Try new experience
with our app

INSTALL

TEMAN SEHARI 

4. SIAPA SIH?

“Damar, gue masuk ya?”

Kinan berdiri di depan pintu kamar mandi yang berada di depan kamar Damar, menempelkan telinganya ke daun pintu. Sejak kuliah umum tadi pagi selesai–atau lebih tepatnya setelah perdebatan mereka seusai kelas–Damar tidak mau berbicara pada Kinan. Kinan merutuki mulutnya yang kadang terlalu lancing dalam berbicara.

“Damar...” panggil Kinan sekali lagi. Tubuhnya bersandar di daun pintu tanpa takut Damar membuka pintu tiba-tiba dan membuatnya jatuh.

“Apaan, sih, Nan? Gue lagi boker, ganggu aja lo!” Ketika Damar membuka pintu, Kinan reflex bergerak mundur ke belakang. Dengan wajah penuh tanda tanya, Kinan menatap Damar lekat-lekat.

“Jorok lo!” komentar Kinan. Permintaan maaf urung dia sampaikan mendengar ucapan Damar. Pasalnya, setelah itu, Damar malah mengusapkan tangannya ke lengan baju Kinan. Yang paling menyebalkan, Damar tergelak puas tepat setelah Kinan memarahinya.

“Lo nggak marah, Dam?”

“Apa sih, Nan? Lo kira gue kayak lo? Dikit-dikit ngambek, dikit-dikit nangis. Lagian lo, tuh, mulut lo nggak punya filter sama sekali. Untung ini gue, Nan. Gimana kalau lo di luar sana kayak gini, bisa rebut terus lo sama orang.” Damar bergeser masuk ke dalam kamarnya dengan Kinan yang mengikuti dengan langkah kecilnya dari belakang. Kinan merebahkan diri di atas tempat tidur Damar sementara Damar duduk di kursi belajarnya, sibuk mengutak-atik laman Temansehari yang baru saja dibuka.

Kamar Damar tidak besar, tapi cukup rapi untuk ukuran kamar anak laki-laki. Tidak ada baju berserakan, tidak ada buku-buku yang berantakan, dengan campuran aroma pinus dan kopi yang benar-benar membuatnya terasa nyaman. Di sudut ruangan, ada lemari kecil tempat Damar memajang koleksi CD dan DVD-nya.

“Tapi lo nggak pernah berniat ketemu bokap lo lagi?” tanya Kinan. Sebenarnya, ayah Damar bukan benar-benar tiada. Damar hanya tidak lagi tahu di mana keberadaan ayahnya. Lebih tepatnya, menolak tahu.

“Kan, lo mulai lagi, kan! Kalau gue udah maafin itu, seenggaknya jangan dibahas lagi, Kinan. Lagian, ketemu atau nggak gue sama bokap, nggak ngaruh juga buat gue, Nan.”

Kinan terdiam, tahu diri bahwa jawaban Damar adalah isyarat darinya agar Kinan tidak bertanya lagi. Kinan tahu ada luka yang harus digali Damar ketika Kinan membahas keluarganya. Ketika Damar berpura-pura sibuk dengan laptop dan segala macam coding untuk laman Temansehari, Kinan menghampirinya, mengintip kemudian bersandar di meja belajar Damar.

“Masa sekali aja lo nggak pernah berharap ketemu? Gimana kalau sebenarnya bokap lo juga mau ketemu lo, Damar,” ujar Kinan pelan.

“Kalau dia mau ketemu, dia bisa usaha. Sekarang semuanya serba bisa dicari, Nan. Apa, sih, yang nggak bisa kita temui di internet sekarang? Gue punya media sosial lengkap, lo cari nama gue di Google aja rasanya nggak susah buat nemu informasi tentang gue. Tapi bertahun-tahun ini, nggak ada sama sekali yang cari gue, Nan. Udah, deh, capek gue sama lo, Nan. Dari tadi dikasih kode buat berhenti, masih nggak bisa nangkep juga, ya.”

“Oke, oke. Sorry gue jadi bahas masalah ini, Dam. Sekarang mendingan lo brief gue soal Pak Tora aja deh.” Kinan duduk di tepi tempat tidur Damar, merasa bersalah karena melanjutkan rasa penasarannya atas pikiran Damar terhadap ayahnya.

“Gue kan pernah bilang sama lo, nggak usah bahas apa-apa soal bokap gue,” tambah Damar. Damar memang seperti itu. Bicaranya selalu saja terdengar ketus, meskipun dalam hati dia bisa merasa santai, sangat santai, tapi apa yang terlontar dari mulutnya seolah-olah terasa begitu menyebalkan.

“Iya, maaf. Tadi kan gue udah minta maaf,” gumam Kinan.

“Nyesel?” tanya Damar memastikan. Sementara Kinan mengangguk tanpa tenaga.

