Contents
BAHAGIA UNTUK ANDIN
Bab 3. Sosok Al yang dingin
"Udah ngerasa lebih baik?" Pertanyaan itu muncul dengan nada begitu lembut. Berasal dari seorang pemuda yang kini duduk di seberang sofa tempat Andin duduk.
Andin menganggukkan kepala sebelum menjawab, "Alhamdulillah, udah." Andin menyungingkan senyuman tipis pada pemuda yang diketahuinya bernama Ricky ini. Yang menurut informasi dari Elsa, berstatus sebagai kekasihnya.
"Aku benar-benar minta maaf," ujar Ricky sembari menunduk, ada sorot penuh sesal yang sempat Andin tangkap menaungi wajah tampan itu.
Andin yang bingung hanya diam. Elsa memang sudah mengatakan jika hubungan Andini dan Ricky sedang dalam masalah, tetapi masalah apa yang terjadi tidak ada yang tahu.
"Kamu masih marah?" Ricky menatap lembut mata Andin yang menyiratkan sebuah kebingungan.
"Maaf, tapi sa—maksudnya aku nggak ingat apa pun," jawab Andin apa adanya. "Memangnya, kita benar sedang ada masalah?"
Ricky mengangguk pelan, "Kamu marah karena aku nggak pernah ada waktu buat kamu. Dan hari itu aku lupa kalau kita ada janji buat makan siang."
Andin mengerutkan kening, dia sudah berpikir masalah yang Andini miliki dengan Ricky lebih dari ini. Bukankah jika hanya seperti ini adalah sebuah hal yang tidak perlu diributkan?
"Aku paham kok kenapa kamu marah. Kamu cuman punya aku, orang yang perhatian sama kamu. Dan saat perhatianku berkurang, kamu merasa nggak ada lagi yang peduli sama kamu."
Kalimat itu membentuk satu pemahaman baru tentang kehidupan Andini. Gadis itu tidak menerima kasih sayang yang layak dari kedua orang tuanya. Dan saat memiliki kekasih, dia ingin mendapat perhatian lebih. Mungkin memang wajar jika apa yang Ricky lakukan membuat Andini marah. Entahlah, Andin tidak terlalu paham karena dirinya tidak pernah kekurangan perhatian sedikit pun dari sosok orang tua.
"Tapi aku janji, mulai sekarang aku bakalan selalu sisihin waktu buat kamu. Dan aku bakalan pasang pengingat kalau kita punya janji."
Andin tersenyum, lalu mengangguk, tidak tahu lagi harus memberi respon seperti apa.
"Jadi udah nggak marah, kan?"
Andin lagi-lagi mengangguk, lalu sempat terkejut saat Ricky bangkit dan berpindah posisi duduk di sampingnya. Pemuda itu tanpa ragu-ragu merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan.
"Apa pun yang terjadi, kamu harus yakin kalau aku itu sayang banget sama kamu," ujar pemuda itu. Andin yang tidak pernah mendapat perlakuan manis dari lawan jenis tentu saja langsung tersentuh dan merasakan bahagia yang begitu meluap. Ternyata seperti ini rasanya memiliki kekasih.
*
"Gimana, udah baikan sama cowok lo?"
Andin mengangguk untuk pertanyaan yang Elsa lontarkan. Keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju tempat pemotretan iklan yang akan Andin lakukan.
"Aku gugup," ujar Andin dengan sorot takut. Apa dia bisa menjadi model iklan? Pengalamannya sama sekali tidak ada, bagaimana jika nanti dia malah mengacaukan segalanya?
"Tenang aja, gue udah kasih tahu tentang kondisi yang lo alami sama kru. Jadi nanti mereka bakalan ngarahin. Lo tinggal ikutin aja." Terdengar mudah, tetapi apakah memang benar semudah itu?
"Kalau aku nggak bisa?"
Elsa malah tertawa, "Pasti bisa. Gue aja yang amatiran bisa, apalagi lo. Walaupun hilang ingatan, bakat lo di depan kamera gue rasa masih ada."
Andin mengembus napas pendek. Mungkin itu yang terjadi jika dirinya ini memang benar-benar Andini, dan benar-benar sosok yang sedang lupa ingatan. Namun, faktanya dia dan Andini hanyalah raga yang bertukar jiwa. Entah ke mana jiwa Andini yang asli kini berada.
"Udah, santai aja. Krunya baik, nggak bakalan marah-marah kalau lo nggak bisa juga."
