

 

"Itu gadis yang menjadi pilihan orang tua Mas Ricky." Mata Aldebaran langsung awas memperhatikan reaksi yang Andin berikan, tidak ada yang berarti, seolah-olah gadis ini sudah bisa menebaknya. Dan sebenarnya memang ini bukan lagi menjadi rahasia, Andini dan Ricky pernah meributkan masalah ini sebelumnya. 

 

Sementara Andin tidak merespon, gadis itu masih menunggu lawan bicaranya melanjutkan kalimatnya. 

 

"Demi bisnis, Mas Ricky terpaksa untuk menerima perjodohan itu. " 

 

"Yakin terpaksa?" Andin mendengkus sinis saat menanyakan hal itu. Dia kesal bukan karena cemburu. Ricky bukan sosok kekasih sungguhan untuknya. Dia hanya kesal saat mendengar fakta jika Andini dikhianati. Meski dengan dalih perjodohan. 

 

"Maaf, untuk itu saya tidak berani memberi komentar lebih. Mbak Andin berhak memiliki pendapat sendiri."

 

"Tadi dia sama sekali nggak terlihat tertekan. Malah seperti menikmati waktu berduaan sama cewek itu. Jadi aku rasa mereka cocok."

 

Aldebaran memilih untuk tidak berkomentar, ini bukan lagi ranahnya untuk ikut campur. Dia hanyalah seorang supir. 

 

"Tapi yang aku heran, kenapa dia nggak mutusin Andini aja?" Kening Andin mengerut bingung. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan Ricky tetap mempertahankan Andini sebagai kekasihnya. 

 

Sementara Aldebaran juga ikut bingung, tetapi bukan untuk pertanyaan yang Andini ajukan. Laki-laki itu lebih bingung dengan susunan yang kalimat Andin ucapkan. Kenapa seolah-olah sosok Andini itu bukanlah diri gadis ini sendiri? Dan hal seperti ini sudah terjadi beberapa kali. 

 

*

 

Andin terpaksa kembali ke restoran saat papa Andini menelpon dengan nada marah. Saat sampai di tempat itu, sosok Frans sudah tidak ada. Dan juga kedua orang dewasa yang tadi mengobrol dengan papa Andini juga sudah pergi. 

 

"Kamu itu maunya apa, si, Din? Sudah berapa kali kamu malu-maluin Papa kayak gini, hah?" 

 

Andin hanya diam, tidak berani membantah karena sadar apa yang dilakukannya tadi salah. Dan lagi, sosok di depannya sekarang tengah menunjukkan wajah seram karena penuh dengan emosi. Ayahnya sendiri tidak pernah semarah ini padanya. Malah sepertinya ayahnya tidak pernah marah meskipun dirinya melakukan kesalahan fatal. 

 

"Anak sama ibu sama saja, selalu bikin pusing." Setelah mengatakan itu papa Andini melangkah pergi. Andin yang bingung harus bagaimana terpaksa mengikuti langkah laki-laki itu keluar dari restoran. Lalu duduk di mobil dalam diam. Jadi seperti ini kehidupan yang Andini jalani setiap harinya?

 

"Papa cuman mau kehidupan kamu di masa depan nyaman. Itu kenapa kita butuh relasi yang menguntungkan untuk bisnis kita." Pembahasan itu ternyata masih berlanjut saat mobil sudah melaju. 

 

"Kalau kamu menikah dengan Frans, bisnis keluarga kita akan semakin berkembang karena keluarga Frans bisa menjadi patner yang menguntungkan." 

 

Andin diam saja karena bingung harus menjawab apa. Hal yang tentu saja membuat papa Andini sedikit bingung. Anak gadisnya biasanya tidak akan bersikap tenang seperti ini. Apa yang diucapkannya akan selalu dibantahnya. 

 

"Jadi Papa harap kamu segera minta maaf sama dia. Mengerti?"

