Contents
Love in The Thin Air
4: Summit Attack!
(Juli)
Pil Joo
Yoon Pil Joo mengambil napas pada sebuah kelokan yang curam. Menyisihkan tubuh pada gundukan sisi jalur pelawangan menuju puncak. Pendaki berikutnya masih tampak beberapa langkah di bawah, terlihat dari kerlip cahaya senter yang menari-nari dalam gelap.
Tak lama lagi pendaki itu akan melewatinya. Namun sesuatu yang tak terduga terjadi di depan mata. Pendaki tersebut tergelincir, jika Pil Joo tidak segera mencengkeram tasnya sudah pasti orang itu akan meluncur ke bawah menimpa pendaki lain.
Ucapan terima kasih teralun dari pendaki yang ternyata wanita. Sekilas Pil Joo melihat wajahnya, saat dia mengecek baterai genggam menggantikan headlamp yang mati.
Oh, gadis ramah yang menawari untuk mampir sewaktu di Pos II. Pikir Pil Joo.
***
(Juli)
Sehari sebelum kecelakaan…
Alarm menjerit dalam tenda. Sin Chan menggeliat mencari asal suara. Sebuah gawai teraih oleh tangannya dan segera dia matikan. Demi teringat puncak Rinjani menanti, Sin Chan menggerakkan tubuh duduk dengan mata masih setengah terpejam.
“Dan, Rex, bangun!” erang Sin Chan menepuk tubuh Dania dan Rexa yang masih mendekap mimpi di samping kanan-kirinya.
Terdengar lenguhan Rexa mengganti posisi tubuh. Dania mulai duduk sambil mengucek mata.
“Jam berapa?” tanya Dania.
“Jam dua belas.”
“Ayo, Dan. Kita siapkan bekal makan.” Sin Chan melakukan peregangan lalu mulai membereskan kantung tidur.
Sebelum keluar tenda, Sin Chan kembali menggoyang kaki Rexa.
Udara sungguh seperti dalam kulkas. Dalam dapur tenda yang ditambahi flysheet tampak Royan terbujur dalam kantung tidur bergelung dengan matras.
Sebagai bahan bakar summit attack mereka memasak mie instan yang praktis dan sekaligus menghangatkan. Minuman kopi pekat, mereka siapkan pula dalam termos kecil sebagai bekal ke atas.
Mereka saling mengingatkan kelengkapan serangan ke puncak seperti jaket tebal, masker, sarung tangan, tutup kepala_balaclava, headlamp serta senter sebagai cadangan. Perbekalan instan untuk pengganjal perut berada dipunggung Royan. Perlengkapan P3K juga telah siap siaga di tas rangsel Sin Chan. Pukul satu dinihari setelah berdoa, tak lupa menitip pada salah satu porter tetangga tenda yang berhasil Royan lobi, mereka mulai melangkah menuju puncak.
Cahaya kecil tampak meliuk-liuk di depan, menandakan beberapa pendaki telah mendahului merayapi Sang Dewi Anjani nan angkuh. Bismilah, semoga pagi ini cerah dan perjalanan berjalan lancar.
Suasana masih gelap, dengan bantuan cahaya headlamp para pendaki menapaki medan pasir berbaur batuan kerikil. Kadang satu pijakan kaki bisa melorot beberapa senti jika tidak mantap saat menancapkan ujung sepatu. Sebenarnya ini tidak beda jauh dari medan puncak Semeru dan Slamet. Bedanya trek menuju puncak Rinjani berkelok-kelok tidak membentuk deretan titik cahaya lurus sebagaimana Semeru.
Sin Chan yang menjadi leader operasional hari ini mendahului pendaki yang tengah beristirahat pada tikungan curam yang menyisakan tempat agak lebar sebelah kanan, tepat saat menapak medan yang minim material pasir menyisakan alas batuan mirip tebing sepatu Chantigi merosot ke bawah. Untungnya sebelum sempat muka Sin Chan bersentuhan dengan batuan sebuah tangan mencengkeram tas rangselnya, menahan laju tubuh mendekap tanah atau meluncur ke bawah menjadi efek domino bagi yang lain.
“Makasih.” ucap Sin Chan pada orang yang telah menolongnya, setelah berhasil berdiri tegak. Napasnya memburu. Headlamp-nya mendadak mati.
“Sama-sama,” Sebuah suara dengan logat setengah asing menyahuti Sin Chan. Wajah orang itu tak terlihat karena memang keadaan masih gelap.
Sin Chan mengeluarkan senter tangan dari tas rangsel yang memang untuk cadangan. Meski penasaran dengan si penolong dia tak menyorotkan lampu ke orang tanpa cahaya itu. Selain tidak sopan, bisa jadi orang itu bakal marah jika tiba-tiba di sorot senter sedemikian rupa.
Tanpa basa-basi orang itu melanjutkan menapaki tebing berpasir mengikuti rangkaian mengular di atasnya. Sin Chan segera mengulurkan tangan pada Dania yang mulai merayap naik tanjakan curam. Secara berantai Dania membantu Rexa dan seterusnya.
