Try new experience
with our app

INSTALL

UNLOCK YOU 

Satu Kelompok

Lintang

 

AKU penasaran, kenapa papan mading gedung A ramai oleh maba. Apakah ada undangan dari senior lagi untuk bebas membentak-bentak kami? Menyalah-nyalahkan kami dengan kedok pelatihan mental? Dan ending-nya, mereka akan minta maaf dan mengaku itu hanya akting. Hish! Anak teknik kok kayak pemain sinetron.

Setelah berhasil masuk ke kerumunan, ternyata pengumuman tugas-tugas Pra-Latihan Dasar Organisasi (LDO) sudah dipasang. Senior kurang ajar! Tugas yang harus dibuat selama pra LDO satu semester ini banyak banget. Satu maba belum kelar mencatat, eh... sudah ketumpuk dengan maba lain yang ingin mencatat. Persis dugaanku, depan mading ini akhirnya membludak oleh maba. Dengan pertambahan jumlah para pencatat yang melonjak tiba-tiba, aku nggak mungkin terus berdiri di sini. Bisa-bisa aku mati karena sesak napas.

"Sial! Kaki gue!" teriakku spontan saat ada yang menginjak kakiku.

Kayaknya injakan bar-bar ini sukses bikin kakiku memar. Mau nuduh siapa juga nggak tahu, terlalu banyak tersangka begini. Nggak mungkin kan, aku marahin semuanya? Bisa kena massa. Baiklah, aku harus segera menyingkir dari sini. Sebelum kaki kiriku bernasib sama.

Terbebas dari euforia OSPEK yang bikin heboh semua maba, aku memutuskan mengistirahatkan kakiku di undakan depan gedung A. Rasanya nyeri minta mampus. Bahkan, cara berjalanku pun nggak lagi imbang. Kalau nggak dosa nyumpahin orang, aku sudah sumpahin tuh orang yang nginjek biar kakinya diinjek kerbau. Namun, aku terhibur juga melihat pasukan pengikut senior ini saling tendang.

Memang sih, ada aturan selama satu semester pertama, tugas-tugas yang diberikan senior harus dicatat di buku wajib maba. Buku bersampul biru menjadi bawaan wajib bagi kami; kasta terendah kampus ini. Kenapa warna biru? Kata senior berambut spark yang kukenal bernama Anton, warna biru adalah lambang fakultas teknik. Kalau aku sih ogah repot dan berdesak-desakan kayak begitu. Cukup pinjam catatan anak yang bakal jadi kelompokku. Beres!

"Lo nggak nyatet, Lin? Malah enak-enak duduk situ," tanya Repi, teman satu kos yang juga dari Jakarta. Dia baru saja kelar mencatat tugas-tugas. Matanya yang lincah, bisa berpindah cepat dari mading, ke buku, ke mading, ke buku, ke mading lagi, dan sekarang ke arahku.

"Enak-enakan lo bilang? Nggak lihat apa, gue nahan sakit gini. Kaki gue keinjek raksasa, Rep. Bikin mood buruk gue datang lagi aja."

"Bengkak itu, Lin?"

"Lo kan bisa lihat sendiri," ucapku kesal. Tahu bantet gitu masih nanya.

"Nih, lo bisa salin catatan gue," ucap Repi menyodorkan buku birunya.

"Sogokannya apa nih?"

"Paling kalau gue bilang, lo juga nggak bisa kabulin," jawab Repi dengan wajah arogan.

"Apaaan?!" tanyaku penasaran. "Sebagai teman, apa sih yang enggak buat lo."

"Gue mau pacar lo," ucap Repi sambil tertawa.

"Nyindir?" tanyaku kesal. Tahu aku sudah nggak punya pacar juga.

"Apa kabar gue yang udah desperate, saking lama jomlo sampai minta pacar orang lain."

Sumpah! Jawaban Repi itu bikin tertawa.

"Zodiak lo aries sih, Rep. Susah move on."

"Justru pas gue udah berhasil move on, cowok sini malah nggak ada yang enak."

"Lo pikir cowok itu hidangan makan malam."

Tawa kami pun pecah bersamaan. Namun, mendadak reda karena Senior Anton berjalan melewati kami dengan garang dan poster pengumuman di tangan.

"Gaess! Ada pengumuman kelompok LDO! Mading gedung B!" teriak salah satu laskar pencatat bersamaan dengan derap kaki yang semakin menjauh dari gedung A ke arah gedung B.

"Heh, Lin. Kayaknya itu pengumuman kelompok baru deh."

"Sana intipin ke gedung B, Rep. Kabarin siapa yang jadi kelompok gue," kataku meminta pertolongan. Kakiku bikin mager.

Repi jelas nggak mau kalah. Dia ikut menerjang ke depan mading gedung B.

Di kampus ini memang ada tiga gedung utama; gedung A, B, dan C. Urutan letak sesuai abjad nama gedung-gedung itu. Jarak gedung A ke gedung B lumayan jauh, seperti lorong rumah sakit yang panjang. Dan malasnya lagi, gedung A terletak lebih bawah dari gedung B-karena kontur tanahnya- membuat mahasiswa masih harus menaiki tangga agar bisa sampai ke gedung B lantai dasar. Gampangnya, gedung A seperti berada di bawah tanah.

Aku cuma bisa geleng-geleng, melihat perubahan suasana di gedung A yang terasa begitu cepat. Beberapa detik lalu, depanku tadi dipenuhi dengan sekumpulan para mahkluk pencatat tugas. Eh... sekarang langsung sepi kayak kuburan. Dari beberapa meter, kulihat orang-orang yang berkumpul berdesakan di gedung A, sekarang sudah berjibun pindah di depan mading gedung B. Namun, kali ini mereka nggak mencatat, hanya melihat dua nama yang menjadi kelompok LDO-nya.

