Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) Printemps a Paris 

2: Tidak Setabah Pangeran William

Jakarta, beberapa tahun yang lalu..

Hujan turun sangat deras. Kamu tahu? Deras bukan main. Kurasa ini hujan pertama yang balas dendam kepada musim kemarau yang kelamaan bercokol di Bumi Pertiwi. Empat, euhmm.. Tidak, lima bulan lamanya musim kemarau betah menjajah negeriku. Aku bilang ‘menjajah’ sebab selama lima bulan itu, musim kemarau telah membuat sejumlah besar kesengsaraan; sawah di Indonesia kering kerontang, mata air dan sungai-sungai juga kering hingga penduduk tidak punya sumber air, hasil padi menjadi tidak bagus, harga beras lokal  melambung sehingga pemerintah perlu mengambil kebijakan impor beras, jutaan petani kehilangan penghasilan akibat gagal panen, kelaparan mendera sebagian Maluku dan Papua dan berita-berita lain yang merupakan efek domino dari kemarau panjang. 

Ditengah hujan badai dan angin ‘balas dendam kepada musim kemarau’ itulah, aku menerima telepon dari kakek, yang mengabarkan bahwa papaku, kini sedang terbaring di RS Jantung Harapan Kita. Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, kau tahu artinya? Papaku sedang mengalami serangan jantung, untuk yang ketiga kalinya, secara berturut-turut, dalam kurun waktu dua minggu. 

            Kumasukkan ponsel ke dalam tas seraya melihat langit. Jika hujan sudah tidak terlalu deras lagi, aku akan segera kesana. Naik taksi tentu saja. Sebab jika naik mikrolet atau metro mini, aku tidak bisa menjamin berapa lama aku akan sampai ke rumah sakit itu dan apakah aku masih sempat bertemu papaku. Sepertinya aku pesimis, ya? Mungkin saja. Lebih tepatnya pasrah. Bisakah kau bayangkan, jika orangtuamu mengidap penyakit jantung yang cukup parah dan telah beberapa kali keluar masuk rumah sakit, apakah kau masih bisa berharap? Oh, yeah, aku memang berharap papaku sembuh, namun aku juga pasrah jika dirinya harus pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Kurasa itu adil. Karena aku tidak tega melihat papa hidup dengan penderitaan yang begitu berat seperti itu. 

            Halaman sekolah yang tadi dipenuhi siswa bergerak menuju sepi, berbarengan dengan meredanya hujan. Seperti yang lain, akupun beringsut meninggalkan halaman sekolah, menyebrang jalan untuk kemudian menunggu taksi dari halte di tepi jalan raya di depan sekolah. Semua sibuk. Mobil penjemput, mikrolet dan metro mini berebutan menjaring siswa yang baru bubar ini. Semoga ada taksi yang melintas, doaku dalam hati.

            Kakek menyambutku, dengan mata merebak. Mata yang merah dan sembab  itu mengidentifikasi bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Hatiku bergetar namun belum bisa menangis. Yeah, ternyata naik taksipun tidak menjamin aku bisa segera sampai dan sempat bertemu papaku sebelum meninggal dunia. Tergesa, aku segera mengikuti langkah kakek menuju suatu ruangan yang mempunyai nama cukup terkenal, namun kujamin kau tidak akan berminat mengunjunginya: Ruang Jenazah. 

Oke, mungkin menakutkan jika scene ini kau tonton dalam film horor dan bisa saja aku berlagak seperti Luna Maya dalam film Bangsal 13 yang sedang ketakutan dikejar hantu. Tapi bagaimana jika adegan yang sedang kulakoni ini adalah skenario sebuah drama tragedi, dimana seorang bocah perempuan berusia 16 tahun, masih sekolah di SMA di Jakarta Barat, korban broken home, dan kini, orangtua tunggalnya, wali asuhnya sedang terbujur kaku? Apakah aku akan tetap berakting seperti Luna Maya dikejar hantu? 

