Try new experience
with our app

INSTALL

Dear Grey 

The Conversation

Rosaline

 

SELAMA Danni diskors, pemuda itu tetap setia mengantar - jemput Rosaline ke sekolah. Gadis itu iba melihat raut wajah Danni yang sedih saat menurunkannya di depan gerbang sekolah, sementara dia sendiri tidak diizinkan untuk masuk sekolah. Dengan sorot rindu, pandangan iris mata hitam itu menyapu lapangan basket sekolah yang terlihat dari gerbang. Kasihan Danni, dia pasti begitu khawatir dengan kompetisi basket itu, batin Rosaline iba. Basket adalah dunia Danni. Pemuda kekasih Rosaline itu sangat mencintai olahraga Basket lebih dari apapun. 

Rosaline bete mengingat ulah Grey yang menghancurkan impian Danni mengikuti kompetisi Basket antar sekolah. Kayaknya gue harus bicara deh dengan Grey, sapa tau dia bisa meminta Pak Kepsek mencabut hukuman skorsing Danni. 

"Heh, kenapa lo celingak - celinguk kayak gitu, Ros? Nungguin sapa lo? Danni kan lagi diskor," tegur Sheila sahabat Rosaline, saat melihat gadis itu berulang kali melongok keluar kelas seperti sedang menunggu seseorang.

"Gue nungguin si Bayi, eh maksud gue, Grey," Rosaline menepuk mulutnya, kenapa gue jadi ikut - ikutan Danni ya, nyebut Grey si Bayi? 

Tapi Grey emang cocok disebut Bayi sih, Danni gak salah - salah amat menjuluki Grey seperti itu. Selain tampang Grey yang memang mendukung, imut, manis, seperti tanpa dosa, Rosaline tau sahabatnya itu pulang - pergi sekolah selalu diantar Supir. Dan semua mata tak kan salah melihat, sosok Bodyguard - bodyguard tegap berseragam yang selalu menjemput Grey sampai ke dalam area sekolah, membungkuk - bungkuk hormat, membawakan ransel Grey. Bahkan jika tidak ada faktor keberatan dari Kepala Sekolah yang melarang orang luar masuk, mungkin para Bodyguard itu sudah mengawal Grey sampai ke dalam kelas, dan Danni  tak kan sempat memukul Grey kemarin. Oh plis deh, Rosaline memutar bola matanya. Bener - bener bagai seorang bayi manja si Grey, bayi yang kemana - mana harus dimomong.

Ppfh, dulu perasaan gak gitu - gitu amat deh si Grey? Apa karena Papa Grey udah bertambah sukses yak sekarang? 

"Ngapain lo nungguin Grey? Ooh iya, lo udah jadi pacar Grey ya sekarang?" Sheila mendekap mulut, entah menyindir atau sedang menggoda Rosaline.

"Kasihan Danni," Tika ikut menimpali. "Lagian anak konglomerat dilawan...,"

"Ih udah deh!" Gerutu Rosaline bete melihat Sheila dan Tika cekikikan. Tuh kan jadi bahan ledekan deh gue...

Sementara Grey yang ditunggu, ternyata tak pernah muncul. Sepertinya pemuda itu tidak masuk sekolah hari itu. Kemana sih Grey? Masa baru kena pukukan Danni segitu aja, udah gak masuk sekolah sih? Rutuk Rosaline. 

Seminggu Rosaline menunggu kemunculan Grey di sekolah, baru setelah hari kedelapan, saat jam istirahat pertama, Rosaline melihat Grey turun dari Mercedes Benz S - 600 - nya, seperti biasa, dengan seorang Bodyguard yang dengan sigap membukakan pintu mobil, menyodorkan ransel, dan membungkuk hormat pada Grey sebelum pemuda itu melangkah masuk ke bangunan sekolah.

"Grey!" Panggil Rosaline yang langsung disambut tatapan berbinar mata hazel Grey.

"Good morning, my Princess," sapa pemuda itu  ceria dari balik masker hitam yang dikenakannya.

"Ini udah siang kale,"

"Oh iya, udah siang ya?" Grey tertawa.

"Grey, gue mo ngomong ama lo," 

"Ngomong masalah ntar kita maksi di mana atau ngomongin ntar lo pulang bareng gue?" 

"Gue gak lagi becanda, Grey!" Rosaline merengut, membuat Grey mengangkat alis matanya.

"Oh, I see, gak lagi becanda ya?"

"Sini lo," Rosaline menarik tangan Grey dengan tak sabar.

"Aah!" Diluar dugaan Grey justru merintih kesakitan saat tangannya ditarik. Rosaline terkejut dibuatnya.

"Kenapa tangan lo?" Baru terlihat oleh gadis itu, pergelangan tangan Grey yang terbalut perban putih. Dan perban itu sedikit ternoda darah akibat tarikan tangan Rosaline tadi.

