Try new experience
with our app

INSTALL

LOST (TAMAT) 

Lima

Selalu ada hal yang bisa dipelajari dalam setiap pertemuan ...

-untuk setiap pertemuan yang terjadi-

Menit merajut mimpi menjadi hitungan jam. Lalu ia meretas sepi, hingga minggu demi minggu berlalu dalam balutan bulan.

Daisy semakin kurus. Wajahnya tampak tirus, dan lingkar matanya menghitam. Kerutan lelah menggores wajah manisnya. Berkali-kali ia bolos dari kampus. Berulang kali pula ia nyaris tak diizinkan masuk oleh dosen-dosennya.

Segala hal berkecamuk di benak Daisy. Segala rasa bercokol di hatinya. Kabar terakhir yang diterima Daisy dari Nicko, Ibunya sedang mengandung calon saudara tiri mereka. Daisy hanya mampu mengatakan ‘semua akan baik-baik saja’ pada Nicko. Kalimat yang selalu membuatnya memaki dirinya sendiri tiap kali mengucapkannya. Ia tahu, dengan adanya calon bayi itu, segala hal akan memburuk. Semua akan kembali dijungkir-balikkan oleh hidup.

Mendekati akhir semester, Daisy mendapati dirinya kian tersungkur di jurang luka. Meski dengan terseok-seok, ia tetap melangkah. Walau harus tertatih, ia terus mencoba.

"Daisy, besok ujian Farmakologi. Kita masuk jam delapan. Aku nggak mau kau terlambat lagi," ucap Luna memberitahu Daisy.

Langit merambat kepekatannya. Dingin kian menggigit. Malam sudah sangat larut untuk belajar, belum lagi Daisy baru pulang kerja dan kelelahan. Hal itu sangat mustahil dilakukannya.

"Gimana kalau aku terlambat?" tanya Daisy pasrah. Dia merebahkan tubuhnya, menghela napas lelah penuh ketakutan. Jelas ia tak ingin terlambat. Namun, apa yang bisa dilakukannya jika memang dia kesiangan.

"Maka kau nggak boleh melakukannya." Luna menimpali dengan mantap.

Daisy menatap lekat gadis yang ada di hadapannya. Sebuah senyum kecil terulas di wajahnya. "Terima kasih, Luna." Daisy menceracau ke topik yang diketahui Luna, bahwa itu tidak ada hubungannya dengan ujian besok.

Luna mengernyitkan dahinya. "Terima kasih untuk apa?"

"Terima kasih telah menyadarkanku, kalau aku nggak sendirian di dunia ini." Daisy mengulas senyumnya.

Luna terharu. Jarang sekali ia melihat Daisy mengungkapkan apa yang dirasakannya. Biasanya, gadis itu akan memilih menyimpan rapat-rapat apa yang dirasakannya. Hingga akhirnya, ia akan kebingungan sendiri saat ingin mengungkapkannya. 

Luna memegang pundak Daisy. "Terima kasih juga, udah mengajariku ketegaran. Kau gadis yang hebat, Daisy."

Daisy tersenyum. "Kita sama-sama belajar. Selalu ada yang bisa kita pelajari dalam setiap pertemuan."

Luna merengkuh Daisy. Ia merasa benar-benar memiliki sahabat sekaligus saudara yang begitu baik, yang meski begitu pedih, namun tak pernah mengeluh barang sekali pun. Itu yang disukai Luna dari Daisy.

Dan seperti yang dikatakan Daisy, selalu ada yang bisa dipelajari dalam setiap pertemuan. Bukankah selalu ada hal baru dalam setiap pertemuan? Seperti pertemuannya dengan Luna, yang mengajarkannya arti kepedulian. Seperti pertemuan mendung dan hujan, yang mengajarkannya keikhlasan. Keikhlasan untuk melepaskan, melebur kelam, meluruhkan air-air langit yang selanjutnya meniadakan mendung.

****

Dosen pengawas Ujian Akhir Semester USU memasuki ruangan. Dengan wajah sangarnya, ia membanting soal ujian di meja.

Suasana riuh yang sejak tadi menjejali ruang kelas, mendadak hening. Pak Karjono memang terkenal sebagai dosen terkejam. Jangan berharap bisa membuka kertas kopekan, menolehkan kepala ke teman sebelah pun tak akan bisa.

Luna menggigit bibirnya. Daisy belum juga muncul. Padahal, sebelum ia berangkat, ia sudah memastikan gadis itu bangun dan bersiap ke kampus. Dan entah apa yang terjadi pada gadis itu, hingga wujudnya tak juga muncul.

"Simpan semua buku dan kopekan kalian! Atau dengan hormat, saya persilakan kalian keluar dari ruangan ini!" Pak Karjono berkacak pinggang di ambang pintu, seolah mempersilakan kepada mahasiswa yang ingin meninggalkan ruangan itu. Bukannya meninggalkan ruangan, salah seorang mahasiswi alih-alih memasuki kelasnya.

"Maaf, Pak," ucap Daisy dengan napas yang terengah.

"Darimana saja kau!" sergah Pak Karjono yang jelas sekali terlihat ia tak suka dengan keterlambatan Daisy.

Daisy menelan ludah. Ia menatap Luna, mengharap pertolongan gadis itu. 