Setelah tahu siapa kelompoknya, mereka langsung pasang kuda-kuda untuk mencari dan berkenalan dengan partner mereka. Cukup efektif sebagai ajang PDKT mencari teman baru. Buktinya, sudah ada beberapa yang pelukan terharu karena mereka satu kelompok. Heran aku lihat tingkah mereka kayak sudah jadi pemenang kontes kecantikan saja.

Segitu pentingkah LDO?

"Lin! Lintang! Sini!" teriak Repi dari tangga lorong penghubung antara lantai dasar gedung A dengan gedung B. Tangannya melambai-lambai, membuat gelang yang dia pakai melorot hingga sikunya yang kecil. Dengan balutan skinny jins dan blezer pas badan itu, dia terus memanggil namaku semi berteriak.

Tidak nyaman mendengar suara cempreng Repi, akhirnya aku meninggalkan tempat duduk nyaman ini. Sekalian aku ingin cari info siapa kelompok LDO-ku.

"Cepetan Lin!" teriak Repi seolah nggak lihat jalanku yang somplak. Memang kejam si langsing ini, nggak bisa lihat aku tenang sebentar saja.

"Mau ngasih tahu apa sih, Rep? Kita sekelompok?" tanyaku setelah susah payah sampai di lorong tepat di depan Repi berdiri.

"Nggak," katanya nyantai sambil berjalan ke arah kerumunan para maba yang saling berpelukan satu sama lain.

"Terus, mau beri tahu, siapa kelompok gue?" tanyaku lagi sambil menahan nyeri kaki yang menjadi-jadi, berusaha tetap menguntit Repi yang jalannya sekarang lebih cepat separuhnya. Apa dia benar-benar nggak melihat keadaan kakiku?

"Kelompok lo mana gue tahu?" balas Repi dengan WATADOS-wajah tanpa dosa, sukses bikin emosiku naik satu level.

"Lalu lo teriak-teriak heboh manggil gue tadi buat apa, Paijem?" aku sudah beneran emosi kali ini.

"Tunggu, tunggu, Lin. Lo kok marah-marah gitu sih. Emang salah gue apa?" kata Repi masih saja nyolot sambil menarik lengan gue ke arahnya.

Salah lo, Rep? Oh My God! Bunuh saja gue sekarang.

"Lo nggak salah apa-apa Rep. Tapi, gue cuman mau nanya. Ngapain lo tadi teriak-teriak, sok antusias nggak jelas, manggil nama gue, ha? Dan ternyata, setelah gue susah payah jalan ke gedung B menuhin panggilan lo, berharap lo ngasih info atau seenggaknya ngelihatin nama gue di kelompok berapa? Sama siapa? Eh, lo malah cuekin gue gini! Hello! nggak usah panggil-panggil gue kayak kesurupan gitu deh, kalo nggak ada gunanya!" terocosku sambil merapikan kemeja kotak-kotak yang menutupi tengtop hitamku. Nggak tahu apa, aku sudah terlanjur kesal, capek, nyeri, bercampur jadi satu, eh masih saja dia kerjain.

"Aku yang nyuruh Repi manggil kamu ke sini kok," ujar cowok bertopi adidas putih, bermata hitam, dan berpostur tinggi ini.

"Lo siapanya Repi, emang?"

"Teman," jawabnya santai. "Iya, kan Rep?"

Repi terlihat mengangguk nafsu. Dasar jomlo!

"Lo nggak punya mulut sendiri, sampai minta bantuan orang lain? Cowok kok manja."

Sial, cowok ini malah tertawa.

"Aku nggak yakin, kalau aku yang panggil, kamu bersedia datang. Apalagi dengan kondisi kaki kamu yang bengkak."

Penjelasannya logis, tapi kenapa aku kesal ya?

"Iya, Lin. Tadi dia nanya ke gue, yang namanya Lintang Amaravati tuh yang mana. Nah, gue langsung aja keinget lo di gedung A. Gue teriak kenceng-kenceng aja, biar lo denger. Sori, ya. Lo tahu kan, gimana gue kalau berhadapan sama cowok cakep? Bawaannya selalu gesit." Kalimat terakhir nyaris diucapkan Repi seperti bisikan.

Aku hanya diam saja mencoba mencerna alasan Repi. Dia punya gengsi nggak sih sebenarnya? Jujur banget kalau cowok ini cakep, IQ-kamu kok mengenaskan gitu sih, Rep.

"Kok lo diam Lin?" goda Repi yang kini sudah berani cengar-cengir. Padahal, tadi wajahnya sudah terlihat pucat parah, pas gue maki-maki habis-habisan.

"Nggak. Gue penasaran aja motif cowok ini nyari gue buat apa?"

"Jangan GR. Aku cuma mau minjam catatan tugas LDO."

"PD banget minjem-minjem catatan gue. Lo nggak lihat. Pengorbanan gue nyatat tuh sampai kaki gue cidera kayak gini," dustaku kepada cowok ini. Lagian, aku aja pinjam Repi.

"Tapi, terpaksa aku harus bilang kamu wajib minjemin buku birumu."

Aku tersenyum kecut. "Siapa lo berani maksa-maksa gue?"

"Lin," sela Repi tersenyum janggal. "Dia Bara, sekelompok LDO sama lo."

"Kenalin, aku Bara Satria. Rekan LDO kamu sampai satu semester mendatang. Jadi, bersikap baiklah, kalau kita ingin dilantik."

Aku masih nggak percaya. Jadi cowok bertopi yang sok budek waktu itu, bakal satu kelompok LDO bareng aku.

Ah, perasaanku jadi nggak enak.