Try new experience
with our app

INSTALL

TEMAN SEHARI 

3. MANTAN ANAK TEATER

Oktober, 2014

Damar paham betul kalau berteman dengan Kinan berarti dia harus bersedia menjadi tempat sampah terbaik bagi anak perempuan itu. Kalau masalah jadi tempat sampah saja, rasanya Damar tidak keberatan, Damar tipe pendengar yang baik. Waktu setuju berteman dengan Kinan, Damar sama sekali tidak menyangka bahwa Kinan suka sekali menangis. Tiap kali menangis, Kinan melakukannya seperti ada anggota keluarganya yang meninggal. Tangisannya selalu histeris dan membuat semua orang panik melihatnya.

Dan kali ini, Kinan melakukannya di atas bangku panjang di depan kelas Damar. Dari sekian banyak tempat yang ada di sekolah, mengapa Kinan memilih tempat di depan kelas Damar dan bukan kelasnya sendiri? Kinan tidak peduli ketika dirinya diperhatikan oleh siswa-siswa lain yang berlalu-lalang. Mata Kinan sudah membengkak, hidungnya memerah, dan Damar masih berdiri di depannya sambil berusaha menarik pergelangan tangan Kinan.

“Ayo, pulang! Ngapain nangis di depan kelas orang kayak gini? Nanti gue yang dikira ngapa-ngapain lo tahu!” gerutu Damar tanpa membuat Kinan berhenti menangis. Yang ada, suara tangisan Kinan malah tambah kencang.

“Berhenti dulu nangisnya, yuk, kita pulang dulu terus nanti lo lanjut di rumah kalau mau nangis.” Damar berhasil menarik Kinan sampai ke parkiran motor. Sambil melihat hidung Kinan yang semakin memerah dan bahunya yang naik turun karena mengendalikan senggukannya, Damar memasangkan helm di kepala Kinan.

Dari jauh, beberapa teman sekelas Damar sibuk menyerukan ledekan-ledekan untuk Damar dan Kinan. Meskipun sudah lama bersahabat, orang-orang masih saja sibuk menyebut mereka berdua pasangan sejoli, tapi Damar dan Kinan sama-sama tidak pernah menanggapi hal tersebut.

Perjalanan dari sekolah ke rumah Damar memakan waktu hampir lima belas menit. Di sepanjang perjalanan, suara sesenggukan Kinan masih saja terdengar. Damar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya untuk menghentikan tangisan Kinan. Bahkan sampai mereka tiba di rumah, Kinan melepas helm-nya dan masuk ke rumah Damar sambil terisak kecil. Rissa yang masih sibuk mengepak barang-barang pesanan hasil berjualan daring itu langsung berlari menghampiri Kinan sesegera mungkin. Damar menggeleng pelan menyaksikan reaksi ibunya yang agak berlebihan. Kalau sudah menyangkut Kinan, Rissa pasti selalu seperti itu.

“Neng, kenapa? Diapain sama Damar? Dia bandel ya? Damar!” Damar melepas satu per satu kancing kemejanya, menyisakan kaos putih bergambar tokoh kartun Totoro. Bandung akhir-akhir ini panas. Berkemeja di dalam rumah tentu saja bukan kostum yang disukai Damar. Kipas angin juga kadang tak membantu sama sekali. Maka Damar cepat-cepat melepas baju seragamnya.

“Aa, kasep-nya Mama, coba jelasin itu Kinan diapain sama kamu?” tanya Rissa sambil membuka pintu kamar Damar lebar-lebar, berkacak pinggang di ambang pintu dengan dahi berkerut.

“Bukan gara-gara Aa,” sahut Damar.

“Ya kalau bukan gara-gara kamu, gara-gara siapa? Masa nangis sampai bengkak matanya begitu, tapi nggak ada sebabnya? Kasian Kinan jadi jelek.”

“Ta-tante, bukan gara-gara Damar kok. Ini gara-gara ekskul teater.” Melihat Rissa menegur Damar, Kinan cepat-cepat menjelaskan sambil menarik-narik lengan baju Rissa. Sambil tertawa kecil, Damar berjalan mendekat ke arah Kinan dan ibunya. Memang dasarnya Kinan saja yang cengeng, pikir Damar. Dia yakin sekali masalahnya tidak sebesar itu sampai membuat anak itu menangis selama itu.

