Try new experience
with our app

INSTALL

Love in The Thin Air 

5. Semalam Di Danau

(Juli)

Pil Joo

“Senang sekali orang itu dapat banyak ikan.” tunjuk Fendi dengan matanya pada seseorang dengan bandana hijau yang tengah mengangkat hasil tangkapannya, memperlihatkan pada dua kawan di depan tenda. “Tadi aku coba ikut mancing susah banget. Kawa, Aru dan Reo juga baru dapat satu ikan.” lanjutnya yang baru datang dari danau.

“Aku yakin, mereka bertiga akan dapat lebih banyak ikan lagi.” balas Pil Joo ikut memandang sekilas, lalu mencari posisi dua porter dan seorang guide mereka yang sedang mencari peruntungan ikan di danau.

“Kamu itu, orangnya selalu optimis ya.”

“Kalau aku orang yang pesimis mustahil aku bisa pada keadaan yang sekarang. Kamu tentu tahu. Banyak yang bilang modalku cuma tampang tidak punya suara bagus. Tapi aku belajar, berjuang, terus berlatih agar suaraku menjadi merdu.”

“Yah, aku tahu.” Fendi duduk menjejeri Pil Joo turut memandang danau yang semakin berwarna tua. “Terkadang celoteh netizen bisa memacu lebih baik. Meski kadang bisa juga menyebabkan depresi dan tidak berkarya lagi.”

“Dunia hiburan memang kejam,” Pil Joo tersenyum sendiri sambil mematikan api kompor yang telah mendidihkan air. “Untung aku bisa melewatinya.” 

“Tidak sekejam bukit penyesalan sih,” balas Fendi yang segera menyiapkan gelas untuk diisi kopi.

Pil Joo menuangkan air yang telah berisi bubuk kopi instan. Mengaduknya hingga air yang semula keruh berubah menjadi pekat. 

“Kita tetap lanjut Senaru?” tanya Fendi.

“Iya, toh sama saja naiknya besok sebelum turun.” balas Pil Joo.

“Katanya hutan Senaru teduh, sedikit ekstrim gurih, dan mistis. Sebelum matahari terbenam kita juga harus sudah sampai pintu gerbang.”

“Terdengar asyik.” komentar Pil Joo.

Keduanya lalu berduet memandang Gunung Baru Jari yang seolah mengambang di tengah danau. Dan semakin mendekati Magrib terlihat seperti siluet kapal tanker besar di samudera lepas.

Malam hari mereka akhirnya kesampaian makan ikan bakar hasil jerih dari Kawa, Aru dan Reo. Benar kata Pil Joo, ketiganya berhasil mendapat ikan lebih banyak dari orang yang sempat membuat Fendi iri tadi. Warga lokal pastilah lebih berpengalaman dalam hal memancing di danau tersebut.

***

(Juli)

Lima belas jam sebelum kecelakaan…

Sorenya Royan dan Rexa memancing di danau. Sementara Sin Chan bersama Dania menjadi penunggu setia tenda sambil menyiapkan makan malam yang lain. Menu malam ini sop, sambal kecap plus ikan bakar hasil pancingan Royan dan Rexa kalau dapat.

Sin Chan tak bosan memandang ke arah danau yang menempatkan Royan duduk di tepian. Berdiam menunggu umpan termakan ikan. Bentukan pria itu tak kalah gagah dari Gunung Baru Jari, menurut Sin Chan, sih.

“Ada yang menarik di sana?” tanya Dania.

“Gunung Baru Jari gagah banget ya.” tanggap Sin Chan enggan berterus terang.

“Gunung Baru Jari.” Dania mencibir. “Yang kamu maksud Royan?”

“Apaan!” sergah Sin Chan tak lagi memandang ke arah danau. Matanya menyisir tenda warna-warni yang menghias camping ground sekitar danau Segara Anak. Tampak beberapa bule dan orang berkulit kuning berkeliaran di sekitar.

“Mereka itu orang China atau Korea?” Sin Chan mengalihkan pembicaraan. “Kalau tidak mendengar obrolan mereka jadi tidak tahu asalnya.”

“Kamu suka Royan?” tuding Dania tanpa basa-basi.

“Haha... Dante, masa jeruk makan jeruk.” 

“Tapi pandangan matamu berkata lain.” mata Dania memicing curiga.

“Masa sih? Biasa aja.” Sin Chan mengelak, meski satu sudut hatinya perlahan namun pasti berjatuhan seperti gulir jam pasir. Memang benar Royan berhasil mengisi rongga kerucut yang melengkung ke bawah.

“Aku rasa kalian cocok.”

Sin Chan memandang Dania. Benarkah?Apakah akan berbalas? Selama ini Royan cuek bebek padanya.

