Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) Printemps a Paris 

3: Fait Acompli

Setahun kemudian..

Pramugari mengumumkan jika sebentar lagi, pesawat akan mendarat. Aku bernapas lega, yeah, setelah melayang-layang selama kurang lebih enambelas jam pada ketinggian tigapuluh ribu kaki di atas permukaan laut tentu saja aku patut lega dengan pengumuman itu. Kuintip keadaan di luar dan terlihat daratan yang kuduga pasti bernama Prancis. 

Astaga, lututku tiba-tiba bergetar-getar. Kau tahu, dulu lututku pernah bergetar-getar hebat begini ketika akan menari di atas panggung untuk yang pertama kali, pada acara perpisahan SD. Kupikir, aku mengidap penyakit yang sering disebut orang dengan istilah demam panggung yaitu kegugupan luar biasa ketika akan memulai sesuatu untuk yang pertama kali. Paris adalah kota di luar negeri yang pertama kali aku kunjungi. Dulu, baik papa maupun aku memang tidak pernah merencanakan pergi main-main ke negeri orang. Kau tahu artinya? Aku terlalu nyaman hidup di Indonesia, hingga tak sempat memikirkan luar negeri.

Pikiranku melayang kembali ke Jakarta. Rasanya baru tadi aku tinggalkan kota itu. Tubuhku serasa tercabut dan  nyawaku terbang lagi ke sana. Kami menyusuri selasar pada jalur keberangkatan luar negeri Bandara Soekarno-Hatta. Kami? Yeah, aku, yang akan berangkat dan kakek yang mengantarku. Sebenarnya aku cukup senang jika hanya kakek yang mengantar kepergianku. Tapi, ya ampun, coba kau lihat, ada satu orang lagi yang membuntuti langkah kakek di belakang itu, yang sedang kerepotan menyeret-nyeret koperku itu. Narotama! Aku pernah cerita, kan? Iya, dia teman masa kecilku, tetanggaku selama bertahun-tahun. Usia kami hanya terpaut dua bulan. Meskipun sudah berulang kali kukatakan padanya agar tidak usah mengantarku, namun Narotama tetap ngotot. 

Kau tahu? Dia memang laki-laki yang keras kepala. Pagi sekali, dia sudah sangat sibuk, menyiapkan mobil, menghitung jumlah bawaanku dan mengangkutnya ke dalam mobil. Ketika berangkat tadi, dia yang paling sibuk menyuruhku cepat berangkat padahal aku masih ingin berlama-lama menatap halaman depan rumahku.

“Cepat, Jul” katanya. Ijul, adalah panggilan ‘sayang’ Narotama untukku.

Aku hampir tak kuasa menahan diri. Airmataku tumpah di halaman rumah. Kakiku seperti pasak tenda yang menghujam ke tanah, menancap kuat, tak mampu kugerakkan sedikitpun. Berkali kakek berusaha membujukku untuk berangkat namun aku bergeming. Kau tahu artinya, bukan? Aku sangat berat meninggalkan semuanya. Inilah sebenar-benarnya perpisahan, ketika kau harus pergi dalam keadaan setengah hati, tidak siap dan tidak rela untuk meninggalkan sesuatu yang kau cintai. 

Sampai belokan ujung perumahanku menuju jalan raya, aku masih memandangi jalan masuk kompleks dan kulihat sebuah menara televisi yang menjulang tinggi. Menara RCTI Kebon Jeruk. Menara itu bertahun-tahun berdiri, menyaksikanku bangun pagi setiap hari, tergopoh-gopoh berangkat sekolah, menyiram kebun, bertengkar dengan Naro dan lain-lain. Ketika aku membalikkan badan karena menara itu sudah tidak terlihat lagi, Naro berkata padaku,

   “Sudahlah, jangan terlalu didramatisir, nanti juga kamu akan melihat menara yang jauh lebih indah daripada menara RCTI itu dan segera melupakannya. Percaya sama aku”

Aku menyusut airmata. Sialan, umpatku. Tahu apa kamu tentang kesedihanku ini? Enak saja ngomong seperti itu, dasar Narotama yang tak tahu perasaan orang!! Inikah maksudnya mengantar, hanya untuk mengolok-olok kesedihanku?

   “Aku tahu kamu sedih. Tapi kami semua disini akan lebih sedih jika kamu berangkat dengan hati yang tidak rela seperti itu. Iya, tidak, Kek?”

