Contents
BEHIND APARTEMENT DOOR
3
Untuk kali pertamanya dalam hidup, Btari salah tingkah. Gara-gara maskernya jatuh di toilet, wanita itu kembali ke ruangan bosnya tanpa masker. Berniat tetap profesional dengan meminta jeda mengambil masker cadangan di tas yang dititipkan dalam ruangan kepala cabangnya, Btari malah berdiri kaku nyaris seperti robot ketika mendekati manajer barunya.
Bagaimana tidak, pria baru yang dia judesi semalam tahu-tahu saja menjelma sebagai manajer barunya di kantor. Dan Btari tidak percaya kebetulan di dunia ini. Semua pasti ada sebab dan akibatnya.
Sampai-sampai selama makan siang, satu-satunya yang Btari pikirkan adalah bagaimana Alaska bisa bertetangga dengannya. Hingga nama Sintia, HRD di kantornya, muncul di kepala. Wanita itu ingat Sintia sempat menanyakan masalah apartemen kosong di seberang unitnya beberapa hari lalu.
“Dasar bodoh!” omel Btari pada dirinya.
Bergegas dia mengenakan kembali maskernya begitu selesai makan. Bukannya kembali ke ruangan Fathir—ruang kerja sementara untuk Alaska juga, Btari mampir sejenak ke HRD di lantai dua. Wanita itu harus bertanya atau mungkin protes.
Dentingan lift terdengar disusul pintu warna silver itu terbuka. Lantai dua terlihat sedikit sepi, selain karena memang hanya sebagian yang bekerja di kantor. Dan juga beberapa orang masih memilih makan siang saat ini.
Lambat-lambat Btari memasuki kubikel-kubikel menuju tempat Sintia berada. Beruntungnya rekan kerjanya ini tengah makan siang di tempat sambil mengerjakan sesuatu di komputernya.
“Sin,” panggil Btari.
Sintia mendongak. Keningnya berkerut. Segera saja Btari menurunkan maskernya untuk memberitahukan identitasnya. “Mbak Btari, ada apa?”
Btari segera menarik kursi mendekati Sintia. Begitu mendudukinya, wanita itu baru bertanya, “Kamu kemarin tanya-tanya masalah apartemen di seberang saya itu maksudnya apa?”
Kening Sintia mengernyit sesaat, sebelum akhirnya terkekeh. “Oh iya, Pak Dono, atas saya suruh buat cariin apartemen secepatnya dengan spesifikasi bagus dan juga dekat dari kantor. Terus saya ingat kalau kapan hari mbak Btari ngeluh karena udah sebulan terakhir sendirian di lantai apartemen soalnya yang punya unit depan pindah. Jadi, saya tanya-tanya ke Mbak Btari dulu buat mastiin masih kosong apa enggak, baru deh saya tanya pemilik gedung. Katanya yang punya unit itu butuh cepat dijual karena pandemi. Pas saya kasih tahu juga kalau Mbak Btari tinggal di apartemen seberang, Pak Dono langsung setuju ambil apartemen itu. Katanya yang tepatin manajer keuangan yang baru atasan Mbak Btari, kan?”
Benar-benar bukan kebetulan! Keluh Btari. Dan sekarang wanita itu menyesal pernah berkeluh kesah pada Sintia.
Sebenarnya Btari senang-senang saja di lantai unitnya ada tetangga baru. Namun, karena Alaska bosnya, membuat wanita itu merasa canggung.
“Halo, Mbak, benar kan kalau atasan barunya Mbak Btari yang tinggal di sana?”
“Iya,” jawab Btari dengan datar. Untungnya masker dapat menyembunyikan kedua sudut bibir Btari yang menurun. “Kamu kenapa nggak bilang ke saya kalau manajer baru saya yang bakal jadi tetangga baru saya, Sintia?”
“Haruskah?” Pertanyaan balik Sintia sukses membuat Btari agak jengkel.
“Harus!” balas Btari dengan sedikit nada marah. Segera saja dia memeras otak untuk mencari alasan yang masuk akal selain malu dia sudah bersikap judes ke manajer barunya. “Kalau kamu kasih tahu dulu siapa yang tinggal di sana, Sintia, saya bisa prepare buat kasih kejutan atau sambutan buat Pak Alaska. Hitung-hitung sikap baik saya sebagai tetangga dan bawahan baru.”
Sintia lalu nyengir, “Bener juga ya, Mbak, saya nggak kepikiran. Maaf ya, Mbak Btari. Tapi saya setuju sih, Mbak, bagaimanapun kita sebagai bawahan, kita harus memperlakukan atasan sebaik mungkin. Bukan penjilat namanya, tapi realistis biar hubungan profesional nggak terganggu.”