Dan lagi, ketika teringat Gilang dan Widi. Gilang teman satu angkatan mereka sementara Widi kakak angkatan di atas persis MAPA 34. Sin Chan menggeleng. Dia tidak mau hubungan pertemanan yang melebihi saudara akan rusak oleh satu kata cinta. Gilang, Widi buktinya. Awalnya akrab sebagai teman saja, siapa sangka hati mulai bicara berkencanlah keduanya. Bahkan perayaan hari jadi Gilang-Widi menjadi acara besar bagi angkatan MAPA 34 dan MAPA 35. 

Dua tahun keduanya masih tampak mesra, menginjak tahun ketiga setelah lahir adik baru di MAPA, yang merupakan adik angkatan Sin Chan, hubungan Gilang-Widi merenggang. Gilang terlihat dekat dengan seorang adik manis, anak bimbingannya pra pengembaraan. Kata putus tercetus mengejutkan teman satu angkatan yang mengira keduanya akan langgeng hingga pernikahan. 

Perpisahan mereka menyisakan jurang menganga. Gilang-Widi tak pernah mau berkumpul bersama jika anggota MAPA mengadakan pertemuan demi mempererat jalinan persaudaraan antar angkatan. Bahtiar ketua MAPA kala itu sampai pusing tujuh keliling kalau keduanya bertemu seperti reuni anjing dan kucing.

“Dia bukan tipeku. Kamu lihat cowok itu.” Sin Chan menunjuk pada laki-laki berkulit kuning dengan rambut kecokelatan yang duduk depan tenda kira-kira dua puluh langkah arah jam dua. “Seleraku yang seperti itu. Mirip Lee Jong Suk. Tunggu, tapi orang itu kok tidak asing ya. Seperti pernah lihat.” Sin Chan mencoba mengingat. Ah, kan memang mirip Lee Jong Suk. Gimana sih?

“Lee Jong, siapa?”

“Lee Jong Suk. Aktor Korea, yang main drama ‘Doctor Stranger’, sama ‘Pinocchio’, masa nggak tahu?” runut Sin Chan pada drama Lee Jong Suk yang tenar di Indonesia.

“Aku bukan maniak drama Korea kayak kamu.” tanggap Dania. “Lagian kamu aneh, seleramu bertolak belakang sama hobi naik gunung.”

“Keras versus lembut mendayu. Sedaap!”

“Lap tuh iler!” tiba-tiba Royan nongol sambil membawa beberapa ekor ikan. 

Sin Chan menyedot air liur sambil pura-pura mengelap sisi bawah bibirnya. Royan tersenyum geli melihat ulah anak buahnya di Mahameru. Sangat menggemaskan.

“Dapat berapa?” tanya Dania. 

“Lima,”

“Tanggung amat, kenapa enggak dapat delapan sekalian.” protes Dania.

“Ini juga udah bagus dapat segini. Nggak semua orang menuai sukses seperti kami.”

“Jangan sombong, Bos!” redam Sin Chan.

“Memancing itu semacam keberuntungan Chan, umpan kita mau dimakan ikan atau enggak, tidak ada yang tahu.” ucap Royan sembari menyiangi ikan. Dia mengambil posisi agak ngumpet di balik pohon sebelah tenda mereka.

“Begitukah?” Sin Chan tampak mikir. 

“Posisi tempat memancing juga menentukan keberhasilan mendapat ikan.” cetus Royan lagi.

“Rexa tadi menyumbang berapa ikan?” Dania penasaran.

“Satu, tapi hebohnya minta ampun. Setelah itu berhenti. Bosan, katanya.”

Sin Chan tertawa menanggapi perkataan Royan. Dia paham seorang Rexa sudah pasti tidak suka berdiam diri di satu tempat terlalu lama.

“Trus orangnya mana?” tanya Dania. “Kok nggak balik tenda? Nyasar atau nyangkut di mana tuh anak.”

“Tuh, di sana!” tunjuk Royan pada tenda sebelah danau persis.  

Tenda tim Sin Chan memang berada pada dataran yang lebih tinggi, dekat pepohonan sehingga bisa memandang lepas ke area danau dan sekitarnya. Rexa terlihat kongkow di depan sebuah tenda berwarna oranye. CEO Bimbel Riko sekaligus gadis terkuat di MAPA 35 serta paling dominan di antara mereka bertiga, tampak berbincang akrab dengan salah seorang penghuni tenda tersebut. 

“Ketemu kenalannya.” lanjut Royan.

“Oh, pantesan.”

