Try new experience
with our app

INSTALL

BAHAGIA UNTUK ANDIN 

Bab 4. Bagai misteri

"Mas Ricky masih ada meeting, dia nyuruh Mbak Andini untuk makan sendiri dulu." 

 

Informasi tersebut datang setelah Andin duduk di restoran selama hampir satu jam. Sungguh hal yang menjengkelkan karena dia harus menahan lapar. Jika tahu yang ditunggu tidak akan datang, sudah dari tadi Andin memesan makanan yang tampak menggiurkan di buku menu. 

 

"Oh gitu, oke," ujar gadis itu santai, tidak menampakan kekesalannya sama sekali. Hal yang membuat Al tampak bingung. Biasanya gadis ini akan marah-marah jika Ricky membatalkan janji. Karena faktanya hal seperti ini memang sudah terjadi berulang kali. 

 

"Mbak Andini nggak marah?" tanya laki-laki itu memyuarakan kebingungannya. 

 

"Tentu saja marah, saya udah kelaperan, yang ditunggu malah nggak dateng." Jawaban yang semakin membuat sosok Al kebingungan. Bukankah alasan marah itu terlalu sederhana?

 

"Kamu udah makan siang?" tanya Andin sembari mendongak, lalu mengangguk saat Al menjawab sudah. 

 

"Saya tunggu Mbak di mobil." Andin langsung mengangguk setuju untuk kalimat itu karena dirinya tidak akan nyaman jika Al tetap berada di sekitarnya. Hal yang lagi-lagi membuat laki-laki itu bingung. Karena biasanya, meski dirinya tidak makan Andini akan menyuruhnya menemani. Gadis itu selalu berkata tidak bisa makan di meja makan seorang diri.

 

Selepas kepergian Al, Andin langsung memesan banyak makanan yang membuatnya penasaran. Kapan lagi dia bisa merasakan makanan mewah tanpa harus memikirkan biaya pengeluarannya. Uang Andini tidak akan habis hanya untuk membeli semua hidangan mewah di restoran ini. 

 

*

 

Andin sungguh puas menikmati semua hidangan yang tersedia. Semua makanan itu enak, tetapi sayangnya disediakan dengan porsi kecil. Sungguh tidak sebanding dengan harga yang dikeluarkannya. Bahkan dengan lima menu dia belum merasa kenyang tadi. 

 

"Bisa sebutkan lokasinya, Mbak?" tanya Al sembari memerhatikan Andin yang sudah duduk manis di bangku belakang mobil. 

 

"Oh ya bentar." Andin mengeluarkan ponselnya, membuka pesan yang Elsa kirimkan, lalu menyorongkan benda pipih itu pada Al untuk memeriksa alamat yang tertera di pesan. 

 

Al tampak mengangguk, lalu segera melajukan mobilnya setelah mengembalikan ponsel milik Andin. 

 

"Mas Al tahu restoran enak selain tempat tadi?" Andin bertanya dengan penuh antusias, dia ingin menjelajah kuliner dan mencoba semua makanan enak di Kota Jakarta. 

 

Al tidak langsung menjawab, dengan sorot datar dan sedikit kebingungan laki-laki itu mengangguk. "Dulu Mbak Andini pernah kasih tahu saya beberapa tempat makan enak."

 

"Dia suka makan juga?" 

 

Al mengangkat alis bingung untuk pertanyaan tersebut, dan Andin sadar sudah salah bicara. 

 

"Maksud saya, apa saya yang dulu suka jelajah kuliner gitu? Saya nggak inget apa pun soalnya." Andin menunjukkan ringisan tipis, setelah ini dia harus lebih berhati-hati memilah kalimat yang tepat agar tidak menimbulkan kecurigaan. 

 

Kali ini Al menunjukkan senyuman tipis, nyaris tidak terlihat tetapi masih bisa tertangkap oleh mata Andin. 

 

"Mbak suka jelajah kuliner sama belanja. Tapi Mbak seringnya bagiin makanan sama pakaian itu ke orang lain." 

 

"Oh ya?"

 

Al mengangguk, senyum tipis itu kembali terlihat. "Mbak kesepian, jadi Mbak sering mendatangi orang-orang kurang mampu untuk berbagi. Melihat mereka, Mbak bilang membuat hati Mbak lebih tenang karena bisa mensyukuri hidup."

 

Andin terdiam, ternyata sosok Andini seperti itu. "Mas kayaknya tahu banget, memangnya Andini—maksud saya, dulu kita sering pergi bareng?"

 

"Bukan pergi bareng," ralat Al. "Mas Ricky sering membatalkan janji, jadi Mbak seringnya nyuruh saja buat nemenin Mbak sebagai gantinya."

 

Andin mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi bisa dibilang kita ini cukup dekat?" 

 

"Tidak bisa dibilang begitu juga. Saya cuman supir, bagaimana bisa dekat dengan pacar majikan saya." 

 

*

 

"Kenapa?" Elsa menyorongkan air mineral pada Andin yang sejak tadi terlihat berpikir terlalu keras. 