            Kakek memberi isyarat padaku untuk mendekati tubuh kaku yang terbujur horisontal itu. Sementara di sudut sana, seorang petugas sigap membantuku membuka selimut yang menutupi wajah papa. Dan duh, Tuhan, berilah aku kesanggupan menatap orang terkasihku itu dengan ketabahan seorang Pangeran William yang diharuskan secara protokoler, tidak menampakkan wajah sedih ketika menyaksikan ibunya dikebumikan. Kakek menarik tubuhku, ketika melihat cucunya ini sudah mulai emosional. Aku memeluknya dan kutumpahkan semua. Aku menangis sejadi-jadinya. Ya, mungkin aku tidak bisa dibilang anak yang tabah seperti Pangeran William, meskipun di dalam skenario kehidupanku, scene yang mengatakan bahwa aku akan kehilangan papa, sudah aku duga sebelumnya. Kau juga tidak akan mengejekku sebagai anak cengeng gara-gara ini, bukan?

            Para tetangga sesama penghuni kompleks satu persatu telah meninggalkan rumahku. Kau tahu, rumah duka tidak ada yang hangat meskipun suasananya nyaris seperti Lebaran hari pertama. Semua keluarga, maksudku keluarga papaku datang berkumpul. Keluarga bude, pakde yang di Kebayoran, keluarga oom yang di Lenteng Agung, dan keluarga paklik yang di Pancoran dan Radio Dalam. Juga yang dari Malang, yang baru datang sore itu. Mereka langsung ‘terbang’ begitu kakekku mengabarkan salah satu saudara mereka, Jusuf Aristanto, telah meninggal dunia tadi siang. Jika semua yang datang adalah keluarga papa, lalu, dimanakah keluarga mamaku? Jika kau berada di rumahku sekarang, kau akan tahu bahwa tidak satupun keluarga mama yang hadir. Mungkin kau penasaran. Baiklah nanti akan kuceritakan mengapa keluarga mama tidak datang untuk berbela sungkawa atas meninggalnya papa. 

Kakak papa yang paling tua –aku memanggilnya pakde-, yang berprofesi sebagai pengacara, tiba-tiba memanggilku dan mengundang semua yang hadir untuk bersama-sama duduk dengan kami. Cyntia, salah satu sepupuku, duduk di sebelah dan menyediakan bahunya untuk kusandari. Dari percakapan berbau orang dewasa ini aku tahu, bahwa papa sebelumnya telah menunjuk pakde sebagai pengacara pribadi dan menulis surat wasiat untukku beberapa tahun lalu. 

Surat wasiat? Apakah ini surat wasiat seperti dalam sinetron Indonesia yang isinya tentang pembagian harta warisan? Ah, aku selalu tidak menyukai ide surat wasiat karena menurutku itu sedikit bersifat mistis. Yeah, membaca surat orang yang sudah meninggal, apakah bukan mistis? Surat itu masih tersegel rapi, menandakan jika pakdeyang dipercaya papa memegang surat wasiat ini, tidak pernah membukanya. Disaksikan saudara-saudaranya yang lain, pakde menyerahkan surat itu kepadaku.

“Bacalah keras-keras di depan kami, Julie” kata pakde.

Aku membukanya dan benar itu adalah sebuah surat yang ditulis dan ditandatangani papa sendiri. Aku amat hapal model tulisan dan tandatangannya. Surat itu mengatakan jika dia meninggal sebelum aku berumur 18 tahun, maka hak asuh atas diriku, akan kembali pada Marie-Anne Clemenceau, yaitu mamaku dan aku harus tinggal di mana Marie-Anne Clemenceau tinggal. Papa menyerahkanku kembali pada mama?

