Contents
Askara sang penerus tahta
4. Keputusan Egois Seorang Aldebaran
Pagi hari, Aldebaran di bangunkan oleh sinar matahari pagi yang menembus sela-sela jendela kamar dan membuatnya silau.
Dia menyipit kan matanya sambil dikucek-kucek agar penglihatannya menjadi jelas.
"Udah pagi ternyata. Aduh Saya ketiduran abis sholat shubuh." Gerutunya sambil berusaha untuk duduk tegak.
Al tersenyum menatap wajah istrinya yang juga tertidur disampingnya dengan masih menggunakan mukena dan Al-qur'an di genggaman tangannya.
"Ndin, sayang. Bangun udah pagi." Al mencium kening Andin dengan lembut.
"Astagfirullah mas." Andin tersentak kaget dan langsung merapihkan mukenanya.
"Kamu kalau mau tidur lepas dulu mukenanya, simpan dulu Al-Qur'annya." Al beranjak dari tempat tidurnya.
"Mau kemana mas?" Andin memegang tangan Al dan menariknya hingga Al terduduk kembali di tepi kasur.
"Mau mandi lah, saya kan harus ke kantor." Al melepaskan tangan Andin dengan lembut.
"Mas ga bosen apa ke kantor terus? Mas kan udah tua." Andin tertawa mengejek suaminya.
"Siapa bilang saya udah tua? Masih kuat gini dibilang tua." Al menunjukan otot-otot di lengannya sambil tertawa kecil.
"Iya iya percaya aku." Andin memonyongkon bibirnya.
"Sebenarnya saya mau suatu saat Askara jadi pengganti saya menjadi pemimpin di perusahaan." Ucap Al sambil terlihat melamun.
"Tapi kan mas, Askara baru aja lulus SMA. Belum kuliah. Masih lama kayanya." Keluh Andin mendengar pernyataan Aldebaran.
"Ya tapi kan bisa kuliah sambil sedikit-sedikit belajar tentang perusahaan."
"Kalau kuliah nya kaya Reyna di luar negeri. Mana bisa mas."
"Ya saya harap Askara mau kuliah disini dan bantu saya di perusahaan." Al melengos pergi ke kamar mandi tanpa mendengar pendapat Andin lagi karena ia yakin kalau Andin akan menuruti apapun yang diminta oleh anak laki-laki satu-satunya itu.
***
- Swiss -
Reyna duduk di tepi kasur sambil memainkan ponselnya.
"Kalo di indo berarti ini udah pagi. Gue telf mamah ah."
Tuuttt tuuuttt
"Assalamu'alaikum sayang." Suara lembut Andin terdengar di seberang telfon.
"Wa'alaikumsalam mah, aku ganggu ga nelf mamah jam segini? Mamah pasti mau siap-siap ke kampus ya?" Tanya Reyna antusias.
"Mamah baru bangun nih nak. Sekarang lagi nungguin papah mandi soalnya mamah ga ke kampus hari ini. Kan disini libur sayang." Jawab Andin.
"Oh iya ya. Mah.. aku kangen mamah dan papah. Aku pengen pulang." Terdengar kesedihan di hati Reyna.
"Ada apa sayang? Pasti ada masalah ya disana?" Tanya Andin karena tidak biasanya Reyna menelfon dan meminta pulang.
"Emm, mamah kenapa tau aja kalau aku ada masalah."
"Iya dong, mamah kan mamah kamu. Ayo cerita sama mamah, ada masalah apa?" Tanya Andin lembut.
"Aku dan Robi udah putus mah." Jawab Reyna.
"Kenapa sayang? Bukannya kalian saling mencintai?" Andin terkejut mendengar jawaban Reyna.
"Ceritanya panjang banget mah, tapi kemarin dia ngajak balikan lagi. Menurut mamah aku harus ngapain?"
"Ikuti kata hati mu sayang, mamah ga bisa nyuruh kamu untuk melakukan apa yang mamah mau. Keputusan sepenuh nya ada di kamu. Jika kamu nyaman dengan keputusan itu, mamah yakin kedepannya akan lebih baik sayang."
"Terimakasih mah, ga salah Reyna telf mamah." Reyna tersenyum mendengar penjelasan Andin.
"Sama-sama sayang."
"Oh ya mah, Askara udah di indo ya sekarang?"