"Eh gak kenapa - napa kok, cuma tergores apa gitu, gue lupa," sahut Grey sambil menarik kembali tangannya. 

"Cuma tergores? Kok sampe diperban gitu? Eh itu berdarah lagi..Sakitkah?" Rosaline terperangah, mau tak mau jadi khawatir.

"Udahlah, I am just fine," 

"Fine gimana?" Rosaline terbelalak melihat Grey berkata 'fine' tapi tak bisa menyembunyikan raut wajah kesakitannya sembari memegangi pergelangan tangannya. "Kita ke UKS ya?" 

"Gak usah,"

"Ih, jangan sok kuat deh, ayo ke UKS bareng gue!" 

"Eh tadi lo mo ngomong apaan? Ehm, di kantin mungkin, biar enak?" Grey malah mengalihkan percakapan. 

"Grey, plis?"

 Grey hanya menatap Rosaline dengan mata hazelnya, dengan tatapan memohon, membuat gadis itu menghela napas. Akhirnya mengalah.

"Ya, baiklah, tapi kalo masih berdarah, kita ke UKS, ok?"

Grey dan Rosaline duduk di kantin yang masih terlihat sepi. Dua gelas susu Milo dingin dan dua piring nasi goreng yang dipesan Grey dengan Ibu Kantin, segera menemani mereka.

Rosaline memperhatikan Grey yang sedang membuka masker,  agar bisa meneguk susu Milonya, tapi selama itu pula tangan Grey terus berusaha menghalangi pandangan Rosaline pada wajahnya, seperti orang sedang melindungi wajah dari silau cahaya matahari.

"Kenapa sih lo?" Rosaline risih melihat tingkah Grey, spontan menarik tangan Grey, membuat sahabatnya itu terjengah, buru - buru memalingkan wajah ke arah lain. Tapi Rosaline masih bisa melihat wajah Grey yang ternyata memiliki luka memar pada sudut bibirnya,  seperti habis kena pukul.

"Aduh!" Grey meringis kesakitan karena Rosaline memegangi wajahnya hingga mau tak mau pemuda itu harus menolehkan wajahnya pada Rosaline.

"Kenapa wajah lo, Grey?"

"Gak kenapa - napa, kemaren habis berantem ama tukang ojek," sahut Grey sembarangan..

"Bohong banget deh lo! Gaya lo berantem ama tukang ojek? Plis deh! Ketemu tukang ojek aja lo pasti gak pernah! Iya kan?!" Tukas Rosaline. Grey hanya nyengir salah tingkah.

"Eh, katanya tadi mo ngomong? Apaan sih yang mo diomongin?"

"Iya tapi wajah lo kenapa dulu?"

"Berantem dengan tukang ojek,"

"Ih, gue serius, Grey,"

"Gue juga serius,"

Rosaline menghela napas, menatap Grey. Kenapa sih dia? Dulu Grey gak gini deh, dulu semuanya selalu diomongin, gak ada yang disembunyikan di antara mereka berdua, bahkan masalah sepele seperti kehilangan pena, lupa bikin PR atau ingin makan es krim pun, selalu bisa membuat mereka saling bercerita. Tapi sekarang? Rosaline merasa Grey seperti menyembunyikan sesuatu darinya, sahabatnya itu sudah tidak terbuka lagi padanya.

Gadis itu sebetulnya dari tadi merasa miris melihat Grey, yang saat itu sedang menatapnya dengan cengiran masih terukir dibibir. Rona wajah Grey justru bertolak belakang dengan ekspresi ceria  itu, wajah Grey pucat, dengan bawah mata yang kehitaman seperti orang kelelahan kurang tidur. Sedang sakitkah Grey? Apakah seminggu tidak masuk sekolah berkaitan dengan kondisinya yang seperti ini? Dan luka di wajahnya, luka pergelangan tangannya...

"Lo mo ngomongin apa sih?" Terdengar Grey bertanya, menyentakkan Rosaline.

Duh, sikonnya tepat gak ya gue ngomongin masalah Danni dengan Grey? Batin Rosaline mendadak ragu - ragu. Ta - tapi kalo gak sekarang, nanti Danni gak bisa mengikuti Kompetisi Basket, padahal ini juga udah memasuki Minggu kompetisi...

"Eh iya, Grey, anu...,"  Rosaline memberanikan diri. "Bisa gak lo nolongin gue?"

"Nolongin apa, my Princess?"

"Ehm, bisa gak lo minta Pak Kepsek mencabut hukuman skorsing Danni? Plis?"

"What?" Grey yang tadinya hendak menyuap nasi goreng, kembali menurunkan sendoknya.

"Plis Grey, cuma lo yang bisa," Rosaline menangkupkan kedua tangannya seperti orang memohon.

"Emangnya gue Pengawas Sekolah apa? Sampe bisa ngatur Pak Kepsek?" Grey tertawa.

"Grey, plis?"