“Beneran nyesel?" tanya Damar sekali lagi.

"Iya, nyesel, Dam."

"Kalau nyesel, coba ambilin gue air sama keripik pisang dong, jangan diam aja.”

“Lo tuh ya, memanfaatkan penyesalan orang. Rese lo!”

Usai memaki, Kinan tetap berjalan keluar dari kamar Damar menuju dapur. Damar akan selalu menyebalkan dan Kinan akan selalu merasa tidak masalah. Tidak ada yang pernah berubah.

*

“Maaf saya jadi merepotkan kamu ya, Kinan. Wanita itu terlalu keras kepala untuk bisa menerima alasan klise seperti saya tidak tertarik atau saya sudah punya pacar. Saya pikir, ini jalan satu-satunya yang paling masuk akal.”

“Nggak masalah, Pak. Lagipula ini kan memang pekerjaan saya.”

Dalam hati, sebenarnya Kinan masih tidak mengerti mengapa alasan ini yang paling masuk akal bagi Tora. Seberapa keras wanita yang dimaksud Tora sampai-sampai dia harus berpura-pura sejauh ini. Kinan diam-diam berharap segera bertemu wanita itu.

“Tapi, Pak, kenapa Bapak pilih tempat makan siang yang lima langkah dari kampus begini, sih? Banyak mahasiswa Bapak lho di sini.” Kinan menundukkan kepala dalam-dalam sambil berusaha menoleh diam-diam ke kanan dan kiri, takut dirinya tertangkap basah makan bersama dosennya sendiri.

“Nggak ada mahasiswa saya, kok. Lagipula, ini kan wilayah fakultas komunikasi, Kinan,” sahut Tora.

“Ye, Bapak kan terkenal, yang bukan mahasiswa Bapak juga pasti tahu Bapak.” Kinan berusaha menyampaikan fakta bahwa meskipun mereka berada di rumah makan di dekat gedung fakultas komunikasi, wajah Tora tetap terkenal, dan semua mata tetap memandang ke arahnya. Tora pasti pernah setidaknya sekali selama ia mengajar, masuk menjadi konten akun gosip sejenis lambe turah khusus kampus. Kinan berani jamin.

“Bapak pikir, di sini wanita itu nggak bisa macam-macam. Bapak akan bilang kalau kamu juga kuliah di sini. Bapak yakin dia tidak berani mengacau. Dia punya gengsi yang cukup tinggi. Kamu cukup pura-pura bersikap sopan dan akrab saja sama Bapak.” Tora menjelaskan dengan sopan, persis seperti ketika ia menjelaskan materi di kelas. Dalam hati, Kinan berharap ini lekas berakhir. Seberapa besar Kinan mengagumi dosennya itu, berada di situasi seperti itu tetap membuatnya canggung. Biasanya Kinan hanya menatap Tora untuk mengagumi wajahnya, sekarang ia harus menatap Tora seperti ia menatap ayahnya sendiri. Urgh! Membayangkannya saja cukup membuat Kinan bergidik ngeri.

Beberapa pasang mata yang masuk mulai menatap jahil ke arah Kinan dan Tora. Sebagian mahasiswa itu mungkin tidak mengenal Kinan. Kinan tidak termasuk orang-orang yang dikenal seantero kampus. Tetapi sudah Kinan batin tadi, orang-orang itu pasti mengenal Tora.

“Kinan, orang itu datang.” Tora menoleh ketika memberitahukan kedatangan target mereka sekaligus akhirnya mengakhiri lamunan Kinan.

Kinan mengangkat kepalanya. Seorang wanita berusia tiga puluhan berjalan ke arah meja mereka. Dari penampilannya, wanita itu sepertinya memiliki pekerjaan yang bagus. Setelan krem dan sepatu dengan hak lima senti yang dikenakannya terlihat begitu formal. Dia seperti orang tua salah kostum yang datang ke pesta anak muda, pikir Kinan. Maksud Kinan, siapa yang tidak mengalihkan perhatian pada wanita itu, sementara sembilan puluh persen orang yang datang makan di tempat itu adalah mahasiswa dengan penampialan jauh dari kata luar biasa. Kinan melempar senyum setiba wanita itu di meja Kinan dan Tora. Meskipun senyum Kinan hanya dibalas dengan tatapan mata dingin yang membuat Kinan rasanya ingin mencolok mata wanita di depannya itu.

“Siapa dia, Mas?” tanya wanita itu basa-basi.

“Kenalkan, Vin. Ini Kinan. Kinan, ini Tante Vinka.” Tora memperkenalkan Kinan pada Vinka dan sebaliknya. Tak ada jabat tangan. Vinka terlalu dingin untuk sekadar berjabat tangan. Bahkan senyum saja ia rasanya enggan.

