Contents
PARIS RAPUNZEL (TAMAT)
2. Cello
"Tania, gue pergi dulu ya!" Vania berseru di depan pintu kamar Tania, sambil ketok-ketok pintu. Karena tidak mendapat jawaban, Vania berteriak lebih keras.
"Tania!! GUE PERGI DULUUU!"
"Iyaa!! Hati-hati di jalan!" teriak Tania dari dalam kamar.
"Okee..." Vaniapun bersiap meninggalkan apartemen.
Namun, baru dua langkah, pintu kamar itu terbuka.
"Titip mie instan ya. Rasa apa aja deh. Dua bungkus." kata Tania dengan suara serak habis bangun tidur. Vania mengerut alis. Tania terlalu sering makan mie instan. Ini tidak boleh dibiarkan. Dia sangat sayang pada sepupunya itu dan tidak ingin Tania terlalu banyak menjejali dirinya dengan makanan instan tidak sehat hanya gara-gara malas masak.
"No! Gue akan masak untuk lo sepulang dari kampus nanti" kata Vania.
"Tapi kan, nanti ada Etienne datang ke sini.." kata Tania dengan alis naik keatas. Vania mengerti apa yang dikatakan sepupunya itu. Maksudnya adalah, tidak apa-apa sekalian masak untuk Etienne juga?
"Asal lo mau bagi dua jatah ama dia aja, gue no problem" jawab Vania.
"Up to you, Babe. Take care, Ok!"
Vania menyusuri lorong menuju lift yang akan membawanya turun. Ya, apartemen Vania dan Tania ini berada di ruas jalan Olivier de Serres, dekat dengan persimpangan yang memotong rue de la Convention, di distrik kelimabelas, Barat Daya Paris.
Apartemen ini, terdiri dari lima lantai dan studio mereka terletak di lantai lima, lantai paling atas. Studio atau kamar apartemen mereka termasuk yang paling luas, terdiri dari dua kamar tidur, dapur, ruang tamu dan ruang TV serta satu kamar mandi. Studio itu, mereka sewa patungan dan selalu membagi dua segala pengeluaran mereka sehari-hari.
Sambil menunggu lift, Vania melirik jam tangan. Jarum-jarumnya menunjuk pada pukul delapan pagi, masih ada waktu untuk ke perpustakaan sebelum masuk ke kelas Professor Gilles. Pintu lift terbuka dan buru-buru gadis tinggi semampai itu masuk kedalamnya. Namun, sebelum benar-benar tertutup, pintu benda kotak berjalan itu terbuka lagi. Sesosok laki-laki jangkung muncul dan memasuki lift. Vania menggeser berdirinya, memberi ruang pada pemuda itu.
Menuruni lantai menuju lobi, hanya ada Vania dan laki-laki yang baru masuk tadi. Dia melempar senyum sekilas pada Vania yang tanpa disadari tengah menatap benda yang dipegangnya. Vania menebak, alat musik terbungkus softcase hitam itu adalah gitar.
"Tu l'aimes?" tanya cowok itu tiba-tiba.
"Pardon?" (4)Vania sedikit tergeragap.
"Ini Cello" lanjutnya, tanpa ditanya.
"Oh, aku kira gitar" Vania meringis "Ah, ya aku baru ingat, kalau gitar ukurannya pasti lebih kecil dari itu."
Dia tertawa kecil, memamerkan deretan giginya yang putih bersih.
"Suka Cello?"
"Hm, suka pada bentuknya saja. Selebihnya gak tahu." jawab Vania dan kejujuran itu membuat cowok itu terpesona. Jarang ada perempuan di Prancis ini yang tidak tahu alat musik Cello. Di negeri ini, anak-anak sekolah sudah mengenal beberapa alat musik klasik seperti Cello, Biola, Gitar dan sebagian besar dari mereka ada yang memperdalam di sekolah khusus atau perguruan tinggi.
