Try new experience
with our app

INSTALL

Before Wedding 

BAB 2: Catatan di Tepi Buku

Air mengetuk-ngetuk pada kaca jendela, Lentera melihat ke luar sekilas. Dia mendesah, kemudian kembali menatap ke layar komputer jinjingnya yang berpendar. Jarum jam di atas mejanya menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Masih terlalu pagi untuk hujan. 

Semoga segera reda

Ia bukan membenci hujan, tetapi ia sama sekali tidak suka dengan hujan. Hujan turun membuat harinya berantakan, membuat pakaiannya basah, dan membuatnya terlambat ke kantor. Dan yang paling dibencinya adalah ketika ia harus bertemu klien untuk HaloNona, hujan turun dengan deras. Seringnya, Lentera datang terlambat untuk bertemu klien, sebab dia terjebak macet. Macet di jalanan Surabaya adalah hal lumrah, lalu ketika hujan macetnya semakin parah dan itu membuatnya kesal.

Memang, urusan bertemu klien adalah tugas Avel sebagai tim marketing HaloNona, tapi tak jarang Lentera turun sendiri apabila sudah membahas mengenai artikel yang akan tayang di media mereka. Bisa saja mereka berkomunikasi via online, namun ada beberapa hal yang mengusik Lentera apabila klien mereka ada di Surabaya dan bisa datang ke Surabaya. 

Lebih enak bertemu langsung, agar tidak terjadi kesalahpahaman. 

Lentera meraih cangkir berkelir kuning di sebelah komputer jinjingnya. Cangkir itu berisi kopi hitam tanpa gula, ia menyesapnya perlahan. Baginya, mengawali hari dengan kopi pahit adalah pilihan yang tepat. Sama seperti Raka, mereka berdua penyuka kopi. Bahkan, keduanya bertemu di kedai kopi. 

Mengingat Raka, Lentera meraih ponselnya. Melupakan garis tegak lurus yang berkedip-kedip pada lembar Ms. Word yang ia biarkan terisi separuh.

Kau sudah di rumah? 

Ia mengirim pesan kepada kekasihnya itu. Dua hari lalu, Raka sudah di Indonesia, tetapi kekasihnya itu masih di Bandung. Urusan pekerjaan. Dia bilang ada salah satu brand di Bandung yang mengundangnya untuk datang ke acara. 

Masih di kereta. Dua jam lagi sampai Gubeng.

Kekasihnya membalas. Lentera segera mengetik pesan.

Bisa bertemu nanti malam? Aku rindu.

Butuh waktu beberapa menit, sampai Raka membalas.

Tentu, Sayang.

Lentera meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia kembali menekan tombol-tombol kibor dengan sesekali melihat ke arah buku catatan yang terbuka sejak tadi. Ia membolak-balik buku tersebut, mencari poin-poin artikel yang ia tulis sebelumnya. 

Entah kenapa, melihat buku catatan tersebut mengingatkannya dengan Gilang, terutama kalimat Gilang yang diucapkan lelaki itu sebelum meninggalkan rumahnya kemarin lusa. 

“Sinting,” tanpa sadar, Lentera kembali mengumpat. Tapi, ada sedikit kehangat dalam dadanya. 

Lentera kembali menekuni kalimat-kalimat dalam layar komputer jinjingnya, melupakan hujan di luar sana yang semakin deras.

***

“Pernikahan Syahrini dan Reino lagi hangat-hangatnya, nih, artikel di Lentera Media  sudah naik duluan,” tukas Deenar, pemilik HaloNona sekaligus sahabat Lentera.

Mereka berada dalam ruang rapat, Deenar melihat ke arah layar proyektor. Dalam layar tersebut membuka situs Lentera Media, pada bagian  Life Today. “Saya sudah sering berkata, kita harus bisa lebih cepat daripada orang lain. Dalam kasus kita, media lain,” tutur Deenar. Dia beralih kepada Lentera. “Kau sudah paham soal ini, kan?”