“Pacar kamu? Sudah aku bilang, aku nggak percaya kalau kamu punya pacar. Masih muda begini lagi? Tolong, deh. Saya nggak bakal tertipu rencana busuk kamu buat membuat saya menjauh.” Vinka duduk, menyilangkan kakinya dengan gestur tubuh yang amat samat menyebalkan. Sementara itu, Kinan menoleh ke arah lain sebelum memilih untuk menundukkan kepala saja. Rasanya, ia bisa mual jika terus-terusan menatap tingkah Vinka di depannya seperti itu.

“Saya sudah bilang, kamu sebaiknya berhenti cari saya. Saya sudah bilang pada Bapak dan Ibu bahwa saya tidak menerima perjodohan apa pun dengan kamu.” Tora berbicara dengan nada tenang. Hal yang membuat Kinan salut. Meskipun wanita bernama Vinka itu bicara tak henti-hentinya, mencemooh dan juga bersikeras akan hubungannya dengan Tora, Tora kebalikannya. Ia lebih tenang, meskipun juga bersikeras bahwa ia tidak akan menjalin hubungan dengan Vinka.

“Aku pernah bilang sama kamu, aku nggak peduli kamu sudah punya pacar atau belum. Saya akan tunggu kamu putus sama pacarmu, seperti saya menunggu kamu berpisah dengan istrimu,” sahut Vinka.

“Vinka, Kinan anak saya. Saya yakin kamu bisa dengar dengan jelas. Kinan, gadis ini, adalah anak saya. Kamu tahu istri saya meninggal setahun lalu, kan? Kenyataannya, sebelum menikahi saya, ia lebih dulu merawat anak kami di rumahnya sendiri.”

Cerita yang tampak begitu nyata, batin Kinan. Dalam hati, Kinan malah sibuk menghitung berapa umur Tora dan istrinya jika mereka benar-benar memiliki anak seusia Kinan. Pasti itu adalah hasil dari kecelakaan jika Kinan, mahasiswa semester enam, memiliki ayah berusia empat puluhan.

Ponsel Kinan bergetar ketika ia masih sibuk menghitung perbedaan umur mereka. Ada nama Damar di layar ponselnya. Anak itu menunggu Kinan di meja yang ada di sudut rumah makan, sambil tertawa melihat akting Kinan. Tapi Kinan sama sekali belum berakting. Seharusnya, jika dia diminta bekerja hanya untuk duduk diam, Damar tidak perlu repot-repot menyuruh seseorang yang pernah belajar seni peran. Dia bisa melakukannya sendiri atau menyuruh siapa pun.

“Kamu bohong kan, Mas?” Vinka tidak percaya, tetapi terdengar sedikit percaya.

“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Kinan benar-benar anak saya,” jawab Tora, masih berusaha meyakinkan.

“Pa, Tante, Kinan minta tolong jangan di sini. Bagaimana kalau kita selesaikan di tempat lain? Banyak teman-teman Kinan di sini, Pa.” Kinan mendekatkan tubuhnya ke arah Tora sebelum menarik lengan kemeja Tora pelan, menghentikannya dari pertengkaran mulut dengan Vinka. Akhirnya, Kinan pikir itu adalah saatnya ia bekerja dengan baik, apa yang dilakukannya bisa berdampak dua hal, membuat wanita itu pergi secepatnya, atau malah membuatnya memaki-maki Tora lebih parah lagi.

“Tante, Kinan nggak pernah melarang Papa untuk kenal sama perempuan setelah Mama nggak ada. Tapi Kinan nggak suka kalau ada orang yang paksa-paksa Papa. Kinan tahu Papa nggak bahagia dan Kinan nggak mau. Jadi, tolong banget, Tante, jangan ganggu Papa lagi.”

Akting gue bagus banget, batin Kinan dalam hati. Tora menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut sebelum akhirnya tersenyum. Tidak, tidak ada adegan penyiraman air ke wajah Tora atau apa pun. Vinka memilih tidak mengatakan apa-apa dan pergi begitu saja, seolah-olah dia merasa kalah tetapi terlalu malu untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal.

Sambil mengamati punggung Vinka yang menghilang di pintu masuk rumah makan, mata Kinan terpaku pada seseorang yang berdiri di ambang pintu masuk. Laki-laki yang menemuinya di Konstantia kemarin melambaikan tangan ke arahnya. Demi apa, Kinan harus segera memberitahu Damar. Tapi terlalu lama jika dia memberitahu Damar kemudian mengejarnya. Maka Kinan bangkit dari kursinya dan berlari ke luar, dengan harapan dia dapat membawa laki-laki itu bertemu Damar. Ada yang aneh tentang orang itu dan Kinan pikir Damar harus tahu.

Tapi sesampainya Kinan di luar, dia sudah tidak bisa menemukan laki-laki itu.