“Makanya, lain kali jangan banyak berharap dulu, Kinan. Semakin tinggi harapan, kalau jatuh nanti semakin sakit,” komentar Damar. Damar mengacak rambut Kinan pelan ketika melewati Kinan dan ibunya di depan pintu kamar.

Sebenarnya, Damar sudah mendengar ceritanya ketika istirahat siang tadi. Setelah dua bulan resmi bergabung dengan ekstrakurikuler teater, Kinan yakin sekali Pak Heri–guru teater sekolah mereka–akan memberikan peran Nawangwulan padanya. Damar ingat seminggu ini Kinan membahasnya setiap hari ketika mereka bertemu. Kinan menaruh harapan besar pada Pak Heri, juga pada dirinya sendiri yang menurutnya sudah berlatih sekeras mungkin untuk mendapatkan peran tersebut.

“Jadi, siapa yang jadi Nawangwulan?” tanya Damar.

Kinan dan Rissa menyusul Damar untuk duduk di ruang keluarga. Sisa-sisa tangis Kinan bercampur dengan suara Rissa yang kini kembali disibukkan dengan bungkusan pesanan-pesanannya bercampur dengan suara televisi yang baru dinyalakan Damar. Rissa memang sibuk, tapi diam-diam dia mendengarkan percakapan anaknya. Pun Damar, meskipun matanya terpaku ke televisi, dia tetap menunggu Kinan membuka suara.

“Ayu. Ka-katanya karena Ayu lebih tinggi, lebih cocok jadi bidadari. Padahal gue yang dipuji-puji kalau latihan, Dam. Gue yang disuruh kasih contoh ini itu waktu lagi latihan vokal. Apa-apa gue, apa-apa gue, tapi yang dipilih malah dia!” Damar merebut remot di sampingnya sebelum Kinan meraihnya. Kalau dibiarkan, Kinan bisa saja membanting remot itu sembarangan. Kekesalan Kinan kadang destruktif dan tugas Damar adalah mencegah itu terjadi.

“Sama kayak orang yang kalau jalan sama gue, tapi jadiannya sama yang lain ya, Nan,” goda Damar.

“Sial lo!”

“Udah dong ngambeknya. Kita lihat aja, nanti itu cerita Jaka Tarub jadi bagus nggak kalau si Ayu yang jadi Nawangwulan. Nggak usah dipikirin gitu. Eh, tapi dia aktingnya bagus nggak, sih?”

“Boro-boro! Kaku, aneh, nggak bisa hapal naskah.”

“Terus kok bisa dipilih?”

“Bokapnya teman Pak Heri.” Kinan menghela napas. Fakta yang  terakhir dia informasikan pada Damar menjadi alasan terkuat Ayu dipilih, sekaligus alasan yang paling tidak Kinan suka.

“Wah, Nan. Pak Heri juga parah kalau gitu. Gue saranin lo nggak usah gabung sama klub teater lagi, deh. Pindah aja, pindah. Ke paduan suara?” saran Damar.

“Gue buta nada.”

“Basket?”

“Bola baru dilempar ke gue aja udah kabur.”

“KIR?”

“Gue kan anak sosial! Damar, udah deh nggak usah bikin tambah ruwet kepala gue!”

Damar menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Kalau sudah begitu keadaannya, Damar harus siap jadi sasaran empuk kekesalan Kinan minimal seminggu ini, dimulai dari sekarang, dimulai dari saat Kinan merebut paksa remot televise dari tangan Damar.

*

“Dam, Damar. Geser dong, gue telat.”

“Lo ngapain?” Damar berbisik ketika Kinan berjalan jongkok dari pintu belakang ke aula tempat kuliah umum hari itu.

“Geser dong, Dam. Gue mau duduk. Kalau lo nggak mau geser, biar gue deh yang masuk ke situ.” Kinan menepuk-nepuk kaki Damar pelan, menyuruhnya bergeser atau memberi jalan. Sebelum memberikan jalan, Damar menggeleng pelan setelah Kinan berusaha merepotkannya.