Grey mengerutkan keningnya. Sambil mengusap - usap pergelangan tangannya yang diperban, mungkin terasa nyeri, mata hazel Grey memandangi Rosaline. Lama. Hingga Rosaline terpaksa harus berpura - pura menunduk, mengaduk - aduk susu Milo -nya, demi menghindari sorot mata hazel itu.

"Lo masih ingat dengan kata - kata gue waktu di kelasnya Pak Sugandhi kemarin?" Tanya pemuda itu kemudian, membuat Rosaline mengangkat wajah.

"Emang lo serius waktu itu?"

"Sangat serius,"

"Jadi maksud lo?"

"Yeah, lo jadi pacar gue, and gue akan bantuin ngomong ke Pak Kepsek,"

"Hah?" Rosaline hanya bisa terkesiap, tak mengira Grey memberinya pilihan sesulit itu. 

"Gimana?"

"Gue gak mungkin jadi pacar lo, Grey. Kan gue udah punya Danni..,"

"If you want to help Danni, lo harus berani berkorban,"

"Itu namanya lo maksain perasaan!"

"Maksain perasaan? Bukannya kita...,"

"Itu dulu, Grey,"

Raut wajah Grey langsung berubah  mendengar itu.

"Oh gitu ya? Dulu,"

 "Plis ngertiin ya Grey," 

Grey meluruskan posisi duduk yang tadinya sangat santai, dipandanginya Rosaline dengan kening berkerut.

"Plis Grey?" Ulang Rosaline.

"Gue benar - benar gak ngira, semudah itu lo lupain semuanya, Ros. Janji kita, Rosaline - Grey selalu bersama selamanya...,"

"Jangan ngomong gitu, Grey, gue gak ngelupain,  hanya saja gak bisa seperti dulu..,"

"Why, Rosaline?"

"Gue harus gimana, Grey? Empat tahun perpisahan itu, lo kayak menghilang, gak ada kabar sama sekali, gak mungkin kan gue nungguin lo yang gak jelas gitu? Ngertiin posisi gue, Grey,"

"Oh trus posisi gue gimana? Dicuekin aja? Dianggap gak penting? Udah ketemu Danni, lo campakkan gue begitu aja..,"

"Gue gak mencampakkan lo!"

"Apa lagi namanya kalo gak mencampakkan, lo lebih milih bareng Danni ketimbang ama gue, bahkan lo sanggup memohon ke gue demi kepentingan Danni, and gue yang udah jadi sahabat lo dari kecil, yang udah pernah bertahun - tahun bareng lo, dianggap gak penting! Okey, fine, gue cukup ngerti!"

"Grey, plis denger dulu! Bukannya lo gak penting! Walau gue udah punya Danni, tapi kita kan masih bisa tetap sahabatan, Grey...,"

"Ya, ya, I know! Sekarang ada Danni, gue cuma sahabat yang gak boleh ganggu, itu inti sebenarnya!" Potong Grey sambil berdiri, membuat Rosaline terperangah. "Gue bener - bener kecewa ama lo!"

"Grey, plis dong? Gue sama sekali gak nganggap lo gangguin, cuma ya lo jangan nuntut gue 100 % ama lo kayak dulu, ngerti gak sih?"

"Gak, gue gak ngerti!"

"Grey! Jangan bertingkah kayak bayi deh! Egois!"

Sudut bibir Grey tertarik ke bawah, merengut, menatap Rosaline. Sementara Rosaline memutar bola matanya, big baby banget sih Grey, masa sih gak bisa ngertiin posisi sahabat dengan pacar? Emangnya gue harus ama dia terus? Plis deh kita bukan bocil SMP lagi, Grey!

"Asal lo tau, Ros, kata - kata gue waktu di kelas Pak Sugandhi, adalah kata - kata yang ingin gue ucapkan pada lo waktu gue mo pamitan berangkat ke Amerika, empat tahun yang lalu, malam itu, saat lo gak mau nemuin gue...,"

"Apa?" 

Rosaline nyaris terpekik kaget, karena Grey tiba - tiba menariknya agar berdiri, dan mendekat pada pemuda itu. Tangan Grey memegang belakang kepala Rosaline hingga gadis itu terpaksa menentang tatapan mata hazelnya.

"Gue akan ulangi lagi kalo lo belum juga jelas, di depan Ibu Kantin, dan semua yang ada di kantin!" volume suara Grey mulai naik. "Dari perasaan gue yang paling dalam, I do love you, Rosaline! And I want you to be my girlfriend,"

 Rosaline hanya terpana, nyaris tak sempat bernapas, saat Grey tiba - tiba menciumnya tepat di bibir sebelum akhirnya pemuda bermata hazel itu melepaskan Rosaline dan berbalik pergi. Rosaline bagai membeku di tempatnya berdiri, tak sanggup berkata - kata. Ya Tuhan, kok jadi gini sih?