Contents
(TAMAT) A Movie In Our Story
Ersten Monat
Suara riuh menyelimuti Stadion Allianz. Berbagai sorakan dari dua belah pihak pendukung sepak bola ikut meramaikan pertandingan yang sudah berlangsung selama setengah jam ini. Diana Alisya, gadis asal Indonesia itu, ikut menonton pertandingan. Ia sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk bisa menonton pertandingan idola sepak bolanya, Mario Götze. Satu hal yang tak ingin disia-siakannya selama sang idola berada di München, kota tempatnya belajar. Matanya berbinar-binar, menatap jeli setiap detail gerakan pria berambut cokelat yang memiliki senyuman manis itu.
Kedua tangannya memegang bendera klub, sementara bibirnya ikut berteriak menyemangati sang idola seperti yang lain. Ia tak peduli pada terik matahari yang ikut bersemangat menyinarinya siang ini. Ia sudah menyiasati dengan kaus jersey berbahan spandex yang menyerap keringat dan sewarna dengan klub favoritnya.
Getar ponsel menghampiri saku celana jeansnya di tengah-tengah pertandingan. Diana merogoh saku dan matanya membelalak ketika mengetahui siapa yang menelepon siang-siang begini. Ia membungkuk, lalu meletakkan telapak tangannya di dekat ponsel supaya bisa mendengar suara di seberang dengan lebih jelas, demi mengurangi keriuhan suara masuk ke dalam ponselnya. “Guten tag! Halo… Herr[1] Braun?” ucapnya dengan nada yang meninggi, mengingat kondisi di sekitarnya sangat bising.
“Ya, Diana. Kau ada di mana? Bisa kita bertemu sekarang?” sahut seseorang dari seberang sana dengan nada yang tak kalah tinggi. “Ada hal penting yang harus saya bicarakan,” lugasnya yang terdengar kesulitan menangkap suara Diana.
“Saya…. Saya berada di… Olympiastadion. Ya, Olympiastadion untuk bertemu teman yang menjadi panitia konser nanti malam. Maaf kalau suara di sini terdengar berisik… Kita bertemu di mana, Herr Braun?” ucapnya sambil memutar otak untuk berbohong. Ia menggigit bibir, sambil berdoa semoga si penelepon mempercayainya.
Orang itu menyebutkan tempat untuk mereka bertemu. Diana bergumam sejenak, kemudian menyanggupi. Hubungan telepon mereka terputus dan Diana kembali memasukkan ponsel ke dalam kantong sambil mengacak-acak rambut hitam panjangnya yang terurai lurus. Ini benar-benar menyebalkan. Ia harus meninggalkan stadion ini dan menuju kampus untuk bertemu orang yang meneleponnya tadi, Phillip Braun, lelaki separuh baya yang menjadi dosen pembimbingnya. Ia tahu persis sifat dosennya yang tak suka pada siapa pun yang menentang pada perintahnya. Apalagi karena alasan yang menurutnya sangat sepele. Lalu apa yang harus ia lakukan? Pertandingan belum selesai dan ia harus secepat mungkin sampai di kampus.
Tapi, memang itu yang harus ia lakukan. Meninggalkan stadion besar Allianz dan menuju kampus untuk menemui dosennya.
·
Perasaan berdebar yang merayapi hati Aimee Verall tidak mengurangi kecepatan langkahnya, ketika gadis Prancis bermata biru itu membawa map berisi kertas-kertas penting, menuju haus den HFF studios[2]di Hochschulefür Fernsehen und Film, München,untuk menghadiri pertemuan penting di sana. Sesekali ia menghentikan langkah lalu merogoh saku blazer untuk mengambil cermin kecil. Ia harus berpenampilan sebaik mungkin. Ini adalah kesempatan emasnya!
Ia mengatur napas, sambil merapikan rambutnya pirang keritingnya yang terikat di belakang. Lalu mengetuk pintu yang sedikit terbuka dan menyapa orang yang ada di dalamnya, “Entschuldigung[3].”
Pintu itu dibuka lebih lebar dari dalam oleh seorang lelaki bertubuh tegap yang lebih tinggi beberapa senti darinya“Ja?”
“Guten tag,” gumam Aimee gugup, “Aku Aimee Verall, salah seorang mahasiswi yang kemarin diterima untuk menjadi kru proyek film ini.”
Lelaki itu mengerutkan keningnya, “Aimee Verall? Asal Prancis?”
Aimee mengangguk dengan mata yang berkilat senang setelah lelaki itu menyilakannya masuk studio tersebut untuk menyertakan Aimee dalam rapat.