Btari manggut-manggut. Wanita itu ingat, dialah yang langsung mengiakan Fathir saat pria itu memintanya untuk membimbing Alaska menjadi manajer keuangan. Walaupun kecewa bukan dirinya yang dinaikan pangkat, tapi Btari sadar dia kalah dengan koneksi Alaska sebagai adik ipar bos besar Facayu. Catatan lagi, Alaska juga adik dari artis yang Btari sukai.
“Oya, Mbak, kenapa nggak sekarang aja kasih kejutannya? Ya walaupun telat sehari, tapi kan yang penting niat kita, kan?”
“Ide bagus, Sin!” ucap Btari begitu saja. Wanita itu segera beranjak seraya menepuk pundak Sintia. “Thanks ya buat sarannya. Saya balik dulu.”
Dengan senyum bangga dan penuh percaya diri, Btari bergerak menuju lift dan naik ke lantai lima. Sikapnya yang kemarin memang tidak dibenarkan dan wanita itu harus mengakuinya. Terpenting adalah membangung relasi dengan baik antara dirinya dan Alaska.
Karena saat ini, Btari tidak mungkin pergi dari kantor ini apalagi kembali ke Jakarta. Kehamilannya saat Damar, suaminya meninggal, pandemi yang entah kapan berakhir, banyaknya cicilan dan nilai penalti kontrak kerjanya, pada akhirnya yang bisa Btari lakukan hanyalah bertahan. Lagi pula wanita itu sudah berjanji dirinya akan menjadi wanita super untuk anak dalam kandungannya.
***
Sedikit tersengal dan juga bercucuran keringat, akhirnya Btari sampai juga di apartemen. Ada sebuah kue lapis terenak di Surabaya dan mungkin salah satu ikon kue di kota ini. Biasanya para wisatawan selalu memadati tempat jualnya hingga kadang kehabisan. Namun yang membuat Btari sampai kelelahan bukanlah rebutan—lagi pula pandemi menyebabkan nyaris tidak ada wisatawan yang datang, melainkan karena tempat jualnya cukup jauh dan terpencil. Belum lagi masker yang agak ketat menutup mulut dan hidungnya menyusahkannya bernapas normal.
Wanita itu segera berbelok ke sisi kiri, lalu menekan bel. Kening Btari berkerut saat tak ada jawaban padahal sudah berkali-kali dia menekan bel. Lelah sendiri pada akhirnya dia memilih untuk duduk seraya bersandar di depan pintu apartemen Alaska. Dilepaskan maskernya agar napasnya lebih baik.
Ketika tatapan Btari menatap pintu apartemennya sendiri, tiba-tiba saja ingatan beberapa bulan lalu berputar di kepalanya. Dia berdiri kaku di depan pintu apartemennya. Sedangkan ada beberapa tenaga kesehatan dengan APD lengkap memasuki unitnya.
“Mas Damar, jangan tinggalin aku. Cepat sembuh!” teriak Btari ketika sosok suaminya sudah ditidurkan di atas tandu. Ada alat bantu napas yang dipasangkan di wajahnya. “Kamu harus sehat, Mas!”
Satu-satunya jawaban Damar di sela-sela kesadarannya adalah anggukan. Saat itu Btari sangat percaya suaminya itu akan sembuh, tapi ternyata itu kali terakhir mereka bisa begitu dekat sebelum akhirnya terpisahkan oleh kematian.
Sejak kecil Damar memiliki penyakit asma. Sudah tidak pernah kambuh selama beberapa tahun terakhir. Ketika covid datang, Btari sudah was-was. Dia juga selalu mengingatkan suaminya itu mematuhi protokol kesehatan mengingat pekerjaan Damar sebagai banker yang membuatnya sering bertemu banyak orang. Dan benar saja, sekali covid datang, Damar tak selamat.
Tahu-tahu saja air mata Btari menitik. Usapan di perutnya semakin sering. Wanita itu ingat, tujuh hari setelah kepergian Damar, Btari baru mengetahui dirinya berbadan dua. Rasanya sangat menyedihkan ditinggal sendirian seorang diri di Surabaya dalam keadaan hamil. Ingin kembali ke Jakarta, tapi kondisi hamil muda dan pandemi yang gila serta masalah lainnya menyebabkan semua orang menahan Btari di sini.
“Mbak Btari.” Suara panggilan menyentak Btari. Dia mendongak. Alaska mengernyitkan kening sambil menatapnya. Begitu pria itu melepaskan maskernya, dia kembali bersuara. “Kamu ... nangis?”
Buru-buru Btari menghapus air matanya. Kemudian, dia berdiri. Segera disodorkannya kue lapis kepada Alaska sambil mencoba tersenyum. “Buat, Pak Alaska.”
“Ini apa?” tanya Alaska tanpa menggapai kue yang Btari sodorkan.