Nah, tanpa aku bilang, kau kini tahu, mengapa keluarga mama tidak hadir sekarang? Ya, mamaku bukan orang Indonesia dan tidak tinggal di Indonesia. Baiklah, kini aku terisak dan semua orang menatapku nanar. Kurasakan tubuhku bergetar dan mataku berkunang-kunang, tapi kupaksaan untuk membaca kelanjutan isi surat wasiat itu di depan keluarga besar. Papa bilang, sejumlah tabungan di rekeningnya cukup untuk membiayai perjalanan dan hidupku selama beberapa tahun ke depan. Sedangkan rumah, sepenuhnya hakku dan hanya aku yang berhak menjualnya atau tidak. Surat itu diakhiri dengan salam dan tandatangan papa.Tanganku gemetar ketika melipatnya. Setelah itu entah bagaimana aku lupa, tiba-tiba saja aku tak mampu lagi duduk tegak. Aku  oleng dan semua yang kulihat berubah menjadi gelap. Aku pingsan.

Berhari-hari aku tidak mau makan dan masih tidak habis pikir, kenapa papa menyerahkanku pada mama jika dia meninggal? Bukankah mama juga telah meninggalkan aku sejak masih kecil? Aku kenal mama, tapi sekilas-sekilas. Dia hanya menelponku sesekali dan mengunjungiku sekali-sekali juga. Aku tidak pernah diajaknya ke negerinya sana dan aku ingat papa memang tidak pernah mengijinkan mama membawaku ke negerinya. Tidak jelas alasannya mengapa. Penyesalanku semakin menjadi ketika ingat bahwa segala pertanyaan ini tak akan bisa terjawab sebab tidak mungkin aku berkomunikasi dengan papa yang telah tenang di alam sana.

Ketika alasan keengananku pergi ke negeri mama kusampaikan pada kakek, laki-laki tua itu bilang bahwa bagaimanapun aku harus melaksanakan wasiat itu. Mendengarnya, aku langsung dihantam ombak tsunami. HARUS? Itu suatu keharusan? Kakek memelukku dan berkata lagi bahwa tidak ada salahnya pergi kesana, toh aku punya hak sebagai warga negara Prancis dan itu memudahkanku hidup di sana.

“Aku warga negara Prancis, Kek?” tanyaku heran. 

“Benar. Anak yang lahir dengan kedua orang tua atau salah satu orang tuanya warga negara Prancis, otomatis anak-anaknya juga menjadi warga sana”

“Kukira aku warga negara....Indonesia” desisku lirih.

“Kelak kamu bisa memilih, tapi sekarang belum saatnya. Lagipula Julie, kamu akan tinggal dengan ibu kandungmu sendiri. Itu lebih baik daripada siapapun di dunia ini. Kamu mengerti?”

Aku termenung mendengarnya. Kau akan tinggal dengan ibu kandungmu sendiri. Yeah, kau dengar kan? Ibu kandung. Sudah lama orang tidak menyebut kata itu bahkan papa. Jika tidak diingatkan, aku sendiri lupa jika masih punya ibu kandung.

*

            Mama datang tepat sebulan setelah papa meninggal. Aku menjemputnya bersama kakek di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Mama, atau biasa aku menyebutnya maman, tidak berubah samasekali. Wajah aristokrat Prancisnya enggan enyah darinya. Aku masih ingat dari dulu, gaya rambutnyapun masih seperti itu. Rambut ikal pirang keemasannya digulung begitu saja membentuk gelungan kecil. Tubuh mamaku juga tetap langsing dan tentu saja jangkung jika dibandingkan dengan Tante Ratna, bundanya Dewi, teman sekelasku. Dia hanya lebih tinggi sedikit dari Tante Wita yang mempunyai tinggi badan 170 sentimeter. Tante Wita adalah ibunya Narotama, kawan karibku, tetangga sebelahku. 

