Contents
LOST (TAMAT)
Dua
Cinta seharusnya tak berakhir secepat perpisahan yang menghantui ...
-untuk seseorang yang baru-
Cakrawala masih terbalut kegelapan, meski semu keemasan menyalak-nyalak di sisi Timur. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi, yang berarti hari masih sangat muda dan bening.
Daisy dan Nicko sudah bersiap-siap pergi dari rumah Agus. Mereka berjingkat-jingkat, berusaha tak menimbulkan suara sedikit pun.
Daisy sengaja membawa dua bungkus roti untuk sarapan dia dan adiknya. Sebenarnya, jarak rumah Agus dan rumah Ani—ibu mereka—tidak begitu jauh, namun tak ada salahnya menyediakan segala sesuatunya, pikir Daisy.
Detik-detik terus berjalan. Kota Medan mulai menemukan kesibukannya. Angkutan-angkutan umum mulai ramai memadati jalanan, belum lagi para pengguna kereta [1] yang sering kali menyalip sesukanya.
Beberapa orang tampak berdiri di trotoar atau pinggiran jalan, menanti angkutan yang siap mengantar mereka ke tujuan.
Lenguh klakson semakin ramai saat ruang di jalanan kian sempit. Macet. Belum lagi sinar mentari yang mulai memanas, yang sebentar lagi mungkin akan memanasi emosi para pengguna jalan.
"Sebentar lagi kita sampai," kata Daisy. Ia mengeluarkan sebungkus roti untuk adiknya. "Ini. Tadi kita nggak sempat sarapan, kan?"
Nicko menerima roti itu. Perutnya memang terasa lapar. "Kak Daisy nggak makan?"
Daisy tersenyum. "Nggak, nanti aja." Ia memperhatikan jalan. "Pinggir, Bang!" [2]
Mereka sampai di tujuan.
****
Gemerlap kota Jakarta memudar ketika cahaya keemasan mulai membakar kegelapan. Para penjaja cinta semalam mulai menghilang di balik punggung pagi. Jiwa-jiwa yang tersesat dan kesepian sudah lenyap, entah berganti topeng menjadi jiwa-jiwa perindu kehangatan pagi, atau malah terjerumus dalam kesesatan lainnya.
Danar sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, saat ia menyadari file meetingnya pagi itu tertinggal di rumah. Dengan berat hati, ia menghubungi Sitta—mama Danar—yang saat itu sedang tidak bekerja.
"Halo.. Ma, file meeting Danar tertinggal di kamar. Mama anterin filenya ke kantor ya. Danar bakalan telat kalau mutar balik. Oke, Ma? Makasih, Ma."
Bunyi berklik. Telepon terputus.
****
Pagi itu, Danar terlihat risau. Ia mengotak-atik laptopnya. Membongkar setiap file, namun hasilnya nihil. Tak ada copy-an file yang tertinggal itu.
Seorang tamu yang sangat keras kepala ingin menemui Danar. Ia sudah mengatakan berkali-kali kalau ia tak ingin menemui tamu itu. Namun, tamu menyebalkan itu tetap memaksa. Akhirnya, setelah diberitahu sekretarisnya perihal tamu yang ingin menjumpainya, dan setelah mendapat izin darinya, tamu itu masuk.
Seorang wanita karir yang seumuran dengan Danar, tampak menyembul dari balik pintu. Kaki jenjangnya yang terlihat begitu indah dengan high heelsnya, terbalut rok hijau selutut. Sebuah blazer senada menghias tubuhnya yang langsing. Rambut panjangnya tergerai indah. Garis-garis kedewasaan tercetak jelas di wajahnya. Ia Chrissy.
Danar mengumpat dalam hati saat tahu siapa yang datang. Sial, wanita ini lagi. Pasti Mama yang menyuruhnya.
"Kau mau apa ke sini?" tanya Danar to the point, perhatiannya kembali tertuju pada laptop.
Chrissy tersenyum manja. "Jangan sinis begitu dong. Aku ke sini mau mengantar ini. Kau membutuhkannya, benar?" Ia memamerkan file-file Danar yang ketinggalan.
Danar membenarkan pernyataan dalam hatinya tadi. "Oh ... Makasih ... Kau sudah boleh pulang. Sebentar lagi aku meeting."
Chrissy menggeleng. "Aku menunggumu. Kita makan siang bareng hari ini."
Akhirnya, Danar hanya bisa pasrah. Hanya bisa mengiyakan permintaan Chrissy, walau sebenarnya ia tak ingin. Biar bagaimana pun, Chrissy menyelamatkan hidupnya pagi itu.
****
Kehidupan Daisy sebulan ke depan tak pernah kembali normal. Dia, adiknya, dan Ani hidup dalam kekurangan.
Daisy menggantungkan kuliahnya pada beasiswa. Tanpa beasiswa itu, ia yakin tak akan ada kesempatan untuknya melanjutkan pendidikan.