   Kakek mengangguk sambil mengelus kepalaku dan dibenamkannya dalam peluknya. Aku menangis lagi, kali ini dengan penyesalan. Menyesali tindakan papa yang menulis surat wasiat itu dan menempatkan aku pada kondisi fait accompli, suatu keadaan yang sebenarnya tidak kuharapkan, namun harus kuterima.

   Kami berpisah. Ya, berpisah. Kakek memelukku lama sekali. Kurasakan dadanya berdebar kencang menahan tangis. Luar biasa kakekku itu. Mungkin penderitaan masa perang telah mengajarkannya menjadi manusia yang tangguh hingga mampu menekan perasaan paling sedih sekalipun. Aku tahu dia akan kehilangan aku, meskipun cucunya bukan aku seorang. 

Narotama menghampiriku. Bibirnya mengatup sangat rapat. Aku tahu, dia juga pasti sedih karena akan aku tinggalkan. Kami telah begitu lama bersahabat dan kurasa, baru kali inilah aku meninggalkannya. Naro menjabat tanganku. Erat sekali. Tak pernah kurasakan orang menjabat tangan dengan demikian erat. Mungkin lebih tepat kukatakan dia menggenggam. Lama sekali. Hm, tentu saja ini bukan kali pertama dia menggenggam tanganku. Meski tidak bisa dibilang pacar karena tidak ada deklarasi cinta diantara kami, tapi bukan berarti kami tidak pernah berpegangan tangan, berangkulan, bahkan berpelukan. Hanya saja, Narotama tampaknya tidak pernah berniat untuk menciumku dan aku juga tidak pernah kepikiran untuk diciumnya. Amit-amit. 

Kulihat matanya berkilat, mengisyaratkan bahwa dia ingin berbuat lebih dari ini. Benar saja. Dia menarik tanganku dan sialnya tubuh kerempengku ini jatuh begitu saja dalam pelukannya. Aku meleleh lagi. 

   “Jaga dirimu baik-baik, Jul” 

Astaga, dia masih saja memanggilku Ijul. Keterlaluan. Tak bisakah dia menghiburku sedikit saja dengan memanggilku Julie, yang dilafalkan dalam bahasa Prancis menjadi zyuli? Bukankah itu lebih terdengar sexy ketimbang Ijul?

“Jangan lupa, keep in touch with me, okey?” Naro mengucapkan kalimat itu dengan suara bergetar. Diapun melepaskan pelukannya. Kepalanya terus tertunduk hingga matanya tertutup oleh poni rambutnya yang dibiarkan panjang. Mungkin Naro sedang menutupi airmatanya. Yeah, kurasa sahabat sejak kecilku itu kini sedang menangis.

Satu jam lagi, pesawat akan membawaku terbang jauh. Tak ada gunanya berlama-lama menahan diri demi menikmati detik-detik kebersamaan dengan orang-orang yang kucintai. Ups! Kucintai? Pada kakekku, iya. Tapi Naro? Tidak ya! Oke, mungkin lebih tepat kukatakan ‘dengan orang-orang yang kusayangi’. 

Kupaksakan diri untuk mengembangkan senyum dibalik pintu kaca yang telah memisahkanku dengan kakek dan Naro sambil menahan diri untuk tidak meleleh-leleh lagi. Dengan ketegaran penuh, kulambaikan tanganku pada mereka. Ini bukan sekedar pergi sebentar lalu kembali lagi, tetapi pindah, yang jika diartikan secara ekstrim, kau pergi dan tak kembali lagi. Duh, betapa sedihnya aku mendengar kata itu. Enam belas tahun aku menghirup udara Indonesia tanpa pernah berkesempatan mengenal negeriku yang satu lagi dan kini sisa hidupku akan kuhabiskan di negara asing nan jauh itu. 

Aku berusaha tenang dengan melurus-luruskan kaki. Enam belas jam duduk di pesawat membuat pinggangku serasa rontok. Jika boleh kubandingkan lama perjalanan ini sama dengan aku pergi dari Jakarta ke Malang, naik kereta api ekspres Gajayana. Pramugari mengumumkan lagi bahwa pesawat ini akan segera mendarat di Paris dalam beberapa menit. Kuintip keadaan di luar sana. Beberapa ratus meter di bawahku, terbentanglah kota Paris yang masyur itu dan lututku makin bergetar-getar. Excited dan gugup. 