Kini, setelah sekian lama tidak bertemu, maman –dilafalkan mamong- masih tetap menunjukkan dirinya wanita Prancis yang lekat dengan kata ‘modis’. Menyandang tas tangan yang mungil atau clutch dan sepatu teplek yang memperingan gayanya melangkah. Pakaiannya, jangan kau tanya. Modis banget! Penampilannya berbeda dengan ibu-ibu orangtua teman-temanku. Dia, berbalut longdress motif abstrak warna hijau daun dengan cardigan rajutan hijau tua, melenggang cantik di sisiku sambil memeluk pinggangku. Seketika aku terperangah mendapati kenyataan bahwa diriku kini hampir sejangkung dirinya!

            “Maman kangen sama Julie..” bisiknya dan aku hanya bisa tersenyum. Suaranya, tidak berubah samasekali meskipun sudah sepuluh tahun, sejak perceraiannya dengan Papa, dia meninggalkanku. Aku masih sering mendengar suara itu via telepon, juga sesekali ketika dia datang ke Indonesia pada liburan musim panas di Prancis, atau sekitar bulan Juni-Agustus. 

            “Apa kabar, Pak Widyo?” tanyanya pada kakekku, mantan mertuanya. “Saya turut berduka cita atas meninggalnya Jusuf” lanjutnya dengan Bahasa Indonesia yang menurutku sangat lancar untuk ukuran orang asing. Maman bicara dalam bahasa Indonesia dengan aksen Prancis yang kental. Kakek menjawab ucapan bela sungkawa itu dengan datar saja. 

Baginya, tak ada urusan lagi dengan Marie, kecuali untuk urusan cucunya yang satu ini, yaitu aku.  Selama di Jakarta, aku menemani maman jalan-jalan melihat mal-mal baru dan dia memintaku menemaninya mengunjungi tempat bersejarah baginya dan papa. Aku hampir tak bisa menahan tawa, ketika mengetahui tempat yang konon bersejarah baginya dan papa. Kau tahu? Stasiun Gambir! Ya ampun, stasiun. Apa tidak ada tempat yang lebih bagus?

            “Di tempat inilah kami, ton papa et moi bertemu. Ketika itu, aku bersama beberapa teman di kampus melakukan ekspedisi keliling kota-kota tua dan klasik di Asia. Kami sampai di stasiun ini, hendak melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, setelah sebelumnya kami mengunjungi Kyoto, Jepang. Waktu itu, sedang high season, mungkin Lebaran Haji, dan kami tidak kunjung dapat tiket. Lalu datanglah dia, yang memperkenalkan diri dengan nama Jusuf, yang rela membantu kami mendapatkan tiket. Dengan membayar dua kali lipat, aku dan teman-temanku akhirnya berhasil dapat tiketnya. Kurasa, aku telah menjadi korban seorang calo bernama Jusuf waktu itu”

Aku tergelak.

            “Jusuf yang mengetahui ekspedisi ini tertarik, lantas membelokkan rencananya yang mulanya ke Lombok, jadi ke Yogyakarta. Bukan Ge-er, Julie, tapi aku merasa pemuda Indonesia ini bukan tertarik pada ekspedisinya, tapi telah terpikat padaku. Un coup de foudre, cinta pada pandangan pertama”

Aku tergelak lagi. Tak kusangka papaku memiliki selera yang tinggi akan wanita dan mudah percaya pada cinta pandangan pertama. Astaga!

            “Selanjutnya, bisa kamu tebak, bukan? Kami pacaran jarak jauh sampai Jusuf  lulus kuliah dan berangkat ke Prancis untuk memintaku menjadi istrinya. Kami menikah dan akupun diboyong ke Jakarta”

            “Setahun kami menikah, lahirlah kamu, yang kami namai Julie-Anne. Julie, karena kamu lahir pada bulan Juli. Anne dari namaku Marie-Anne”

            “Maman,...” potongku, bernada interupsi. Mama membulatkan matanya,

            “Ya?”

“Aku ada pertanyaan yang dari dulu ingin kutanyakan”

            “Apa itu?” tanya maman.