Tak mau menghambat langkah yang lain leader tim Purwokerto kembali berderap menyusul jeda yang tercipta. Semakin tinggi tanah dipijak, semakin menyenja suasana sekitar. Dan ketika matahari mulai mengintip bumi, danau Segara Anak samar terlihat menghiasi ranah sebelah kanan, sementara sebelah kiri terdampar punggungan-punggungan yang kemarin mereka lalui beserta latar desa Sembalun.
Sin Chan memandang ke atas selepas mengabadikan keindahan lukisan Sang Maha Kaya. Masih belum kelihatan mana titik puncaknya. Napas dia hirup dalam sebelum mengiramakan kembali dengan langkah kaki yang semakin terseok.
Pukul enam rombongan dari Purwokerto berhasil memijak puncak Rinjani yang punya ketinggian 3.726 mdpl. Di atas telah ada beberapa pendaki yang ber-swafoto. Tim Sin Chan, menyempatkan melaksanakan salat Subuh terlebih dahulu.
Sementara itu beberapa pendaki yang mungkin telah lama mencicip dingin Rinjani mulai merayap turun. Gantian dengan pendaki lain yang baru tiba. Mengingat puncak Rinjani tidak seperti puncak Semeru yang memiliki ruang datar luas dan bisa buat upacara pengibaran bendera. Jadi harus toleransi bergantian menikmati atap pulau Lombok.
Dari puncak tertinggi ketiga di Indonesia itu, tiga Gili _Trawangan, Meno dan Air berjejer mengambang di atas latar putih kebiruan. Gunung Agung pun turut mewarnai wawasan pandangan jauh mereka. Danau Segara Anak dengan Gunung Baru Jari di tengahnya menambah beribu-ribu pujian untuk-Nya. Bagi Sin Chan pemandangan puncak Rinjani tiada duanya. Ada keharuan menyeruak. Gambaran agung Sang Pencipta menumbuhkan berjuta rasa syukur diberi kesempatan menikmati aroma pesona yang tidak akan terlupa.
“Kaldera Rinjani sisa dari letusan Gunung Samalas, kan?” ucap Sin Chan menyerupai gumaman pada Royan yang kebetulan berjongkok di sampingnya.
“Yang kudengar demikian.” balas Royan lalu mengambil posisi duduk setengah memeluk lutut.
“Cantik sekali, tak ada yang menyangka kecantikan itu hasil dari ledakan maha dahsyat.”
“Yah, katanya skala indeks ledakannya delapan kali lebih dahsyat dari letusan Krakatau dan Tambora yang terkenal.” timpal Royan. “Bahkan jejak abu, beberapa serpihan kimia ditemukan oleh arkeolog pada lapisan es di kutub utara dan kutub selatan. Kandungannya sama dengan unsur sulfur, tipe batuan dan abu dari wilayah Lombok.”
“Kak Roy, tahu juga?” Mata Sin Chan berbinar saat melihat ke arah Royan. Dia tidak menyangka Royan tahu tentang sejarah tetangga Gunung Rinjani. Apalagi orang yang diajak bicara merupakan orang yang sangat dia kagumi.
“Pernah baca tentang sebuah peradaban dan gunung yang hilang.” tanggap Royan memaling pada Sin Chan.
“Oh,” Sin Chan tersenyum lalu mengalihkan pandangan ke depan. Rasanya sangat senang ketika ada teman yang bisa diajak bicara tentang masa lalu Sang Dewi Anjani ini. Mengenai ledakan misterius yang terjadi pada abad ke 13. Mengenai praduga runtuhnya Kerajaan Pamatan, yang sekarang Desa Sembalun.
Sin Chan sekonyong-konyong menjadi penasaran dengan cerita Babad Lombok. Konon dalam teks jaman pertengahan itu terdapat tulisan sebuah kejadian luar biasa. Perubahan iklim mendadak dingin di tengah musim panas. Cuaca gelap disertai hujan selama berhari-hari menyebabkan kegagalan panen, bencana banjir dan korban jiwa mencapai puluhan ribuan.
Hingga tahun 2013 lalu tidak ada yang tahu jika rentetan peristiwa tersebut merupakan akibat dari kemurkaan Gunung Samalas. Gunung yang mengamuk pada tahun 1257 dengan menyemburkan material vulkanik hingga lebih dari 40 km3, melampaui keluaran Gunung Krakatau yang mencapai 30 km3 pada tahun 1883.
Tak salah kiranya jika cekungan besar bekas tumbangnya Gunung Samalas kemudian terisi air dan membentuk anak laut di tengah ketinggian 2.008 mdpl. Sebagaimana terbentuknya danau Toba yang masih tereka akibat meletusnya sebuah gunung yang maha dahsyat melebihi Samalas.
Rasa kagum Sin Chan pada Royan semakin menguat menjadi titik merah jambu yang kian membesar. Rexa yang sedang asyik berfoto ria dengan Dania tiba-tiba menyenggol Sin Chan dengan goyangan kaki ala Inul. Akibatnya Sin Chan hampir terjengkang.