“Ikan langsung bakar aja, Kak Roy. Keburu lapar nih.” Dania yang hobi makan dan masak sesuai tubuhnya yang agak subur begitu nafsu melihat ikan di tangan Royan. “Aku udah siapkan bumbunya.”

“Iya, ini udah selesai dibersihin.” Royan segera alih profesi jadi tukang api untuk memanggang ikan.

Tepat ketika ikan jenis mujair matang, Rexa tampak melenggang menuju tenda biru dengan senyum lebar. 

“Wah, udah matang.” serunya girang. “Tinggal makan!”

“Bagianmu cuci alat masak dan alat makan lho, Rex.” komando Dania yang sedang membagi nasi.

“Dengan senang hati.” balas Rexa sangat manis membuat yang lain jadi curiga.

“Bahagia amat!” selidik Sin Chan penasaran. “Siapa tadi?”

“Dia itu om-nya salah satu anak didikku.” tanggap Rexa menyuap makan malam. “Ketemu tidak sengaja pas di pesawat.”

Single?”

“Yap!”

“Ada secercah harapan?” Dania ikutan menginvestigasi.

“Entah.” balas Rexa singkat.

“Kejar Rex!” provokasi Sin Chan.

Royan tiba-tiba tertawa.

“Kenapa?” lontar ketiga cewek berbarengan.

“Ehem, nasib jones. Cari target terus!” lontar Royan mirip kenek angkutan umum setelah mendapat penumpang.

“Kamu sendiri jones juga.” cetus Rexa. 

“Tapi tidak mengenaskan seperti kalian. Haha....” Royan sudah kena timpuk tulang ikan. “Yah, kok cuma tulangnya. Sama dagingnya dong!” 

“Habis.” sahut Rexa. “Kamu mancing lagi gih, nanti baru kami lempari pakai ikan. Tapi harus tangkap pakai mulut, ya.”

“Beruang kali!” tanggap Royan. “Melanjutkan yang tadi, lagi pula laki-laki tidak ada batas umur untuk menikah. Perempuan masa suburnya terbatas lho.” ceramah Royan yang seorang sarjana biologi membuat tiga wanita di sekelilingnya terdiam.

Mereka memang dari berbagai jurusan yang berbeda. Sin Chan dari pertanian, Rexa mengambil ekonomi dan Dania lulusan fakultas MIPA spesialis matematika. 

“Tenang kawan, umur kita masih jauh dari angka tiga puluh. Tetap berjuang Genk.” optimis Rexa. 

“Nah itu!” Sin Chan menunjuk-nunjuk Rexa tanda setuju. “Siapa tahu, jodoh kita ada di sini. Rexa dengan si om. Dania dengan si kacamata yang motret kita di puncak, dan aku sama....”

“Kak Royan!” cetus Dania cepat.

Royan dan Sin Chan berpandangan. Detik berikut keduanya sudah tertawa saling mengejek.

“Seleraku tinggi, Dan. Kamu tahu cowok yang aku tunjuk tadi, kan. Mana mungkin sama si Bos.” lirik Sin Chan dengan mata berkilat.

“Seleraku juga tinggi. Jangan salah.” Royan tidak mau kalah.

“Apa ada yang terlewat olehku?” Rexa meminta penjelasan.

“Nggak ada Rex!” sambar Sin Chan. “Lanjutkan aja makanmu. Setelah ini kita salat Isa berjamaah.”

Tak ada lagi yang bersuara. Dania hanya tersenyum mencoba memaklumi sesuatu yang ingin Sin Chan simpan sendiri. Dia yakin jika tiba waktunya pasti Sin Chan akan cerita. 

“Besok pagi sebelum pulang kita tengok air terjun, mandi air panas dan lihat goa.” kata Royan membuat para gadis berbinar. “Tapi gantian ya, salah dua harus jaga tenda. Aku pergi dulu bareng Sin Chan. Dania sama Rexa.”

“Apah? No!” tolak Sin Chan keras.

“Kenapa?” Royan mengernyitkan keningnya.

“Cewek sama cewek dong, masa cowok-cewek.” protes Sin Chan kali ini cemberut.

“Lah, kamu itu cewek toh?” tuding Royan tanpa rasa bersalah. 

Alhasil sebuah sendok telah melayang ke arah Royan. Seakan lupa yang dilempari sendok itu bos sekaligus cowok kesayangan. Dania dan Rexa tertawa terpingkal. 

Masa sudah pakai jilbab masih dianggap laki-laki, yang benar saja! Wajah Sin Chan langsung berkerut-kerut. Parah! Berarti selama ini Royan tidak menganggapnya perempuan.

Malam ini langit bertebaran bintang. Mereka pun kemudian beramah-tamah dengan tetangga tenda bertukar aneka cerita.