“Kok telat?” tanya Damar.

“Jadi ceritanya, gue semalam maraton nonton film seri, terus gue bangun kesiangan. Gue santai-santai dulu kan tadi pagi, eh, lupa kalau ada kuliah umum. Gue kira cuma ada kelas siang.” Kinan menjelaskan dengan volume lebih kecil dari suara normalnya.

“Di grup kan udah dikasih tahu ulang sama si Zaki, Nan.”

Mana Kinan tahu ada pengingat di grup. Seingat Kinan, dari jam delapan malam hari sebelumnya, Kinan sudah mematikan ponselnya dan memilih maraton seri 13 Reasons Why. Aula penuh, dosen tamu yang memberikan kuliah umum tentang Trend Forecasting itu terlihat begitu bersemangat. Saking bersemangatnya, Kinan menguap beberapa kali.

“Itu dosen semangat banget ngomong sama dirinya sendiri. Nggak lihat apa ini isi ruangan ini hampir pada mimpi semua.” Kinan mencondongkan tubuhnya ke arah Damar, berbisik pelan sebelum Damar tertawa kecil mendengar kalimat Kinan.

“Fokus, Kinan.”

Kinan mencibir. Damar memang selalu sok rajin seperti itu. Tapi Kinan harus mengakui kalau Damar termasuk salah satu dari beberapa orang yang duduk di bangku kuliah untuk benar-benar menyimak dosen. Damar selalu jadi bintang, di sekolah, maupun ketika mereka sudah duduk di bangku kuliah. Jika dibandingkan dengan Kinan, tentu saja tidak bisa dibandingkan. Mencobanya malah jadi seperti membandingkan apel dengan pisang.

Kinan berusaha sekuat tenaga menjaga matanya tetap terbuka di sepanjang perkuliahan. Sampai akhirnya waktu nyaris dua jam selesai. Sambil meregangkan tangannya, Kinan mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang, meletakkan tasnya di meja dan memutar badannya menghadap ke arah Damar. Anak-anak lainnya keluar satu per satu dari aula, menyisakan Damar dan Kinan.

“Gue hampir lupa. Gue belum cerita sama lo. Beberapa hari lalu, waktu gue lagi ambil job di Konstantia pagi-pagi, ada orang aneh yang tiba-tiba minta tolong sama gue. Kayaknya dia tahu tentang Temansehari.”

“Ya kan kita udah setahun, wajar dong kalau dikenal, Nan,” sahut Damar santai ketika Kinan menyelesaikan kalimatnya.

Damar bisa lebih cuek dan santai dari itu, tapi Kinan tidak ingin merasa kesal padanya sekarang. Kinan sedang ingin Damar mendengarkannya. Karena baginya ini agak aneh. Kedatangan laki-laki itu yang menyelamatkannya dari rayuan kliennya yang tidak jelas itu malah semakin aneh.

“Dia pura-pura jadi tunangan gue gitu. Soalnya waktu itu si klien, siapa sih namanya gue lupa, si klien itu mau ngajakin gue jalan. Setengah maksa,” jelas Kinan.

“Terus?”

“Terus dia bilang ‘mama udah nunggu kita buat fitting baju’. Hah? Gue bingung. Terus dia tahu nama gue dan dia bilang butuh bantuan. Dia bakal hubungi ketika waktunya sudah pas, for your information.”

“Dia tahu nama lo? Anak kampus, bukan?” Damar penasaran. Orang-orang yang terhubung dengan Temansehari lewat website tidak akan tahu nama mereka sebelum Damar atau Kinan menerima order dan menetapkan siapa yang akan menyelesaikan order itu. Ada beberapa agen paruh waktu Temansehari. Orang-orang yang dikenal Damar dan Kinan dari berbagai situasi.

“Dia pakai setelan jas lengkap gitu. Mobilnya Pajero. Dari gayanya sih jelas bukan anak kampus nggak sih? Lebih kayak konglomerat,” sahut Kinan.