Dari atas, kota yang dijuluki dengan sebutan La ville de lumière atau kota cahaya itu terlihat seperti sarang laba-laba. Gedung-gedungnya tinggi diselingi jalan yang bersalur-salur, sangat teratur. Melihat ini, Jakarta yang baru kutinggalkan enam belas jam yang lalu itu jadi seperti sarang semut. Acak-acakan dan tidak rapi seperti ini. Ya Tuhan! Kenapa aku mulai membandingkan Paris dengan Jakarta!

Itu menara Eiffel, satu-satunya bangunan yang aku kenal dan menonjol diantara yang lainnya, berkilat-kilat tertimpa matahari, indah sekali. Lalu, mana Bandaranya? Kata Maman dalam teleponnya kemarin, dia tidak bisa menjemputku karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan sebagai gantinya, dia akan mengutus anak tirinya untuk menjemputku. O,ow! Saudara tiri? Seperti apa ya tampangnya? Apakah aku mampu berkomunikasi dengannya nanti? Selama setahun penuh kemarin, aku telah membekali diriku dengan pengetahuan budaya dan bahasa Prancis, dan rela bolak balik ke Centre Culturel de Français[1](CCF) Salemba Jakarta untuk mempelajarinya. Kamu pasti akan mengatakan Julie-Anne ini bodoh sekali. Peranakan Prancis, tapi buang-buang duit untuk belajar bahasa ibunya! Wait, bukankah bahasa ibuku adalah bahasa Indonesia?  Tapi ibuku asli orang Prancis. Jadi apa seharusnya bahasa ibuku? 

Aku mengikuti pelajaran bahasa Prancis tingkat dasar. Tingkat dasar, yeah cukuplah, kata maman. Setidaknya itu akan membantuku membuka percakapan dengan orang Prancis yang mostly enggan menanggapi orang yang berbahasa lain selain bahasa mereka. Nanti disana, aku bisa kursus sambil menunggu ujian masuk universitas. Inilah ruginya jika tidak mau belajar bahasa asing sejak dini dan kamu tahu? Bahasa Prancis itu susahnya minta ampun! Setengah tahun belajar, aku belum bisa dikatakan mahir ngomong Prancis. Jangankan ngobrol seru dengan native speaker, membentuk kalimat yang utuh saja aku terbirit-birit. Kerepotan belajar menelan huruf R dan sibuk menyengau-nyengaukan suara. Yang lebih parah tentu saja aku tergagap-gagap menghafalkan konjugasi kata kerja yang berbeda di setiap subjek personalnya. 

Kuberi satu contoh: kata kerja être, yang punya arti to be dalam bahasa Inggris, bisa berubah-ubah (berkonjugasi), mengikuti subjek yang ada didepannya, seperti ini:

Konjugasi kata kerja être:

Je suis [ze swi]                          =saya adalah

Tu es [tyu e]                              =kamu adalah

Il/elle est [il e/el e]                    =dia(laki-laki), dia(perempuan) adalah

Nous sommes [nu som]             =kami adalah

Vous êtes [vuzet]                       =mereka/anda adalah

Ils/elles sont [ilzong/elzong]            =mereka(laki-laki)/mereka (perempuan)adalah

Itu baru satu kata kerja dan bahasa Prancis punya ratusan kata kerja. Belum lagi persoalan kata benda. Bersyukurlah para pengguna bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata benda yang disebut atribut (dalam bahasa Inggris kita mengenalnya dengan The). Dalam bahasa Prancis kata benda dibedakan atas dua jenis kelamin, yaitu benda feminin yang ditandai dengan La dan benda maskulin ditandai dengan Le.

 

Buku, le livre

Rumah, la maison

Tentu saja kata benda-kata benda itu harus dihafalkan jenis kelaminnya, bukan asal main tebak. Jadi kamu tidak bisa sembarangan menentukan sebuah benda itu laki-laki atau perempuan. Semua ada dalam kamus dan kamu harus menghafalkan! 

Lamunanku buyar ketika roda-roda pesawat jumbo SQ milik negara tetangga Singapura ini, mantap menyentuh aspal landasan Bandara Roissy-Charles de Gaulle dan kudengar suaraku sendiri mengucap syukur tak terkira. Aku bernapas lega. Yeah, begitulah penerbangan. Selalu mendebarkan dan lega ketika mendapati dirimu telah menyatu lagi dengan bumi. Paris, j’arrive!,  seruku. Paris, aku datang, begitu artinya. 

