Contents
Istri Pertama Suamiku
02. Aku Perebut Suami Orang
Maya mengamati anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun dan anak lelaki berusia sekitar delapan tahun menggelayuti lengan kanan dan kiri suaminya. Maya takut untuk berspekulasi. Maya takut untuk bertanya.
“Kamu enggak bilang kalau mau ke puncak,” kata Faris yang sedari tadi diam.
“Aku bilang, Mas. Aku sudah kirim pesan dan berkali-kali coba hubungi kamu, tapi kamu enggak angkat teleponnya.”
Faris diam. Seharusnya ia tidak berkata seperti itu. Maya adalah tipikal wanita yang benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai berumah tangga. Maya tidak akan pergi tanpa mendapatkan izin atau tidak mengabari Faris.
“Sekarang ... aku boleh bertanya, Mas?” tanya Maya lagi.
“Kita bicarakan ini di rumah. Aku akan jelaskan semuanya.”
Maya diam. Ia tidak ingin berkompromi. Sebenarnya apa yang dilihatnya barusan lebih dari cukup. Semuanya jelas. Faris, suaminya memang memiliki hubungan khusus dengan wanita juga kedua anak yang sedari tadi tidak melepaskan lengan Faris.
Maya menoleh ke belakang, menatap tiga sahabatnya yang tampak sama gelisah. Terutama Arya yang terlihat siaga.
“Aku juga ingin kita bicara di rumah, tapi aku perlu tahu siapa mereka. Kenapa kamu ada di sini dan kalian tampak seperti sebuah ... keluarga.”
Pahit sekali kata terakhir yang diucapkan Maya. Getirnya terasa di setiap rongga mulut dan kerongkongan Maya.
“Maya, aku akan jelaskan semuanya, tapi di rumah. Aku enggak mau masalah kita didengar semua orang.”
“Maksud kamu, sahabat-sahabat aku? Mereka yang terlebih dahulu melihat, Mas. Lebih baik Mas bercerita di depan kami. Aku enggak mau mereka berpikir yang bukan-bukan.”
“Mas.”
Sakit sekali mendengar ada yang memanggil suaminya dengan kata Mas. Dipanggil dengan nada persis seperti biasa Maya memanggil suaminya.
“Winda, apa kamu bisa sebentar ajak anak-anak ke mobil?”
Winda?
Jadi, nama wanita itu Winda?
Tubuh Maya mulai gemetar. Firasatnya mengatakan apa yang sedari tadi digaungkan oleh isi kepalanya adalah satu realitas yang nyata.
“Tapi, Mas—“
“Winda, Mas mohon. Ajak anak-anak ke mobil. Tunggu Mas di sana.”
Wanita itu mengangguk lalu mengajak dua anak itu pergi, tetapi salah satu dari mereka bertanya, “Ayah enggak lama, kan?”
Deg!
Jantung Maya seakan berhenti. Pendengarannya tidak mungkin salah. Anak itu menyebut Faris dengan kata ayah? Ayah!
“Iya, enggak lama. Kalian ke mobil dulu ya?”
Maya memperhatikan Winda serta kedua anak itu pergi menuju lahan parkir. Hatinya sudah amat gelisah.
“Ayah?” tanya Maya dengan bibir gemetar.
“Aku minta maaf sama kamu.”
Maaf? Bukankah kata maaf adalah satu ungkapan untuk sebuah pengampunan atau penyesalan?
Mengapa Faris mengatakan hal itu?
“Maksudnya apa, Mas?” tanya Maya yang akhirnya enggak bisa menjaga intonasi suaranya lagi.”
“Mereka, mereka, mereka ....”
“Mereka siapa, Mas?” tuntut Maya.
“Mereka adalah keluarga aku, May. Istri dan anak-anak aku.”
Maya bisa merasakan jarum yang selama ini bergerak sebagai penanda waktu dalam hidupnya mendadak berhenti. Sekujur tubuhnya ikut dingin seolah ada yang menyiramnya dengan es batu. Bahkan Maya tidak sadar sejak kapan air matanya tumpah ruah.
“Aku akan jelaskan semuanya, May. Kita pulang dulu,” bujuk Faris yang kemudian menggenggam tangan Maya, tetapi dengan sigap Maya menepis tangan Faris.
Maya coba untuk bangkit, tetapi tubuhnya terhuyung. Beruntung Arya bergerak cepat menahan Maya agar tidak jatuh tersungkur.
