Try new experience
with our app

INSTALL

BAHAGIA UNTUK ANDIN 

Bab 5. Perlahan terkuak

Andin meniti tangga dengan langkah ragu menuju meja makan. Entah ada angin apa, tiba-tiba saja papa Andini menyuruhnya untuk turun, mengajak makan malam. Hal yang entah sering terjadi atau tidak dulu. Yang jelas, selama beberapa hari Andin tinggal di rumah ini, makan malam bersama selayaknya keluarga tidak pernah terjadi sekalipun. Jangankan makan malam, bertegur sapa satu sama lain saja tidak pernah. Bahkan semenjak pertengkaran yang terjadi malam itu, Andin tidak pernah lagi melihat sosok nyonya rumah ini, atau tidak lain adalah mama Andini. 

 

"Kamu belum makan, kan?" Pertanyaan sambutan yang Andin terima setelah sampai di meja makan. Gadis itu pun menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, dan segera menarik satu kursi untuk duduk. 

 

"Besok malam kamu ada waktu?" Pertanyaan kembali terlontar, papa Andini bertanya tanpa melihat ke arah Andin sama sekali. Mata laki-laki yang menggunakan kaca mata itu fokus pada tab yang kini berada di tangannya. 

 

"Memangnya, ada apa, Pa?" tanya Andin kaku. Bagaimana pun laki-laki ini masih terasa asing untuk dirinya. Namun dia juga harus bersikap seolah-olah memang sosok Andini yang hilang ingatan.

 

"Papa ada janji makan malam dengan klien, kamu ikut, ya." Kali ini papa Andini tampak mendongak untuk menatap wajah Andin meski hanya sekilas, sebelum kembali sibuk dengan gadget-nya. 

 

Andin mengerut bingung, untuk apa dirinya ikut makan malam bersama klien papa Andini? Apa dulu Andini juga sering melakukan hal ini?

 

"Bisa?"

 

Andin terpaksa mengangguk karena memang tidak berani menolak. Dia tidak tahu kondisi seperti apa yang sering terjadi dulu antara anak dan ayah ini. 

 

"Papa seneng kalau kamu bisa nurut kayak gini terus." Kalimat itu diakhiri dengan usapan lembut di kepala Andin. "Kamu makan sendiri aja, Papa masih banyak kerjaan," lanjut laki-laki dengan tubuh tinggi itu sebelum akhirnya bangkit dan meninggalkan Andin seorang diri. 

 

"Non jadinya mau makan di mana?" Kemunculan Mbok Yus yang tiba-tiba sedikit membuat Andin terkejut. 

 

"Kenapa, Mbok?" 

 

"Non mau makan di sini? Atau Mbok bawain ke atas?"

 

Tidak langsung menjawab, Andin malah tampak berpikir. "Apa kondisinya memang sering seperti ini, Mbok?" tanyanya dengan sorot bingung serta penasaran. 

 

"Maksud Non?"

 

"Meja ini nggak pernah dipakai buat makan bareng keluarga?" Andin memperjelas maksudnya. 

 

"Sudah lama enggak, Non. Tepatnya setelah nyonya punya bisnis baru."

 

"Jadi, dulu nggak kayak gini?"

 

"Nggak terlalu parah. Walaupun sekali dalam beberapa hari biasanya nyonya, tuan sama Non makan bareng. Tapi sudah beberapa tahun belakangan ini nggak pernah lagi."

 

Andin merasa prihatin dengan kekeluargaan yang terjadi di keluarga ini. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak heran jika Andini merasa sangat kesepian. 

 

"Itu juga yang sering buat Non sedih. Dan Mbok rasa, itu juga yang sering buat Non nangis akhir-akhir ini."

 

Andin merasa trenyuh, mendadak ingin sekali bertemu dengan sosok Andini yang asli. Lalu mengobrol ringan untuk mendengar keluh kesahnya. Andini pasti tertekan karena tidak memiliki tempat untuk bercerita. 

 

*

 

Andin menjejakkan kaki bersama papa Andini di sebuah restoran yang sangat mewah. Jika restoran yang kemarin dia datangi sudah tergolong mewah, maka restoran ini lebih mewah lagi. Tempat seperti ini sering dilihatnya di dalam film. Tidak menyangka jika dia akan menjejakkan kakinya di tempat seperti ini. Belum lagi gaun yang kini dikenakakannya sangat pas untuk acara formal. Gaun ini diberikan papa Andini sebelum berangkat ke sini tadi. Sepertinya ada acara istimewa yang akan terjadi. Namun, sejauh ini Andin tidak bisa menebaknya sama sekali. 