Damar menggeleng pelan, merogoh tasnya untuk mengambil selembar kertas berisi instruksi kerja. “Aneh sih memang. Tapi karena dia belum menghubungi kita, biar aja. Nggak perlu dipusingin dulu, Nan.”

“Ya, gue sih santai aja, tapi aneh banget, Dam. Dia tiba-tiba tahu nama gue gitu aja lho, Dam. Gue mikir, apa gue seterkenal itu ya?”

Damar mendekatkan telapak tangannya dan mengusapkannya jahil ke wajah Kinan, membuat gadis itu protes habis-habisan. “Jangan mimpi! Lo kayaknya kebanyakan nonton film sama baca novel deh, Nan.”

“Hiburan gue itu, biar aja kenapa sih! Sirik!”

By the way, ini klien baru. Gue cuma bisa kasih ke lo, sih. Lo kan mantan anak teater…“

“Yang keluar sebelum tiga bulan. Catat!” potong Kinan.

“Iya, tapi kan cuma lo yang pernah belajar akting. Meskipun jangka waktu segitu paling lo udah mahir akting jadi pohon doang kali ya.”

“Cari gara-gara terus lo ya, Dam!” Kinan bangkit dari tempat duduknya sebelum Damar mencegahnya pergi dengan menggenggam pergelangan tangan Kinan.

“Kliennya dosen kita, dosen kesukaan lo, Nan.”

“Pak Tora?” tanya Kinan, diikuti anggukan Damar.

“Sudah lama ada perempuan yang terobsesi sama dia. Hasil kencan buta dari orang tuanya, sih, tapi beliau nggak suka. Beliau nggak pernah terobsesi sama yang namanya hubungan pernikahan.” Damar membaca kertas di tangannya sambil menjelaskan pada Kinan. Sementara setelah mendengar nama Pak Tora, Kinan bergeming mendengarkan penjelasan Damar dengan teliti.

Pak Tora, dosen Sistem Furnitur yang pernah mengajar mereka di semester 4 lalu, adalah seorang laki-laki di awal empat puluh tahun yang sangat berwibawa. Pembawaannya tenang, cara mengajarnya yang interaktif adalah bagian kesukaan Kinan. Selain itu, wajah Pak Tora dikategorikan sebagai wajah paling tampan di jurusan Desain Produk Industri. Yang membuat kategori itu tentu saja mahasiswi jurusan.

“Terus? Gue disuruh ngapain? Jadi pacar bohongannya? Istri bohongan?” tanya Kania.

“Itu mah harapan lo,” sahut Damar santai. Kertas di tangannya kini berpindah tangan ke hadapan Kania yang dari tadi mengurungkan diri untuk pergi dan memilih duduk kembali. Sembari membaca instruksi kerja di kertas tersebut sekilas, Kania menoleh ke arah Damar dengan tatapan tidak percaya.

“Nggak ada ide yang lebih bagus apa, Dam?”

“Pak Tora yang mau kayak gitu, gue nggak bisa apa-apa.” Damar tersenyum getir, pertanda Kinan tidak bisa menawar lagi keputusan itu.

“Dia minta ke lo langsung? Bukan lewat website atau apa gitu?”

Damar mengangguk sementara Kinan menghela napas kuat. Kinan tidak pernah merasa keberatan jika mereka semakin terkenal, tetapi jika permintaan pribadi seperti ini sudah dilakukan, Kinan paling kesal setengah mati. Dia tidak bisa merencanakan strategi yang menguntungkan untuknya dan untuk klien sekaligus. Apa boleh buat, Kinan pikir. Maka dia melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.

“Dam, Tante Rissa kan masih muda, berarti bokap lo juga, kan? Gimana sih rasanya punya orang tua masih muda? Lo tahu kan, bokap nyokap gue udah tujuh puluhan semua. Gue nggak tahu rasanya punya orang tua yang masih muda, gue cuma tahu rasanya punya kakak yang udah tua.”

“Lo mantan anak teater, akting gini doang kan gampang, Nan,” komentar Damar.

“Kalau gitu kenapa nggak lo yang kerjain!”

“Kinan, kali aja lo lupa. Bokap gue udah nggak ada sejak gue SMP.”