Try new experience
with our app

INSTALL

Hujan di Belanga (TAMAT) 

PROLOG

Mereka terus berjalan cepat. Menebus pekat. Menggapai-gapai kabut yang tak juga tersibak. Mereka berharap saat ini bulan ada dalam genggaman, menerangi sedikit saja harapan untuk segera lepas dari beban. Setidaknya beban dari malam ini. Malam yang gelapnya lebih pekat dari Badar Wulung. Beban berupa seorang anak berharga di pundak Eti yang harus segera mereka selamatkan.

Rumah besar itu sudah jauh tertinggal di belakang. Mereka tidak tahu, bagaimana nasib kedua majikan mereka. Mungkin telah tertembak. 

Dayat berniat menolong, tapi hatinya berkata tidak. 

Dia tidak harus menolong majikannya, kemudian dirinya sendiri juga istrinya serta anak majikannya ini akan ikut mati. Tujuan mereka hanya satu; Ke rumah paman si bocah laki-laki kecil, seperti yang selalu dipesan-pesan Sang Majikan. Tapi jalan raya bagai tak tercapai juga. Selama kaki mereka berderu, hanya ada pekat dan hitam di depan mata.

*

Setengah jam yang baru lalu…

Pukul 01.45

Seorang anak laki-laki kecil terbangun karena silau lampu. Tak biasanya dia dibangunkan oleh sinar lampu yang begitu sakit menyilaukan mata. Anak laki-laki itu terbiasa bangun oleh sinar matahari yang lembut,yang masuk disela-sela gordyn jendela kamarnya yang besar. Kemudian, Mama datang, mengecup pipi dan keningnya seraya menarik selimutnya yang hangat. Membangunkan dengan kelembutan dan kasih sayang.

Tidak demikian dengan kali ini. Ada apa?

Dengan mata terpicing, dia berusaha melihat orang yang membangunkannya. Itu Bi Eti,  pengasuhnya. Pengasuh itu menempelkan jari telunjuk ke depan mulut, mengisyaratkan pada bocah laki-laki kecil itu untuk tidak bersuara.

*

Delapanbelas kilometer jauhnya dari rumah itu..

Seorang anak kecil yang seumuran dengan bocah laki-laki di rumah besar tadi, terbangun. Tetapi terbangunnya anak itu bukan karena sinar lampu yang menyilaukan mata, melainkan karena dirinya bermimpi yang sangat aneh. Dia mimpi seseorang dengan berpakaian hitam-hitam marah dan akan menghancurkan mainan pianikanya. Ketika dia akan merebutnya, orang berpakaian hitam-hitam itu membanting pianika miliknya hingga hancur berkeping-keping. Diapun terbangun. 

Dadanya masih berdebar keras ketika matanya terpicing melihat ke arah jam dinding dengan sinar lampu redup. Jam dua kurang, desisnya. Dia merangkak menuju nakas, dimana pianika itu disimpan. Kemudian dia meraih pianika kecil itu dan membalikkan. Di balik pianika itu, ada tulisan inisial nama; JWT. Tulisan itu membuatnya lega. Lega bahwa pianika itu ternyata masih utuh, tidak hancur seperti dalam mimpinya. Didekapnya alat musik itu dan dibawanya tidur kembali. Pianika ini pemberian seorang sahabat, tidak boleh hilang dan hancur, batinnya dalam hati.

*

Kembali ke rumah pertama, 

dimana sang bocah laki-laki kecil terbangun karena silau lampu..

“Ayo, Den, ikut Bi Eti” hanya itu yang dibisikkan sang pengasuh sebelum bocah itu bertanya. 

Pengasuh itu segera membuka lemari pakaian dan mengemasi beberapa potong baju. Anak itu mau bertanya tapi urung.

“Kita ke rumah paman ya. Mau kan?”

Si anak memiringkan kepala, memastikan jika dia tidak salah dengar. Malam-malam begini?

“Sama Mama Papa?”

“Mereka menyusul. Sekarang masih ada tamu”

Tentu saja, yang dimaksud ‘tamu’ oleh si pengasuh adalah suara ribut yang tengah terjadi di ruangan bawah rumah berlantai dua. Anak itu pun sudah menduga jika suara itu adalah suara tamu ayahnya. Begitu banyak relasi Ayah di kota ini, sehingga sering sekali ada tamu datang, tapi biasanya tidak pernah tengah malam seperti ini.

“Sini, Bibi gendong”

Menuruti kehendak sang pengasuh, anak itu segera naik ke pungung perempuan 27 tahun itu, sambil terkantuk-kantuk. Mereka lewat tangga darurat, menuju taman belakang, dimana seorang laki-laki sekitar 30 tahunan, suami si perempuan itu, sudah menunggunya.

“Cepat, sebelum mereka melihat kita” laki-laki yang bernama Dayat itu, berbisik. Eti hanya mengangguk-angguk tak bersuara. Dayat meraih tas yang berisi pakaian dan segala keperluan si anak laki-laki kecil. Sebelum pergi, Eti menyempatkan diri menoleh ke rumah besar dengan airmata berlinang. Dia tak kuasa menahan sedihnya. Jika tidak diperintah majikannya, mereka berdua tak akan meninggalkan rumah itu.

“Hati-hati, Nyonya...”

Si anak melongokkan kepala, melihat wajah sang pengasuh yang menangis dengan penuh rasa heran. Kenapa, sih, tanyanya tidak mengerti.

“Cepat, Ti. Ingat kata Nyonya tadi, apapun yang terjadi, kita musti selamatkan anak ini” seru Dayat tertahan.

Wanita muda itu mengangguk-angguk dan segera mengikuti langkah suaminya, melewati sawah menuju jalan besar.

“Nyonya, saya janji, akan selamatkan anak Nyonya” ucapnya dalam hati. Dia memeluk erat bocah kecil malang yang masih terkantuk-kantuk di gendongannya. 

Mereka terus menyusuri persawahan menuju jalan besar. Dari sana mereka akan mencari angkutan umum menuju kota. Namun, tak berapa lama mereka berjalan, terdengar bunyi rentetan peluru yang berasal dari rumah besar yang baru saja mereka tinggalkan. Eti terpekik dan Dayat membungkam mulutnya. Sambil menangis, mereka terus berjalan. Dalam hati mereka sudah tahu, hal ini bisa saja terjadi pada keluarga majikannya.

“Kita harus cepat menelepon kantor polisi begitu sampai di jalan raya” ujar Dayat tertahan. Eti hanya bisa mengangguk-angguk dalam kegelapan.

Wajah kedua orang itu mendadak pucat, seperti bulan yang pasi ditelan kabut malam itu.