"Iya nak, udah semingguan. Katanya mau puas-puasin dulu disini baru mikirin kuliah."
"Masa sih mah, waktu itu pernah bilang ke aku katanya Aska mau di terusin akmil gitu, karena kan cita-citanya pengen jadi tentara mah."
"Akmil?" Andin terkejut mendengar pernyataan Reyna soal cita-cita anak laki-laki nya itu.
"Iya mah, malahan sebelum pulang ke Indo, Aska bilang juga ke aku udah pelajari berkas-berkas pendaftarannya." Reyna menegaskan bahwa pernyataannya memang benar.
"Koq Askara ga pernah cerita ke mamah ya. Dia ga ada bilang apa-apa loh."
"Uppsss maaf mah sepertinya dia mau kasih kejutan ke mamah.. hehe. Mamah pura-pura ga tau aja ya. Ya mah?"
"Ihh kamu, ya udah gih istirahat. Sepertinya papah udah mau selesai mandinya, giliran mamah mau mandi dulu. Dah sayang. Assalamu'alaikum."
"Oke mah. Wa'alaikumsalam."
Reyna pun menutup telfonnya dan merebahkan diri di kasur. Dia belum bisa tidur sebelum menelfon Andin dan curhat kepadanya. Setelah mendapat solusi dari ibunya, dia pun mulai memejamkan mata dan tertidur.
***
- Jakarta -
Di meja makan pondok pelita terlihat kekuarga Alfahri sedang menyantap sarapan yang telah disediakan oleh Kiki dan Mirna.
"Oh iya mas tadi Reyna telfon loh." Ucap Andin.
"Ada apa katanya?" Tanya Aldebaran.
"Dia putus sama Robi mas." Andin tertawa kecil.
"Anaknya putus koq malah diketawain."
"Abisnya lucu mas, masa udah putus trus ngajak balikan lagi si Robinya."
Aldebaran geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
"Oh iya nak, udah tau mau masuk SMA kemana?" Tanya Andin kepada Rania yang sedang asyik makan sambil scroll tiktok di ponselnya.
"Sayang, makan dulu. Simpen hp nya." Ucap Aldebaran.
"Iya pah maaf." Rania meletakkan ponselnya di meja. "Nia mau ke sekolah kita aja mah pah. Biar ga ada yang berani sama Nia." Rania tersenyum bangga.
"Emang kalo ga di sekolah kita, ada yang berani sama cewe barbar kaya kamu?" Askra menyenggol lengan Rania.
"Ya engga sih. Haha." Kali ini Rania tertawa malu. "Tapi Nia bener koq mah, Nia mau sekolah di SMA kita aja. Temen-temen Nia juga banyak yang mau sekolah disana." Lanjutnya.
Andin mengangguk-angguk sementara Aldebaran tersenyum bangga karena putri bungsunya tidak memanfaatkan kekayaan orang tuanya untuk memilih sekolah elite yang biayanya selangit.
"Kalo kamu nak?" Kini Andin bertanya kepada Askara yang dari tadi fokus makan.
"Askara juga akan kuliah di Universitas kita mengambil jurusan bisnis." Belum sempat Askara menjawab, Aldebaran sudah terlebih dahulu menhawabnya.
"Tapi mas, kita kan ga tau kemauan Askara. Cita-citanya dia." Ucap Andin yang melihat mood anaknya menjadi beda.
"Apa penting cita-cita untuk anak laki-laki? Yang terpenting itu anak laki-laki bisa meneruskan bisnis keluarga." Tegas Aldebaran.
"Ya ga gitu mas, gimana kalau Askara mau jadi dokter? Polisi? Atau Tentara?" Andin melirik Askara, ingin mengetahui responnya bagaimana ketika Andin mengucapkan kata Tentara. Dan terlihat senyum bahagia walau tipis di raut wajahnya.
"Ga Ndin, keputusan saya udah bulat. Askara akan kuliah di Universitas Alfahri. Titik." Al menatap tajam Andin. "Saya pergi dulu." Al beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke kantor setelah semuanya cium tangan kepadanya.
"Aku ke kamar dulu mah." Askara berdiri dan owrgi meninggalkan meja makan.
"Nak, tunggu sayang." Andin berlari mengejar anaknya.
"Trus aku ditinggalin sendiri gitu aja?" Rania cemberut melihat kursi sekeliling yang sudah nampak kosong.
***