“Ya, aku sudah kasih tugas ke Yola semalam, tepat setelah Syahrini mengunggah foto pernikahannya,” jawab Lentera. Yola adalah penulis entertainment di HaloNona. “Seperti yang kita lihat sekarang, Yola tidak hadir. Tanpa keterangan. Sudah ku hubungi, tapi tak ada hasil.”

Deenar mendesah, berkacak pinggang sembari melihat persentase HaloNona yang terus menurun. “Baiklah, aku ingin kau membuatnya hari ini, Ra,” putus Deenar. “Kesampingkan artikel lain atau pekerjaanmu yang lainnya. Urusan bertemu klien, serahkan ke Avel,” lanjutnya. Ia melihat ke arah Avel. “Bisa?”

“InsyaAllah, Bu,” sahut Avel. 

Rapat pun usai hampir menjelang makan siang, semua karyawan HaloNona kembali ke meja masing-masing. Lentera meletakkan buku catatannya di sisi komputer jinjing yang ia biarkan menyala sejak tadi. Dia memilih program Ms. Word dan mulai menulis mengenai Syahrini dan Reino. Tentu saja, tidak benar-benar mengenai berita mereka berdua, namun disesuaikan dengan HaloNona.

Syahrini Menikah di Usia 36 Tahun, Bukti Bahwa Usia Bukanlah Tolak Ukur Untuk Menikah

Lentera memulai dengan judul artikel, kemudian menuliskan poin-poin yang akan menjadi pembahasan selanjutnya. Ia terbiasa membuat listicle, maka dia menuliskan hal tersebut dalam poin-poin kemudian mengembangkannya.

Hai

Sebuah pesan masuk ke dalam aplikasi perpesanan, Lentera segera memeriksanya. Dari Gilang. Ia mengerutkan keningnya, merasa aneh lelaki itu mengirim pesan. Tidak biasa. 

Ya?

Ia membalas dengan tanda tanya. Lentera ingin tahu apa yang ingin lelaki itu sampaikan. 

Nothing. Hanya memastikan kau masih hidup

Kerutan di dahi Lentera semakin padat, ia melupakan artikel mengenai Syahrini yang sedang dikerjakannya. “Apa maunya, sih?” ujarnya. Sedikit keras, sehingga membuat Luki mengangkat wajahnya. 

“Ada apa?” tanya lelaki yang duduk di seberang Lentera. “Berisik, tahu!”

“Tidak penting,” tukas Lentera sembari meletakkan ponselnya ke atas meja. Ia kembali menulis artikel yang sempat tertunda. 

“Aku sama sekali tidak mengerti isi pikiran laki-laki itu,” tukas Lentera tiba-tiba. Padahal dia sendiri berkata tidak penting, tetapi Lentera mulai terpancing dengan Gilang. 

“Siapa yang kau bicarakan?” sahut Deenar, yang kebetulan lewat ruangan mereka. Mata Lentera terbelalak, Deenar tiba-tiba muncul. “Artikel, sudah?” tanyanya pada Lentera. 

“Ah, ya, sori,” sahut Lentera,” sedikit lagi.”

“Bagus,” sahut Deenar. “Minggu besok, kau bisa menggantikanku ke acara Temu Media?” tambah Deenar. “Aku harus ke Nganjuk, keluarga besar sedang berkumpul.”

“Bandung?” tanya Lentera. Pertemuan beberapa media biasanya diadakan di berbagai kota dan itu diadakan setahun sekali. Kali ini, pertemuan tersebut akan diadakan di Bandung. 

“Ya,” ucap Deenar. “Bisa, kan?”

“Tapi ....”

“Harus kau yang menggantikanku, tidak ada bantahan, Ra.”

***

“Aku akan ke Bandung besok,” tukas Lentera ketika bertemu dengan Raka di indekosnya.

“Pekerjaan?”

Lentera mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. Raka duduk di sisi ranjang dengan bersandar pada dipan. Lelaki itu sedang sibuk menulis artikel traveling ke dalam blog pribadinya. Pekerjaan Raka tidak jauh berbeda dengan Lentera. Ia pergi ke berbagai tempat, mengabadikan, kemudian ia menuliskannya di blog pribadinya. Lentera pun melakukan hal serupa, tetapi bukan mengenai traveling. Perempuan itu lebih suka menulis mengenai hal-hal sederhana yang terjadi di sekitarnya atau mengenai topik-topik yang sedang happening, dan ia bicarakan melalui sudut pandangnya. 