Sebulan setelah perceraian kedua orangtua Daisy, sebulan setelah kejadian menyakitkan itu, yang masih menyisakan luka di hati Daisy, luka itu kembali menganga lebar saat Ani tampak dekat dengan seorang lelaki. Daisy hanya mampu mengernyitkan dahi saat melihat hal itu. Memang, belakangan ibunya sering pulang malam. Bahkan, Daisy harus pontang-panting mengurus adiknya dan dirinya sendiri.
"Kak, Ibu mana? Kok nggak pernah makan sama kita lagi?" tanya Nicko saat menikmati makan malamnya dengan Daisy.
Daisy hanya tersenyum miris. Tak sanggup harus menjelaskan apa ke adiknya tentang perselingkuhan, perceraian, dan lainnya yang terjadi dalam kehidupan mereka.
****
Hari-hari terus berjalan seolah tak memberi ruang pada Daisy untuk menyembuhkan lukanya. Pikirannya semakin kacau. Tiap detik, semakin bertambah beban yang dipikirkannya.
Hingga malam itu, beban hidup Daisy semakin nyata. Penderitaan itu kian merajam. Membuat Daisy merasa benar-benar sendirian.
"Daisy, Ibu sudah menikah dengan Om Gunawan. Dia akan menjadi Bapak yang baik untuk keluarga kita," kata Ani menjelaskan pada Daisy.
Daisy tersentak keras dari tidurnya yang selama ini dipenuhi mimpi buruk. Terbangun dari tidurnya, terlepas dari mimpi-mimpi buruknya, tidak memberikan penyembuhan sedikit pun untuk hatinya. Justru kenyataan setelah ia bangun, membuatnya semakin terluka.
Daisy menyeret tatapannya, menatap wajah wanita yang telah melahirkannya. Berulang kali ia menilik sebuah kebohongan yang tersirat dari ekspresi ibunya, berulang kali pula harapannya pupus. Ibunya berkata jujur. Ia sudah menikah lagi.
"Ibu menikah lagi? Masa iddah [3] Ibu belum habis, kan? Dan ... Kenapa Ibu nggak minta persetujuan dari Daisy dan Nicko?"
"Maafkan Ibu. Ibu pikir, kalian akan setuju saja dengan keputusan Ibu. Mulai besok, Om Gunawan akan tinggal dengan kita. Ibu mau kau dan Nicko bersikap manis di depannya. Turuti apa pun katanya," tandas Ani tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Ibu ... seharusnya ... tak pernah ... mengambil ... keputusan ini!!" Ucapan Daisy terputus-putus, seperti napasnya yang mulai tersengal saat menyadari bapak tirinya akan pindah ke rumah itu besok.
Daisy segera angkat kaki dari hadapan Ani. Ia segera menghampiri Nicko yang sedang bermain di kamarnya. Dengan tatapan miris, ia memandang adiknya. Sekecil itu, bagaimana mungkin ia akan mengerti tentang perceraian, pernikahan, dan bapak tiri?
"Nicko.." panggil Daisy lembut.
Yang dipanggil melongok dari tempatnya. "Apa, Kak?"
"Gini," kata Daisy seraya menarik napas dalam. "Kakak mau menjelaskan sesuatu. Nicko dengerin Kakak, ya?"
Nicko mengangguk, lalu meletakkan mainannya.
"Besok Om Gunawan akan pindah ke rumah ini. Dia baru saja menikah dengan Ibu. Mulai besok, Om Gunawan yang akan jadi Bapak baru buat kita. Nicko jangan nakal ya sama Om Gunawan. Oke?" Daisy berusaha menjelaskan.
Nicko hanya mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti dengan apa yang diucapkan kakaknya. "Kenapa Om Gunawan jadi Bapak kita, Kak? Om Gunawan itu siapa?"
"Karena dia sudah menikah dengan Ibu. Om Gunawan itu teman Ibu, sekarang sudah menjadi suaminya. Tapi.."
"Tapi apa, Kak?" sambar Nicko cepat.
"Besok Kakak harus pergi." Daisy tersenyum pada Nicko.
"Ke mana, Kak? Nicko ikut, ya?" Pinta sang adik.
Daisy ingin sekali membawa adiknya pergi. Tetapi ia tak bisa. Ia tak sanggup membiayai hidupnya dan hidup adiknya. "Nicko jangan ikut Kakak ya. Nicko belum bisa ikut Kakak. Nicko tinggal di sini aja sama Ibu. Nanti, kalau Kakak udah punya tempat yang bagus, Kakak jemput Nicko, oke??"
"Oke, Kak!" Nicko tersenyum lebar, seolah tak ada hal buruk yang terjadi di hidup mereka.
Sekali lagi, Daisy harus kehilangan orang yang dipercayainya. Ia pikir, ibunya mampu dipercaya, dijadikannya tempat bersandar. Tapi malam itu, ibunya telah menghancurkan hidupnya. Merusak kepercayaannya. Daisy benar-benar merasa sendiri. Tak ada lagi tempatnya bersandar.
Seharusnya benar, aku tak perlu percaya pada siapa pun lagi, selain Nicko, gumam Daisy dalam hati.
[1] Sebutan untuk motor, khas Medan
[2] Cara meminta supir angkutan umum untuk menghentikan angkutannya
[3] Masa yang harus dilalui seorang wanita karena perpisahan dengan suaminya