·
“Jadi, film yang akan kita garap ini bergenre drama musikal. Berjudul Melodie der Liebe dan rencananya, peran utama akan dibintangi oleh aktor sekaligus penyanyi papan atas. Karena menurut konsep, aktor tersebut akan mengisi soundtrack utama di film ini.” Tami Hiromasa, seorang gadis asal Jepang yang menyimpulkan hasil rapat pembuatan film. Ia mengetuk pulpen yang dipegangnya ke atas kepala. Lalu menatap sang produser dengan alis yang terangkat. “Begitu, Herr South?”
“Betul!” tukas Nuvelle South, lelaki paruh baya itu sambil mengangguk. “Jadi, ada yang punya usul, siapa artis yang tepat untuk memerankan peran utama laki-laki?”
Seorang gadis berambut kuning keriting mengangkat tangannya. Tami membetulkan letak kacamata dan melihat jeli gadis di depannya sambil berusaha mengingat-ingat nama gadis itu. Ailee? Aibrey? Ah, pokoknya begitu.
“Ya, siapa namamu?” tanya Nuvelle South menunjuk pada gadis itu.
“Aimee. Aimee Verall,” jawabnya.
“Oh ya, Aimee.” Herr South menjentikkan jarinya. “Kau punya usul untuk pemeran utamanya?”
Aimee mengangguk sambil mengeluarkan selembar kertas dari mapnya. “Aku punya teman dekat di Prancis. Dia aktor dan pianis yang hebat. Beberapa kali ia menggelar konser di Jerman, salah satunya di Bayreuth. Jadi, sebagai assistant casting director di sini, aku mengusulkan dia sebagai peran utama. Namanya… Chauncy Geffrey.”
“Wow… Chauncy Geffrey?” Seorang lelaki yang duduk di samping Aimee –yang belum tahu namanya- menyela dengan nada agresif. “Aku pernah datang ke konsernya. Dan ya… memang, sangat bagus! Kau yakin bisa menghubunginya untuk film ini?”
“Akan kuusahakan,” jawab Aimee diplomatis sambil tersenyum. Ia kembali menghadapkan kepalanya pada Nuvelle South untuk meminta persetujuan.
“Ide bagus,” jawab Nuvelle. “Untuk sementara kita mengandalkan Aimee untuk mengatur peran utama. Oh ya, sebelum membahas cast selanjutnya, saya ingin memberi tahu bahwa mahasiswa yang tergabung dalam kru perfilman ini, akan tinggal di satu tempat selama proyek berlangsung.”
Tami dan Aimee saling berpandangan.
“Maksudnya…,” sela Tami. “Kami berdua?” lanjutnya sambil menoleh ke arah Aimee yang duduk di hadapan. Gadis pirang itu juga menatap Tami keheranan.
“Oh, seharusnya kalian bertiga di sini. Ada satu lagi mahasiswi asal Indonesia yang tergabung juga, mahasiswi bimbingan Philip Braun. Entahlah, mungkin dia terlambat,” tutur Nuvelle.
Tepat pada saat itu pintu ruangan diketuk dan dibuka. Seorang lelaki paruh baya yang berbadan besar dan berkacamata tebal masuk menghampiri peserta rapat.
·
Diana menggigit bibir bawahnya sambil menggaruk-garuk kepala. Wajahnya ketakutan ketika mengikuti sang dosen berjalan menuju studio, karena sebelumitu Philip Braun mengatakan, bahwa ia didaftarkan dalam proyek pembuatan film besar. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Ini benar-benar akan menyita banyak waktunya.
Philip Braun mengetuk dan membuka pintu studio. Ruangan itu telah terisi oleh beberapa orang yang kemungkinan besar adalah kru yang akan mengerjakan proyek film ini.
“Maaf atas keterlambatannya. Saya Philip Braun, akan mengenalkan Diana Alisya, mahasiswi asal Indonesia yang akan menjadi bagian dari penulis skenario di film ini,” tutur Philip Braun di hadapan para peserta.
Seorang lelaki tambun yang duduk di meja rapat utama menghampiri Philip Braun dan menjabat tangannya, sebelum menyapa Diana. Diana tersenyum sopan sambil berusaha mencuri-curi pandang pada orang di dalam ruangan. Alisnya menyatu dan bibirnya terbuka lebar ketika menemukan seseorang. Oh, astaga. Orang itu ada di sana!
¸
[1] Sebutan untuk ‘Bapak’ dalam bahasa Jerman. Yang dilanjutkan dengan nama belakang orang tersebut. (Tidak bisa berdiri sendiri tanpa menyebutkan nama belakang orang yang dimaksud).
[2] Rumah studio HFF
[3] Permisi