 

"Kamu duduk dulu, Papa mau terima telpon." 

 

Andin mengangguk tanpa suara, tanpa banyak pertanyaan gadis itu duduk di salah satu meja yang pasti sudah dipesan khusus. 

 

"Andini?"

 

Andin mendongak untuk melihat siapa yang menyapanya. Ternyata seorang pemuda dengan jas biru yang tampak pas melekat di tubuhnya. Gadis itu memberikan senyuman tipis, dalam kepala berpikir siapa lagi sosok yang ditemuinya kali ini?

 

"Aku Frans." Laki-laki dengan wajah kebulean itu menyorongkan tangan sembari duduk di bangku kosong samping Andin. 

 

"Andini." Andin terpaksa menerima uluran tangan tersebut demi kesopanan. Lalu mengedar pandang untuk mencari sosok sang papa. Namun, dia bingung saat melihat sosok yang dicarinya ternyata malah duduk di meja lain. Tengah mengobrol dengan seorang laki-laki seusianya, ada juga seorang wanita yang duduk di sana. 

 

"Kamu harusnya tahu apa tujuan papa kamu ngajak kamu ikut makan malam," ujar pemuda yang mengaku bernama Frans itu sembari membuka buku menu. "Mau pesen apa?"

 

Andin menggelengkan kepalanya, meski penasaran dengan makanan yang ada di buku menu, tetapi dia lebih penasaran dengan kalimat pertama yang Frans ucapkan. 

 

"Memangnya tujuannya apa?"

 

Frans malah tampak terkejut mendengar kalimat tanya dengan nada polos itu. "Kamu nggak bisa nebak?"

 

Andin menggeleng polos, dia memang tidak paham. 

 

"Coba kamu pikir, papa kamu sama orang tua aku biarin kita duduk berdua begini, apa maksudnya?" 

 

Andin menoleh ke arah meja di mana papanya kini tengah tertawa-tawa seolah-olah tidak memiliki beban hidup. "Kenapa?"

 

Frans tertawa mendengar kepolosan Andin, gadis ini jauh dari perkiraannya. Dia sempat bertemu sekali dengan Andini beberapa waktu lalu. Dan entah mengapa sosoknya terasa berbeda. Andini yang hari itu ditemuinya sungguh ketus. 

 

"Tentu saja untuk perjodohan."

 

"Apa?" Andin begitu terkejut mendengar itu. 

 

"Nggak usah terlalu terkejut. Dan lagi aku yakin ini bukan pertama kalinya papa kamu melakukan hal sama. Hanya saja mungkin kemarin-kemarin kamu bisa nolak. Tapi kali ini ...." Frans sengaja menggantung kalimatnya. Pemuda itu memilih untuk memanggil pelayan. 

 

"Aku permisi ke toilet bentar," ujar Andin yang mulai merasa tidak nyaman dengan tingkah Frans. Senyum yang pemuda itu tunjukkan sejak tadi sungguh terlihat menyebalkan. Kira-kira, bagaimana sikap Andini jika bertemu sosok seperti ini?

 

"Nggak pesen dulu?"

 

"Aku ikut kamu aja," jawab Andin sembari melangkah pergi. Berpikir untuk kabur, tetapi dia takut jika papa Andini marah nanti. Jadi apa yang harus dilakukannya kini?

 

"Mbak Andini?" Sapaan itu menghentikan langkah Andin, gadis itu menoleh dan tersenyum lega saat melihat siapa sosok yang memanggilnya. 

 

"Kamu ngapain di sini?" tanya gadis itu pada sosok laki-laki yang tidak lain adalah Aldebaran. 

 

"Saya nganter Mas Ricky makan malam." 

 

"Dia di sini?" Andin mengedar pandang untuk mencari sosok Ricky, tetapi Aldebaran malah seperti menahannya. 

 

"Mas Ricky sedang bertemu klien penting, Mbak sendiri?"

 

Andin memicingkan mata saat menemukan sosok yang dicarinya. Ricky kini tampak duduk dengan seorang gadis, bercengkerama hangat. 

 

"Itu."

 

Aldebaran terlihat gugup, lalu dengan sigap menarik lengan Andin untuk menjauh. 

 

"Itu klien penting yang kamu maksud?" tanya Andin sembari terus melangkah entah ke mana Aldebaran akan membawanya. 

 

"Kita bicara di tempat lain, Mbak."

 

Andin menahan langkah, dan Aldebaran terpaksa berhenti. 

 

"Jawab jujur, siapa gadis itu?" Pertanyaan yang sebenarnya sudah memiliki jawaban jelas dari cara Aldebaran yang tampak gugup.