Andin akhirnya hanya bisa mengangguk, memasrahkan semuanya pada keberuntungan. Semoga saja dia masih memiliki banyak, dan salah satu keberuntungan itu akan membantunya kali ini.
*
Andin merasa senang saat ternyata dia berhasil melakukan pekerjaannya dengan baik. Secara naluri, dia seperti sudah pernah atau malah bisa dikatakan sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini. Apa sebenarnya dia memiliki bakat terpendam menjadi seorang model?
"Kerja bagus Dini!" puji sang kameramen karena pemotretan kali ini tidak memakan banyak waktu.
Andin tersenyum senang untuk pujian itu. Benar-benar tidak menyangka jika dirinya bisa seluwes itu di depan kamera. Hanya keberuntungan atau memang dirinya memiliki bakat terpendam?
"Apa gue bilang, bakat lo nggak bakalan hilang hanya karena amnesia," ujar Elsa sembari menyorongkan satu minuman buah ke arah Andin.
"Makasih," jawab Andin dengan senyum manis yang terus tersungging.
"Dua jam lagi kita ada pemotretan lagi buat endorse baju, gue udah cari lokasi yang bagus buat ambil gambar."
Andin hanya mengangguk untuk informasi tersebut. Pekerjaan ini sungguh hal yang tidak pernah dia bayangkan akan dia lakukan. Namun, ternyata hal ini sangat menyenangkan.
"Permisi!"
Kedua gadis itu mendongak saat seorang laki-laki tampak berdiri di depan mereka.
"Eh, Mas Al, ada apa?" Elsa yang bertanya, sepertinya gadis itu mengenal laki-laki berperawakan tinggi dengan kulit kecokelatan itu.
"Mas Ricky mau ngajak Mbak Andin makan siang," ujar laki-laki itu dengan wajah datar.
Elsa menoleh ke arah Andin yang hanya diam, memerhatikan wajah laki-laki yang memiliki jambang dan kumis tipis itu.
"Kalau gitu kita ketemu di lokasi aja, ya, nanti," ujar Elsa. Andin yang bingung hanya melebarkan mata.
"Lo ikut Mas Al, dia bakalan nganter ke tempat Ricky. Nanti dari sana biar Ricky yang nganter lo ke lokasi."
Andin mengangguk untuk penjelasan Elsa, lalu segera bangkit sembari menyandang tas selempangnya.
*
Sepanjang perjalanan yang Andin lalui hanya ada hening. Laki-laki yang kini tengah menyetir di bangku depan sana sepertinya adalah supir Ricky. Dia sosok yang tidak banyak bicara, berwajah datar, dan bahkan terkesan dingin.
"Mas ini, supirnya Ricky?" Andin memberanikan diri untuk bertanya. Laki-laki di depan mengangguk sebagai jawaban.
"Apa sebelumnya kita pernah ketemu?" tanya Andin lagi. Entah mengapa ingin sekali mengajak laki-laki ini mengobrol.
Laki-laki bernama Al itu tidak langsung menjawab, melainkan menatap tajam Andin melalui kaca tengah mobil. Hal yang sempat membuat Andin takut karena tatapan itu seperti tengah menunjukkan sebuah ketidaksukaan. Apa mereka memang sudah pernah bertemu dan tidak memiliki hubungan baik?
"Maaf kalau saya banyak tanya. Tapi ingatan saya hilang sama sekali, jadi saya—"
"Saya pernah menjemput Mbak Andin beberapa kali untuk bertemu dengan Mas Ricky," potong laki-laki itu cepat.
"Oh." Andin mengangguk, dan berusaha untuk tidak menyuarakan sesuatu lagi. Gadis itu memilih untuk melempar pandang ke luar jendela. Menikmati pemandangan di luar sana yang sebenarnya tidak menarik. Namun, saat merasa seperti ada yang memerhatikan, gadis itu menggerakkan kepalanya ke depan. Entah dia yang salah melihat, atau memang Al sejak tadi terus mengamatinya melalui kaca tengah mobil.
Andin memilih untuk mengabaikan prasangkanya. Namun, saat mobil terhenti karena lampu jalan berubah merah, gadis itu terpaksa menarik pandangnya untuk memastikan sesuatu. Dan kali ini, dia bingung karena laki-laki di depan setir itu memang terus saja memandangnya. Entah sorot apa yang Al berikan, jika Andin tidak salah melihat, malah seperti ada secercah senyum yang laki-laki itu sorotkan. Hanya sebentar, karena selanjutnya tatapan itu berubah datar dan dingin kembali. Diam-diam Andin merasa sedikit takut dengan sosok Al ini.