Lentera mengalungkan kedua lengannya ke leher Raka, kepalanya ia letakkan pada bahu kiri kekasihnya itu. 

“Ya, menggantikan Deenar,” jawabnya. Lentera mendesah, sembari melihat ke arah layar laptop dalam pangkuan Raka. Lelaki itu sedang menulis mengenai perjalanannya ke Pulau Sumatera, sebelum pergi ke Thailand. Di Sumatera, lebih tepatnya di Indragiri Hulu, Riau, Raka menjadi sukarelawan untuk mengajar anak-anak di sana. “Apa yang kau ajarkan ke mereka?” tanya Lentera, setelah ia melihat foto yang dipajang Raka di blognya. Sebuah potret anak-anak yang berada di dalam kelas. 

Selain melakukan traveling untuk menjelajahi kota-kota, Raka juga suka mengikuti kegiatan sukarela seperti mengajar anak-anak di sekolah-sekolah yang jauh dari jangkauan. Lelaki itu memiliki jiwa petualangan tinggi, itu salah satu alasan Lentera tertarik padanya. Sayangnya, hobi kekasihnya itu, membuat mereka jarang bertemu. Karena sebagian besar waktu Raka, dihabiskan di luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. 

“Hal yang tak pernah mereka tahu,” jawab Raka. “Teknologi, internet, blog, dan bagaimana cara hal-hal itu bekerja.” Raka menoleh ke samping, ke arah kekasihnya berada. “Apa kau lapar?” tanyanya. 

“Aku ingin makan mi rebus, pakai daun bawang,” jawab Lentera. Raka terkekeh. Namun, lelaki itu segera menutup laptop dan meletakkannya di atas meja. “Kau akan membuatkanku mi rebus?”

Raka menggeleng. “Tidak. Kau yang akan membuatnya, aku akan keluar membeli camilan,” tukas lelaki itu sembari meraih kunci motor yang berada di atas meja. Raka mendekat ke arah Lentera dan mencium pipi perempuan itu. Kemudian, ia menghilang di balik daun pintu.

Lentera beranjak dari ranjang, menurunkan kaki-kakinya ke atas ubin, lalu berjalan mengambil tiga bungkus mi instan dari lemari kecil yang berada di kamar Raka. Dua bungkus mi instan tak akan cukup untuk mereka berdua, sehingga tiga bungkus adalah pilihan tepat. 

Dapur indekos Raka merupakan dapur umum yang berada di luar area kamar. Indekos ini terdiri dari satu bangunan dengan dua lantai. Kamar Raka berada di lantai dua, berada paling pojok. Dan di pojok lain, merupakan dapur umum. 

Lentera sudah sering datang ke sini, terutama ketika pulang kerja dan kebetulan Raka sedang berada di indekos. Sehingga, dia juga sering masak mi rebus di dapur umum. Kebanyakan penghuni indekos laki-laki pekerja, beberapa kamar di lantai atas merupakan kamar laki-laki dan perempuan lajang dan di lantai bawah adalah kamar untuk indekos keluarga. 

Sesampainya di dapur umum, Lentera mendapati seorang lelaki yang sedang membuka lemari yang tergantung di atas. Lelaki itu memunggungi Lentera. Lentera tidak hafal siapa saja yang indekos di sini, tetapi ia bisa menebak lelaki tersebut bukan penghuni indekos. Pada meja dapur, Lentera melihat dua gelas bening kosong dan dua minuman sachet di sebelahnya. Nampaknya, lelaki itu sedang mencari-cari teko. 

“Teko berada di lemari sebelah kiri,” tukas Lentera, santai. Dia yakin lelaki itu mencari teko untuk memasak air. Lelaki itu mencari-cari teko pada ruang lemari sebelah kanan. Meskipun bukan penghuni indekos, Lentera hafal di mana saja letak perabotan dapur di dapur umum ini. Bahkan, dia hafal letak bumbu dapur dan sayuran di dalam lemari pendingin. 