“Aduh!” keluh Sin Chan yang tubuhnya langsung tersangga tangan Royan. Sehingga tidak sampai jatuh dengan kaki terangkat ke atas.
“Kalian ini, yang lain sibuk foto-foto malah bengong jorok sendiri. Ayo, turun!”
“Lagi mengagumi ciptaan Tuhan, Rex.” sahut Sin Chan cepat lalu berdiri. “Makasih, Kak.” ucap Sin Chan pada Royan.
“Hayuk ah, turun. Angin sudah tambah kencang.” geliat Royan yang juga berdiri hampir bersamaan dengan Sin Chan. Lagi pula hawa dingin sudah tak dapat lagi ditahan kulit yang rasanya telah membeku.
“Eh, tunggu. Kenapa bisa lupa.” cegah dan keluh Royan.
“Apa Kak Roy?” tanya Sin Chan.
“Video untuk promosi.” jawab Royan lalu mengeluarkan lagi kamera. “Nah, Chan. Tolong berdiri di situ agak ke kanan.” Royan mengarahkan agar posisi Sin Chan tidak menutupi penuh pesona Gunung Baru Jari dan Danau Segera Anak.
“Siap Bos!” balas Sin Chan langsung berdiri dengan pose sok menawan.
Royan yang siap merekam, memandang ke arah Sin Chan dengan senyum geli. “Maaf Chan, yang aku butuhkan gambar punggungmu. Tas daypack-mu.”
“Bilang dari tadi dong, Bos.” tukas Sin Chan dengan wajah merah. Sementara dua sobatnya telah tertawa terpingkal melihat ulah Sin Chan yang sempat kege-eran.
Syuting selesai, keempatnya lalu berduyun-duyun mengantri turun bersama pendaki lain.
Seperti biasa perjalanan turun selalu lebih cepat. Meski demikian siapa sangka medan yang dilalui semalam ternyata cukup curam. Deretan jurang pada sisi kiri menengadah tangan seolah siap menerima tubuh pejalan yang keluar lintasan. Harus ekstra hati-hati tanpa mengurangi kecepatan laju turun. Untung pas mendaki tidak kelihatan, jadi tidak menyurutkan niat atau nyali saat harus merangkak naik.
Jika dibanding Semeru, puncak Rinjani lebih landai. Tapi saat naik rasanya sih sama saja. Sama ngos-ngosan.
Lima jam perjalanan naik terbayar tunai dan lunas dengan tiga jam langkah-langkah turun. Pukul sebelas mereka sampai Pelawangan Sembalun. Beres-beres perlengkapan kemah, makan roti dan menikmati kopi.
Sin Chan, Rexa dan Dania yang belum pernah naik Rinjani, sempat terpana melihat jajaran awan menjadi daratan lain di samping kanan-kiri bak rumput kapas nan lembut. Kala sebagian awan tersibak, Gunung Tambora menjulang berhias hamparan pulau lombok dan bentang laut yang kebiruan.
Acara pengisian bensin perut usai. Rombongan Sin Chan menyempatkan menyisir sampah yang terserak sembarangan. Geram juga pada perilaku pendaki yang suka nyampah. Sempat merasa kasihan pada sekumpulan monyet yang tampak mengorek sisa pembuangan manusia itu.
Dania sesekali menjerit ketakutan jika ada monyet yang malu-malu takut mendekat. Bagi ketiga rekannya tampang ngeri Dania sangat lucu. Mengaku petualang kok takut sama monyet. Tapi dia berhasil menjawab celaan itu dengan mengungkit phobia Sin Chan pada ayam. Gelak ejekan berbalik mengarah pada Sin Chan.
Rombongan Purwokerto segera meluncur ke Segara Anak dengan melipir sebelah kanan punggungan. Medan batuan menurun super terjal sangat bisa membuat lutut linu ngilu. Jurang menganga di pinggir kanan lagi-lagi mengiringi tapak demi tapak yang tertatih. Namun, masih ada untungnya mendapat hiburan berupa pemandangan danau yang melambai menawan.
Sesekali mereka berpapasan dengan pendaki yang naik melalui Senaru. Jadi terbayang saat mendaki lewat jalur itu, trek naiknya aduhai. Buat turun saja susah terbayang betapa napas akan tersengal-sengal kala menitinya.
Mendekati danau impian jalan berubah menjadi susur punggung perbukitan. Lumayan landai, rumput sabana setinggi lutut menemani kesunyian sekitar. Cemara gunung, cantigi dan pinus sesekali memberi rona lain dari mayoritas rerumputan. Terik nian, namun terhapus oleh kesegaran yang telah terdampar di depan.
Entah dapat kekuatan dari mana keempatnya langsung berlarian menghambur ke hamparan kaca bening raksasa yang memantulkan bayang Gunung Baru Jari. Luruh semua beban. Senyum lepas tersambut rentangan mempesona danau membiru. Sin Chan menjatuhkan diri pada tanah berumput. Memandang tanpa jenuh danau yang menegakkan bukit tebing menjulang.