           “Kenapa maman bercerai dengan papa?” tanyaku. Wajah mama berubah sedih dan sumpah, aku menyesal telah bertanya itu. Kau tahu? Ini seperti langit Jakarta yang tiba-tiba mendung setelah teriknya hampir membakar ubun-ubun.

            “Maman....,” mama menggantung kalimatnya “Mungkin maman yang salah. Maman yang tidak berusaha dengan keras mempertahankan perkawinan itu”

            Kau tahu, sebagai orang yang bersalah karena bertanya itu, aku terdiam. Sebenarnya ada satu pertanyaan lagi yang ingin kuajukan, yaitu mengapa maman meninggalkanku di Indonesia? Tapi aku takut jawaban maman adalah, oh yeah aku tak mungkin membawamu karena Jusuf yang memenangkan soal hak asuh dirimu di pengadilan dan Jusuf tidak pernah mengijinkanku untuk membawamu untuk alasan apapun. Jadi kupikir, sudahlah, lebih baik jika hal itu tidak perlu diperpanjang lagi. Cukuplah membuat maman bersedih hari ini meski itu sebenarnya tidak kusengaja. Aku hanya penasaran, mengapa kedua orangtuaku bercerai. Ketika kutanya, papa juga tidak pernah mengungkapkan alasannya, begitu juga dengan maman sekarang. Mungkin, tidak semua perbuatan perlu alasan. Mereka hanya ingin berpisah, itu saja. 

            “Ohya, Maman, semalam aku telah memutuskan bahwa aku tidak akan pergi ke Prancis denganmu”

            Mama membelalak dan bibirnya mengatup tanda bahwa dia sedang bingung. Sekali lagi aku merasa bersalah. Aku tidak mau dianggapnya seperti papa yang tidak bisa dimengertinya. Bagaimanapun, dialah waliku sekarang. Apapun yang akan terjadi aku seharusnya pasrah dalam perwaliannya. Tapi ketidakinginanku pergi ke Prancis dengannya sekarang bukan tidak kupikirkan matang-matang. Tidak seperti mereka yang tidak punya alasan bercerai. Aku, punya alasan sendiri.

            “Pourquoi, Chérie?” tanyanya sendu “Aku telah jauh-jauh kesini, untuk menjemputmu”

            “Maaf, Maman, tapi aku punya alasan sendiri”

            “Apa alasan kamu? Apa karena aku telah menikah lagi dan kamu punya papa dan saudara tiri hingga itu membuatmu takut?”

            “Bukan, Maman. Bukan itu. Jika aku pergi ke Prancis denganmu sekarang, bagaimana dengan sekolahku? Aku usul, seandainya aku menunda keberangkatanku sampai aku lulus SMA, untuk mempermudah masalah tentang sekolah, apa itu tidak cukup reasonable buatmu?”

            Mama berubah cerah.

            “Ah, Syukurlah! Kukira kamu akan menolak kubawa ke Prancis. Ya, aku baru ingat jika sistem jenjang pendidikan menengah antara disini dan Prancis, berbeda. Kamu akan mengalami kesulitan jika sekarang pindah kesana. Baiklah, jika itu keputusanmu. Selesaikanlah sekolahmu sampai lulus SMA, setelah itu kamu bisa mengikuti prosedur kuliah di Prancis dan tinggal denganku”

            “Itu ide yang bagus, kan?”

            “Sangat bagus! Maman akan bantu kamu mendaftar di Sorbonne. Beberapa alumninya yang sekarang menjadi dosen adalah teman kuliahku dulu. Ngomong-ngomong, darimana seorang gadis 16 tahun seperti kamu dapat pemikiran ini? Kakekmu?”

            Aku tersenyum, membiarkan mama menebak-nebak. Kau tahu, seorang anak yang ditinggalkan orangtuanya dengan segudang masalah tak terselesaikan, akan mempunyai pemikiran dua kali lebih dewasa dari umurnya sendiri.

**