Vania merangkul Maya, Arya melepaskan tangannya dan secepat kilat menarik kerah jaket Faris lantas memberikan satu bogem mentah tepat di wajah Faris.
Maya melihatnya, Arya meninju Faris hingga jatuh menabrak meja, ia tidak tahu harus marah atau berterima kasih atas apa yang dilakukan Arya.
“Kalau lo sudah bosan sama Maya, seharusnya lo bisa lepasin Maya!” desis Arya.
Titi menarik-narik lengan Arya, ia takut kalau Arya semakin lepas kendali. “Arya, sabar. Ayo, aku mohon, kita balik ke mobil, ayo Arya!”
Mereka kembali ke mobil. Perjalanan yang diawali oleh tawa, canda harus diakhiri dengan suara tangis Maya.
“Kita ke rumah kakak kamu saja,” usul Arya ketika mobilnya keluar dari pintu tol.
“Iya, aku setuju sama ide Arya. Kamu belum siap ketemu si berengsek itu lagi!”
Berengsek? Jadi, sekarang gelar yang diberikan Titi pada Faris sudah berubah?
Bukannya Titi yang selalu mengatakan Faris adalah suami idaman tiap wanita? Bukankah Titi yang selalu mengatakan betapa beruntungnya Maya bisa menikah dengan Faris?
“Jangan ribut! Kita tanya Maya dulu. May, kamu mau pulang ke mana, May?”
Maya menyeka air matanya. Titi memang benar. Ia belum siap bertemu lagi dengan Faris, tetapi ia juga tidak bisa bertemu dengan kakaknya. Maya masih belum mengerti apa yang terjadi, apa yang bisa dijelaskan?
Baik, nyatanya memang Faris mengakui kalau dirinya memiliki istri dan anak, tetapi bukankah Maya adalah istrinya juga? Jadi, Faris punya dua istri?
Namun, dua anak itu, usianya jelas lebih tua dari usia pernikahannya dengan Faris. Jadi, Maya adalah istri kedua?
Maya tidak bisa menjelaskan hal-hal itu pada kakaknya yang nanti akan bertanya. Maya masih tidak mengerti.
“Pulang, antar aku pulang ke rumah,” ucap Maya dengan bibir gemetar.
“May.”
“Arya, aku mohon. Aku belum siap untuk jelaskan kondisi aku sama Mas Dwi. Aku enggak siap. Bahkan aku sendiri enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku enggak ngerti!”
Lama terdiam, akhirnya Arya berkata, “baik.”
Setelah tiba di rumah, Maya segera turun dari mobil Arya lantas meminta semua teman-temannya untuk pergi.
Pikirnya, Maya ingin menenangkan diri, tetapi baru saja ia masuk selangkah ke dalam rumah. Setiap sudut dan udara di dalam rumah itu menyiksa diri Maya lebih hebat dari yang bisa ia bayangkan. Seharusnya ia pergi saja ke rumah kakaknya. Walau belum bisa menjelaskan, tetapi Maya bisa sedikit bernapas lega.
Deru suara mobil yang Maya kenal pemiliknya membuat Maya berbalik. Ia berdiri layaknya sebuah patung menatap pintu hingga daun pintu melebar terbuka, baik Maya dan Faris, keduanya sama-sama terkejut.
“Maya!” seru Faris tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Maya diam, tidak tahu harus bagaimana menghadapi Faris. “Aku akan jelaskan semuanya. Winda dan anak-anak enggak bersalah. Aku yang bersalah dan aku minta maaf karena sudah melibatkan kamu dalam urusanku bersama Winda.”
Maya mengusap air matanya. “Urusan kamu? Melibatkan aku? Aku makin enggak ngerti ke mana jalan obrolan kamu, Mas!”
“Aku, aku sudah menikahi Winda, hampir tiga tahun sebelum kita menikah, Maya.”
Maya limbung. Ia hampir tidak bisa lagi menopang dirinya, tetapi Maya harus tetap berdiri dan mendengarkan segalanya. “Mas.”
“Aku, aku sudah punya calon. Ibuku memang enggak suka sama Winda. Ibu bilang dia sudah punya calon sendiri.”
“Jadi, maksudnya, aku, aku adalah pengganggu? Aku adalah perebut suami orang? Begitu, Mas?”