Tapi, meski tidak tahu, perempuan cantik di depannya ini cukup jujur mengatakannya dan itu bukan masalah buatnya. Terlebih kecantikan itu telah menambatnya. Kecantikan yang tampaknya didapat dari hasil perkawinan darah campuran barat dan timur. Sangat sempurna. Dia ingin mengenalnya lebih jauh.
"Namaku Jacques. Jacques Villeneuf." dia mengulurkan tangan.
"Vania. "
"Nama yang unik dan bagus," komentar Jacques "Sepertinya kita tinggal di lantai yang sama, ya?"
"Iya dan kamu sepertinya orang baru. Soalnya selama tinggal disini, aku tidak pernah lihat kamu." kata Vania.
"Betul. Tadinya aku tinggal di Boulevard Raspail. Hanya saja uang yang aku bayar untuk studioku tidak sepadan dengan fasilitas yang kudapat. Jadi aku pindah kesini."
Jacques, dengan sikap seorang gentleman, mempersilahkan Vania keluar duluan ketika lift menyentuh lobi dan berhenti. Keluar dari gedung, bersama-sama mereka berjalan kaki menuju stasiun metro Convention, yang berada tak jauh dari apartemen mereka.
Di dalam kereta bawah tanah itu, mereka ngobrol dan sesekali Vania tertawa jika Jacques melontarkan candaan lucu. Tidak sangka seorang mahasiswa jurusan seni musik klasik ini pintar juga ngocol. Setahu Vania, mahasiswa seni musik apalagi musik klasik tidak bisa bercanda dan selalu terlihat serius.
"Baru kali ini ada mahasiswa seni musik klasik yang suka bercanda seperti kamu." kata Vania.
"Memang. Banyak teman-teman kuliahku yang terlalu serius. Tapi aku tidak. Hidup terlalu singkat untuk mikirin hal-hal berat." ujar Jacques.
"Good for you." komentar Vania singkat saja.
"Ohya, berarti kamu jago bikin sketsa, dong? Biasanya, anak-anak sekolah fashion jago-jago gambar." katanya.
"Ya, begitu deh..."
"Kalau begitu, aku mau pesan jas untuk malam resital musim dingin mendatang, Mademoiselle. Bisa?" tanya Jacques.
"Boleh, asal harganya cocok."
"Wah, jangan mahal-mahal, ya. Sebab aku tidak dibayar lho untuk pertunjukkan itu. Murni untuk amal ke Afrika."
"C'est ton problème, pas le mien." ujar Vania.
Jacques tersenyum lebar mendengar jawaban Vania yang serba singkat dan datar, lalu sibuk menerka-nerka gadis yang sangat cantik ini. Darimana asalnya? Kenapa wajahnya begitu eksotis?
"Darimana asalmu?"
"Indonesia."
"Aku tidak percaya. Wajahmu tidak seperti orang Indonesia kebanyakan. Pasti ada darah lain bercampur di tubuhmu."
"Ayahku orang Indonesia keturunan Belanda, ibuku asli orang Jawa."
"Tuh, kan. Apa kubilang.."
Obrolan dilanjutkan dan objeknya tentang Indonesia. Jacques masih sangat penasaran dengan Vania dan itu membuatnya tak bisa melepaskan gadis belasteran Belanda-Indonesia ini begitu saja. Metro berhenti di sebuah stasiun dan Jacques berpamitan untuk turun.
"Senang berkenalan denganmu, Mademoiselle..... ?"
"Van Horrsen."
"Mademoiselle Van Horrsen, kita harus ketemu lagi setelah ini, ya?" katanya, sebelum turun.
"D'accord"
"Oh, kurasa kita masih bisa ketemu, sebab aku ada urusan soal jas pesananku itu. Kau belum punya ukuran badanku, kan?"
Vania melambaikan tangannya pada Jacques. Sampai metro jalan kembali, Jacques masih melambaikan tangan dan tak berhenti menatap Vania. Not bad, bisik Vania lirih, tapi tidak ada getaran. Sunyi kembali menyergap sepeninggal Jacques.