 

Andin menggelengkan kepalanya, lalu meminum air mineral di  tangannya dan kembali berpikir. 

 

"Gimana makan siang? Hubungan kalian makin baik, kan? Ricky udah jelasin tentang masalah kalian kemarin?" 

 

Andin kembali menggelengkan kepalanya untuk pertanyaan beruntun itu. "Dia nggak dateng."

 

"Oh." Hanya itu tanggapan yang Elsa berikan, dan tentu saja membuat Andin bingung. 

 

"Memang dia seperti itu?"

 

"Siapa? Ricky?" Andin mengangguk sebagai jawaban. 

 

"Kerjaan dia padet, pengusaha muda, biasalah baru dikasih kepercayaan sama bokapnya buat ngelola perusahaan." 

 

"Jadi beneran yang membuat kami bertengkar dulu gara-gara dia sering batalin janji?" 

 

Elsa mengedikkan bahu, "Mungkin. Lo kan, kurang peka orangnya. Maunya diperhatiin mulu, dunia lo seakan-akan cuman ada Ricky doang. Nggak ngertiin kalau cowok lo itu orang sibuk."

 

Andin mengerutkan kening karena di sini Elsa seperti menyudutkannya, atau lebih tepatnya menyalahkan sikap Andini. 

 

"Dunia Ricky bukan cuman lo doang, Din. Jadi stop buat terus posesifin dia." 

 

*

 

Andin semakin merasa penasaran dengan kehidupan yang Andini jalani. Semua orang yang berada di sekitar gadis itu seperti menyimpan misteri. Orang tua yang jarang ditemui, sosok Elsa yang mengaku sahabat tetapi seperti tidak tulus, sosok Ricky yang sepertinya juga tidak memiliki ketulusan, belum lagi Al yang harusnya tidak menjadi orang penting malah seperti yang paling selalu ada waktu untuk gadis itu. 

 

"Non, ini jusnya." Mbok Yus masuk ke kamar yang sengaja Andin buka. Wanita setengah baya itu membawa nampan dengan jus alpukat di atasnya. 

 

"Taruh situ aja, Mbok." Andin menunjuk meja di depan sofa yang kini tengah dirinya duduki. 

 

"Oh ya, Mbok," ujar Andin mengurungkan niat Mbok Yus untuk keluar. 

 

"Ya, Non?"

 

"Mbok kenal Mas Al?"

 

"Mas Aldebaran?"

 

"Supirnya Ricky." 

 

"Iya, Mas Aldebaran."

 

Oh, jadi namanya Aldebaran? 

 

"Kenapa, Mbak?" 

 

"Memangnya, saya sering pergi sama dia?" 

 

Mbok Yus tampak mengerutkan kening. "Mas Aldebaran sering jemput Mbak buat ketemu Mas Ricky. Setahu Mbok, si, begitu, Non."

 

Andin mengangguk-anggukkan kepalanya. "Menurut Mbok, dia orang baik?" 

 

Mbok Yus tampak tersenyum lebar mendengar pertanyaan itu. "Baik banget, Non. Orangnya ganteng, sopan lagi."

 

Andin hanya menghela napas. "Kalau Ricky?"

 

"Kalau Mas Ricky." Mbok Yus kali ini seperti menunjukkan sorot tidak suka, tetapi takut untuk menyuarakan isi pikirannya. "Ya, baik juga kok, Non."

 

"Kok ragu gitu? Nggak papa ngomong aja, Mbok. Aku pengin tahu pandangan Andini tentang mereka. Apa dia pernah ngomongin mereka sama Mbok?"

 

Mbok Yus sebenarnya bingung mendapat pertanyaan seperti itu. Karena anak majikannya ini membicarakan sosok Andini seperti orangnya tidak sedang berada di sini. 

 

"Aku nggak inget apa pun, Mbok. Jadi aku ngerasa seperti aku yang dulu sama yang sekarang itu beda orang," jelas Andin untuk mengurangi kebingungan yang terpancar jelas di wajah Mbok Yus. 

 

Wanita itu pun akhirnya mengangguk maklum. "Non dulu nggak pernah cerita apa-apa ke Mbok. Non orangnya tertutup, seringnya mendem masalah sendiri." 

 

"Terus?"

 

"Akhir-akhir ini, Mbok sering lihat Non nangis, Non murung terus setiap hari. Tapi kalau Mbok tanya, Non selalu bilang enggak apa-apa."

 

Andin merasa prihatin pada sosok Andini yang mungkin saja menyimpan masalah besar. 

 

"Tapi, Mbok sesekali lihat Non senyum." 

 

"Kapan itu?"

 

"Kalau Mas Aldebaran jemput buat ketemu Mas Ricky."

 

Andin mengangkat alisnya, sedikit bingung dan terkejut. "Menurut Mbok. Dia senang karena dijemput Al? Atau karena mau ketemu Ricky?" 

 

"Emm, nggak papa nih kalau Mbok jawab ngawur?" Andin mengangguk cepat. 

 

"Kalau menurut Mbok. Non senang karena bertemu Mas Aldebaran."