“Kue lapis khas Surabaya, Pak Alaska.” Kali ini senyum Btari mulai lebih tulus. “Diterima ya. Saya tahu sikap saya semalam nggak terlalu menyenangkan, jadi saya bermaksud meminta maaf. Sekaligus kue ini juga sebagai ucapan selamat datang di Surabaya.”
Alaska mengangguk. “Setuju! Sikap kamu semalam sangat menyebalkan. Saya bahkan hampir saja minta pindah ke apartemen yang punya tetangga lebih ramah. Mbak Btari, ini pandemi dan saya rasa punya tetangga yang bisa diajak kerja sama itu sangat dibutuhkan sekarang. Eh, maaf, saya panggil mbak nggak apa-apa, kan? Kebetulan kamu lebih tua tiga tahun dari saya.”
“Nggak masalah. Sama sekali nggak masalah, Pak Alaska,” jawab Btari begitu saja. Namun pegangannya yang diabaikan terasa mulai kebas. Agak sedikit jengkel, dia bertanya. “Jadi permintaan maaf saya diterima nggak, Pak? Tangan saya pegal banget.”
“Astaga, maaf, maaf.” Alaska terkekeh. Pria itu buru-buru mengambil alih kue yang Btari sodorkan. “Maaf diterima.”
Btari mengangguk. Dia sudah bersiap untuk meminta izin masuk ke apartemennya. Hanya saja, Alaska tahu-tahu mengulurkan tangan kanannya yang bebas. Pria itu berkata, “Kita mulai dari awal ya, Mbak. Salam kenal saya Alaska Ganendra. Kedatangan saya ke Surabaya bukan hanya jadi tetangga kamu, tapi juga manajer keuangan di tempat kamu kerja.”
Tanpa ragu Btari langsung membalas uluran tangan Alaska. “Saya Btari Parmadita. Senior yang akan membimbing Pak Alaska selama di Surabaya.”
Keduanya berjabat tangan sejenak, sebelum akhirnya Alaska lebih dulu izin masuk unitnya. Bergegas Btari ikut memasuki unitnya. Namun, belum sempat dia menutup pintu, terdengar suara pintu terbuka kencang diikuti teriakan, “KECOA! KECOA! MBAK, KECOAK!”
Btari yang belum sempat berproses tahu-tahu saja sudah mendapati Alaska masuk ke unitnya, lalu bersembunyi di belakang punggung Btari. Pria itu berkata dengan suara bergetar, “Mbak, ada kecoa. Serem. Terbang-terbang.”
Mulut Btari mengangah. Meski bingung, wanita itu menjawab, “Diusir, Pak.”
“Nggak berani. Aduh! Itu serem banget terbang-terbang. Tolong saya, Mbak Btari.”
Seketika Btari menghela napas dalam. Permintaan atasan, sekalipun bukan di tempat kerja, tetap terasa salah kalau ditolak. Wanita itu manggut-manggut.
Segera saja Btari keluar dari unitnya, lalu menyebrangi lorong menuju unit Alaska. Sedangkan pria itu terus mengikuti sambil menyembunyikan badannya di balik punggung Btari seperti seorang anak kecil yang ketakutan.
“Di mana kecoanya, Pak Alaska?” tanya Btari seraya mengedar pandang.
“Sofa, sofa.”
Btari mengangguk. “Tunggu di sini.”
Setelah mengatakannya, wanita itu mencari-cari sesuatu yang memiliki permukaan datar. Ketika menemukan sebuah koran di laci sepatu, bergegas Btari mendekati tempat kejadian perkara. Benar saja ada kecoa di sana, tapi bertengger di atas sofa.
Koran dengan cepat Btari gulung. Kemudian, dengan kecepatan dan kekuatan super, wanita itu memukul keras kecoa hingga badan kecil serangga itu jatuh begitu saja ke lantai. Buru-buru dia mengambil sapu dan membuangnya ke tong sampah.
Dengan ekspresi datar, Btari berkata, “Udah saya buang kecoanya, Pak.”
Alaska yang menundukkan kepala sambil memejamkan mata di pintu langsung mendongak. “Lenyap?”
“Lenyap, Pak.”
Tanpa peringatan Alaska langsung menerjang Btari, lalu memeluk wanita itu erat. “Makasih ya, Mbak. Saya ... bener-bener takut kecoa sejak kecil. Sekali lagi terima kasih.”
Lagi dan lagi Btari hanya bisa mendesah panjang. Wanita itu juga meringis. Firasatnya mendadak mengatakan jobdesk barunya ini akan sangat melelahkan ke depannya. Bukan hanya menjadi pembimbing, sepertinya Btari akan menjadi babysitter Alaska, si bayi besar.
***