Tanpa menoleh ke arah Lentera, lelaki itu menyahut, ”Tidak ada.”

“Ada,” Lentera bersikukuh. Dia meletakkan mi instan yang dibawanya dari kamar Raka ke atas meja, kemudian membuka lemari pada sisi kiri, mencari teko yang dicari lelaki di sebelahnya. Lelaki itu benar, dia tidak menemukan teko berwarna silver yang mulai penyok itu. “Ternyata tidak ada.”

“Sudah kubilang,” sahut lelaki itu sembari melihat ke arah Lentera. “Lentera?” tanyanya, ragu-ragu, setelah melihat ke arah perempuan di sebelahnya. 

Lentera menoleh dan cukup terkejut, “Kau?” tentu, nadanya sedikit tidak percaya karena lelaki yang mencari teko itu adalah Gilang. Yah, Gilang lelaki yang akan dijodohkan dengannya. “Kau membuntutiku?” tuduhnya. Dari banyak kemungkinan, bertemu Gilang di tempat seperti ini tak pernah ada di benak Lentera. Gilang sebagai pemilik Lentera Media, tidak mungkin indekos di tempat seperti ini. 

Ditodong seperti itu, Gilang tertawa keras. “Bisa-bisanya, ya, kau menuduhku seperti itu?”

“Lalu, kenapa kau berada di sini?” dahi Lentera mengkerut. Bisa-bisanya dia bertemu kembali dengan Gilang. 

“Haruskah aku jawab?”

“Ya,” sahut Lentera cepat. “Agar tidak ada salah paham.”

“Agar tidak ada salah paham,” Gilang membeo.  Ia mendekap kedua tangannya di depan dada. “Salah satu temanku tinggal di sini.”

“Oh.”

“Oh?”

“Sori,” tukas Lentera agak menyesal. 

“Dan, kau?”

“Apa?”

“Kenapa ada di sini? Kau membuntutiku?” kini, Gilang menautkan kedua alisnya dengan sengaja. Mengembalikan keadaan. 

“Buat apa?” tanya Lentera, hampir berteriak. “Kekasihku tinggal di sini,” jawab Lentera, akhirnya. Suaranya merendah. 

“Oh, jadi kekasihmu indekos di di sini,” ucap Gilang, memperjelas kalimat Lentera. “Kebetulan sekali.”

“Begitulah,” ucap Lentera. 

“Lalu, ke mana dia? Di kamarnya?”

“Keluar, beli camilan,” jawab Lentera. Dia melihat ke arah dua gelas bening di atas meja, sebelah Gilang. “Jadi, kau akan membuat kopi.”

“Ah, iya,” seru Gilang. “Sebenarnya, aku tidak terlalu suka kopi. Tapi, temanku hanya punya kopi.” Gilang bercerita.  “Jadi, di mana tekonya?”

“Entahlah,” sahut Lentera. Dia kembali mencari-cari teko tersebut di lemari atas, kemudian di bagian bawah. Teko itu, tetap tak ditemukannya. “Mungkin sudah dibuang.”

“Kenapa begitu?” tanya Gilang, penasaran. 

“Terakhir aku lihat, teko itu sudah penyok,” jelas Lentera. Dia mengambil panci kecil dari lemari. “Pakai ini saja.” Dia mengacungkan panci tersebut ke atas. Lalu, dia mengambil air di galon umum. “Kau bisa mengambil airnya untuk membuat kopi. Setelah itu, aku akan memakainya untuk merebus mi.”

“Oke, terima kasih.”

Lentera dan Gilang bersandar pada sisi meja, sembari menunggu air pada panci di atas kompor mendidih. Keduanya saling diam, kemudian Gilang berkata, “Nampaknya, kau sering datang ke sini. Kau bahkan tahu di mana letak teko dan bagaimana keadaan teko tersebut. Seakan-akan, kau yang tinggal di sini.”