Sambil berjalan menuju pengklaiman bagasi, aku melihat sekeliling. Jika tadi ketika transit di Singapura aku sudah cukup terkagum-kagum dengan kemegahan bandara Changi, kini aku dibuat terganga dengan keindahan desain interior Roissy yang supermewah dan modern. Atapnya tinggi, didominasi besi, alumunium dan banyak kaca sehingga aku menduga pengelola bandara tidak lagi memerlukan banyak pengeluaran untuk lampu penerangan di siang hari. Tapi, kenapa aku merasa berjalan melawan arus? Astaga, aku baru sadar bahwa aku salah arah. Aku masih membawa kebiasaanku di Indonesia, berjalan disisi kiri, sementara disini orang berjalan disisi sebelah kanan. Pantas saja semua orang yang berpapasan denganku melihat dengan pandangan aneh. 

Petugas menungguku dengan sabar ketika aku berusaha mengeluarkan seluruh dokumen perjalanan termasuk paspor dari tas selempangku. Dengan tampang serius petugas bandara yang mungkin saja cantik kalau tersenyum itu menanyaiku; berapa lama aku akan tinggal di Prancis, untuk keperluan apa dan lain-lain. Yeah, mungkin dia akan tersenyum kalau aku bisa ngomong Prancis sama dia, atau rutinitas yang membosankan sebagai petugas bandara telah memutuskan urat senyumnya? 

Tapi aku bersyukur karena wanita itu bertanya dalam bahasa Inggris sebab aku tidak bisa membayangkan seandainya dia hanya mau bicara bahasa nasional negara ini, apakah aku akan menjawab dengan bahasa Prancis standar tingkat satu saja untuk apapun yang dia tanyakan?

Beres urusan bagasi dan dokumen-dokumen keimigrasian, aku menuju next level dalam bandara ini, yaitu pintu keluar. Kata teman sekelasku di SMA yang sering bolak balik ke luar negeri, kita belum bisa dikatakan masuk sebuah negara sebelum keluar dari bandaranya. Aku jadi ingat cerita seorang pengungsi bernama Nasseri yang terjebak di bandara Charles de Gaulle ini dan ditahan pihak imigrasi karena bukti pengungsinya hilang dicuri. Setelah beberapa tahun baru diketahui bahwa Nasseri telah memasuki bandar udara Prancis secara ilegal dan tidak dapat keluar dari sana. Ia tinggal di dalam bandara selama kurang lebih 18 tahun karena pemerintah Prancis tidak punya negara tujuan untuk mendeportasinya.  Nasseri bermaksud mengungsi ke Prancis, tapi ia tidak benar-benar berada di Prancis.

Di pintu keluar, di area penjemputan, aku bingung, celingak celinguk serupa pelanduk yang kecewa kehilangan mangsa. Para penjemput berderet-deret menanti dan  aku mengalami shock cultureku untuk yang kesekian kalinya. Semua orang sepertinya berwajah sama di mataku, mereka berkulit putih dan rambutnya berwarna. Lalu dimanakah saudara tiri yang katanya akan menjemputku? Kubaca deretan nama-nama yang ditulis di karton putih, yang diacung-acungkan para penjemput itu. Tapi tidak satupun namaku tertulis di sana. Oh, bagaimana ini? Jika dia tidak datang, kemanakah aku harus pergi? Segudang pertanyaan meruap dan kegugupanku semakin menjadi. 

Berjam-jam sudah aku terpekur dalam kesendirian menunggu datangnya seorang penjemput yang akan membawaku pulang. Setengah jam, masih tenang. Masih sanggup berdiri di pintu keluar sambil tak henti-hentinya mataku ini jelalatan mencari sosok itu. Satu jam jam kemudian? Aku terpaksa jongkok diantara tumpukan koperku. Ketika aku menelpon rumah maman dari kabin telepon umum tadi, tidak ada yang mengangkat. Aku menepuk dahi dan berkata bodoh pada diri sendiri, kenapa aku tidak tanya pada maman, berapa nomor ponsel saudara tiriku?

Kemudian aku nekat, naik taksi. Ketika ditanya sopir taksi kemana tujuanku, aku bermaksud menunjukkan alamat rumah maman yang tertulis pada secarik kertas yang kupegang ini, tapi yang keluar dari mulutku adalah: Oui, La Tour Eiffel, s’il vous plaît[2]!!

 

 


 

[1] Pusat Kebudayaan Prancis

[2] Ya, menara Eiffel, Please...!