 

Kali ini Andin mengangguk, meski tidak paham dengan bagaimana caranya dia meminta maaf pada sosok pemuda yang tidak disukainya itu. Andin juga yakin Andini tidak suka dijodoh-jodohkan seperti ini. Jadi dirinya harus memutar otak untuk bisa membuat perjodohan ini batal. 

 

"Dan untuk hubungan kamu sama Ricky, sebenarnya Papa nggak masalah dengan keluarga pemuda itu," ujar papa Andini lagi sembari fokus menyetir. "Hanya saja dia itu bukan penerus yang baik. Papa bisa liat dia hanya suka bermain-main. Bisnis keluarga kalau sampai jatuh ke tangan dia, Papa yakin akan hancur."

 

"Kamu nggak masalah kan, kalau Papa minta menjauh dari dia?"

 

Andin menatap mata papanya, lalu terpaksa mengangguk. Dia rasa tidak masalah, hubungan Andini dan Ricky tidak sehat, dan jika dia memutuskan untuk meninggalkan pemuda itu juga rasanya keputusan tepat untuk Andini. 

 

*

 

"Kamu kenapa sulit sekali dihubungi?" Namun, ternyata niat untuk menjauh dari Ricky bukan perkara mudah. Andin pikir, setelah mengabaikan pemuda ini berhari-hari, maka Ricky akan melupakannya. Ternyata tidak seperti itu, kali ini Ricky bahkan sampai rela datang ke lokasi syutingnya untuk endorse produk baru. 

 

"Aku sibuk," jawab Andin dingin. 

 

"Kamu marah? Aku ada salah?" Ricky berlutut di samping bangku yang Andin duduki, memasang wajah penuh penyesalan yang mungkin bisa meluluhkan Andini. Namun, sayangnya Andin bukan tipe gadis yang mudah digoyahkan. Apalagi saat tahu Ricky bukanlah laki-laki baik. 

 

"Kamu ngerasa salah?" Andin memilih melempar balik pertanyaan itu. 

 

"Aku juga nggak tahu, tapi sepertinya iya."

 

Andin tersenyum tipis, sungguh bahasa buaya sangatlah pintar mengolah kata. "Memangnya salah kamu apa?" Obrolan yang sebenarnya sungguh membuat jengah. 

 

"Karena udah mengabaikan kamu beberapa hari? Aku sibuk dengan urusan pekerjaan."

 

Andin ingin sekali tertawa mendengar alasan tersebut. "Yakin karena pekerjaan?"

 

"Maksud kamu?"

 

"Beberapa waktu lalu aku juga makan malam di Grand Hotel." Andin malas berbasa-basi. Awalnya Ricky tampak mengerutkan kening, lalu mata pemuda itu melebar saat mengingat malam itu sedang bersama dengan siapa. 

 

"Itu Siska, gadis yang waktu itu bikin kamu salah paham. Tapi aku udah jelasin semuanya, kan?"

 

Andin mengangguk, meski tidak tahu kapan Ricky menjelaskan dan apa yang laki-laki itu gunakan sebagai alasan penjelasan. 

 

"Aku nggak marah, karena malam itu aku juga nggak makan malam sendiri."

 

Ricky tampak terkejut mendengar informasi tersebut. "Kamu makan sama siapa?"

 

"Sama kayak kamu, cowok yang papa aku pilih buat jadi jodohku di masa depan." Andin tersenyum sembari menikmati wajah Ricky yang semakin syok. 

 

"Kamu jangan main-main, kamu cuman mau bikin aku cemburu, kan?"

 

Andin menggeleng santai sebagai jawaban. Namun, gesture santai itu hilang saat tiba-tiba saja Ricky mencengkeram tangannya dengan keras, ada kilatan emosi yang terlihat nyata di mata pemuda itu. 

 

"Kamu jangan mempermainkan aku. Kamu tahu kalau kamu hanya boleh jadiin aku kandidat masa depan kamu. Nggak boleh ada yang lain."