“Ya,” sahut Lentera. “Cukup sering.” Dia mendekat ke arah Gilang, meraih dua gelas di sisi lelaki itu. “Biar aku bantu,” ucapnya. Gilang hanya mengangkat bahu. 

Lentera menyobek kemasan kopi sachet yang dibawa Gilang, kemudian menuangkannya ke salah satu gelas. Dia melakukan hal serupa pada gelas kedua. Lalu, dia mengambil dua mangkuk dalam lemari dan menyobek mi instan yang dibawanya. 

“Apa kau tidak merasa, tidak enak hati?” tanya Gilang, dia melihat ke arah Lentera yang sedang sibuk dengan mi instannya. 

Lentera menoleh. “Kenapa harus?”

Gilang melihat ke arah Lentera langsung. “Aku calon suamimu dan kau sedang berada di indekos laki-laki, malam-malam seperti ini.”

Lentera tergelak. “Yang benar saja? Aku belum menyetujuinya!” Dia mendesah. “Bercanda saja, kau ini.”

“Pada kenyataannya, kita memang dijodohkan,” goda Gilang. Ia hanya ingin tahu, bagaimana reaksi Lentera. Perempuan di hadapannya ini, begitu lucu. Gilang suka menggodanya. “Jadi, apa pekerjaan dia?”

“Travel Blogger,” jawab Lentera. “Dia juga punya agen perjalanan,” tambahnya. Lentera mendesah. “Seluruh hidupnya, dihabiskan dalam perjalanan.”

Lentera meraih panci yang berisi air panas yang sudah mendidih. Menuangkan ke dalam dua cangkir kopi untuk Gilang. “Cukup?” tanyanya. Gilang mengangguk. Kemudian, ia meletakkan kembali panci tersebut ke atas kompor. 

Lentera memasukkan tiga mi instan ke dalam panci, menyiapkan dua mangkuk dan meracik bumbu mi instan. Ia melakukannya dengan cekatan, tanpa peduli Gilang memperhatikannya sedari tadi. 

“Meskipun kau memperhatikanku terus menerus, hal itu tidak akan mengubah keputusanku,” ucap Lentera. Dia melihat ke arah Gilang sekilas. Lelaki itu tersenyum. “Kau paham maksudku; aku tidak mau menikah denganmu.”

“Jangan secepat itu mengambil keputusan,” balas Gilang. 

“Karena aku tahu, siapa yang aku mau,” sahut Lentera. Dia membagi dua mi instan dari dalam panci ke dalam mangkuk. 

Gilang menarik sudut bibirnya, meraih dua gelas kopi yang dibuatkan oleh Lentera. “Terima kasih untuk kopinya,” ucapnya. Lentera mengangguk. Sebelum Gilang keluar dari dapur umum itu, dia berkata, “Aku menulis pesan di buku catatanmu.”

“Apa?” Lentera menoleh. 

“Buku catatanmu. Aku menulis pesan di sana.”

Gilang menghilang di balik tembok. 

***

“Kau sudah kembali?”

Lentera meletakkan dua mangkuk mi instan ke atas nakas, dekat ranjang Raka. Kekasihnya itu sedang membuka beberapa camilan yang baru dia beli dari minimarket terdekat. 

“Kau lama sekali,” ucap Raka. 

Lentera hanya tersenyum. Mengambil satu mangkuk mi instan dan diberikannya pada Raka. Ia sama sekali tak ingin bercerita mengenai pertemuannya dengan Gilang. Entah kenapa. 

Mengingat mengenai Gilang, Lentera teringat dengan ucapan lelaki itu tadi. Dia segera bangkit dan mencari tas miliknya dan mengambil buku catatan. Dia mencari-cari yang dimaksudkan oleh Gilang. 

“Ada apa?” gerakan Lentera yang tiba-tiba, membuat Raka penasaran. Lelaki itu bangkit dari duduknya, meletakkan piring mi instannya dan menghampiri Lentera. 

Pada tepi buku catatan Lentera, tertulis dua kata. Raka meraih buku tersebut dan membacanya.

“Milik Gilang.”