"Pak," kata Luna seraya bangkit dari duduknya.

Pak Karjono menoleh.

"Maafkan Daisy. Tadi malam dia pulang sangat larut. Daisy akan berjanji tak akan mengulanginya lagi," tandas Luna.

Pak Karjono manggut-manggut penuh sepele. "Saya bertanya pada dia! Bukan padamu!"

"Pak, kami sekelas. Jadi, kami akan ujian hari ini, bersama-sama." Dion, teman sekelas Daisy dan Luna bangkit dari tempatnya. Ia mengedarkan pandangannya.

Satu per satu mahasiswa di ruangan itu bangkit, menyetujui ucapan Dion. 

Merasa kalah jumlah, Pak Karjono akhirnya mengizinkan Daisy masuk. 

Sekali lagi, Daisy merasa tersentuh. Hari itu, ia kembali menemukan orang-orang yang ternyata peduli padanya. Dan ia sadar, betapa dalam setiap diri seseorang, selalu ada peduli yang tertanam di dalamnya.

****

Hujan deras mengguyur Ibukota Jakarta. Lenguh klakson semakin memenuhi jalanan. Kilat bersambar petir membuat para pengguna jalan semakin tak sabar untuk tiba di rumah. Alhasil, kemacetan kian menjadi.

Sitta, Jeremy dan Anna sedang menyesap kopi hangat di ruang santai keluarga Jeremy. Di luar, hujan kian menderas bersama udara yang semakin mendingin, menjemput gigil dan gemelatuk gigi-gigi yang kedinginan.

"Jadi, bagaimana dengan pernikahan Chrissy dan Danar?" tanya Anna dengan senyum culasnya.

Sitta tersenyum segan. "Iya, maafkan anak saya—Danar. Dia belum pulang sampai sekarang."

Anna mengerang kesal. "Kamu kan orangtuanya, harusnya kamu tegaslah. Itu anakmu. Kamu bisa menyusulnya."

Chrissy menjawil lengan Anna. "Mom.." bisiknya pelan penuh sungkan. Ia sudah tak menginginkan perjodohan itu. Tidak, bahkan jika pun ia sangat mencintai Danar.

"Iya, Ann. Saya dan Sitta akan segera membawa pulang Danar. Kamu tenang saja." Jeremy berusaha meyakinkan.

Anna kembali mengulas senyum kemenangannya. Kepalanya sudah dipenuhi pikiran-pikiran tentang harta yang akan diperolehnya dari perjodohan itu.

****

Malam mengelamkan langit, menaburkan gemintang dan rembulan. Semu perak dari rembulan tampak indah menggantung di langit. Tanpa awan, gemintang berpendar dengan bebas.

Daisy menekuk lututnya, lalu memeluknya. Ia membenamkan wajahnya di antara sela lipatan tangannya. Sejak tadi, air mata menetes tanpa mampu ditahannya. 

Halte bus pintu empat USU sangat sepi. Jalanan begitu lengang. Hanya tersisa satu-dua pengguna jalan. Pun para penjaja cinta semalam yang tampak bersembunyi di antara keremangan malam, namun cukup jelas untuk ditemukan.

Semua kejadian akhir-akhir ini berlalu-lalang di kepala Daisy. Luka demi luka kembali merebak di hatinya. Ribuan rasa kembali menyesaki hatinya, mengobrak-abrik hidupnya tanpa ampun. Pertengkaran di rumahnya, perceraian orangtuanya, lengan selingkuhan bapaknya yang melingkar dengan mesra, kehamilan ibunya dengan bapak tirinya, dan yang terakhir—kejadian yang semakin menghancurkan hidupnya; IP Daisy menurun drastis, hingga ia di DO dari beasiswanya.

Keremangan malam itu, yang menyimpan segala sandiwara dan bahaya, tak lagi mampu menggertak Daisy. Kekalutannya jauh lebih akut daripada rasa takutnya. Tak ada yang ditakutkannya, ia begitu mengenal wilayah itu.

Pundak Daisy berguncang. Ia sesenggukan menahan tangisnya. Sesekali tangannya meremas baju yang dikenakannya, seolah berusaha menyalurkan kesesakan yang mendera hatinya. 

Seketika, saat Daisy tersadar, seorang lelaki sudah duduk di sampingnya. Ia sontak kaget dan menatap takut. Baru saat itulah ia menyadari ketakutannya. Daisy menggeser duduknya, sedikit menjauh lelaki di sampingnya.

"Daisy.." ucap lelaki itu lirih.

Daisy memandang sosok di sebelahnya penuh keheranan. Dia mengenaliku?

Lelaki itu tersenyum. "Jangan takut. Aku pengunjung Ulee Kareng. Kau ingat, kau pernah menyarankanku untuk mencoba kopi ulee kareng?"

Alis Daisy bertaut. Tampak ia sedang berusaha mengingat-ingat. Dan saat ia berhasil mengingatnya, bukannya merasa awas atas kedatangan lelaki itu, ia malah menopangkan dagunya di lipatan tangannya. "Mau apa ke sini?"

Lelaki itu mengangkat wajah Daisy yang tertekuk. Memandang matanya yang gelap, hingga ia merasa tenggelam di dalamnya, di dalam kesedihan gadis itu. "Kenapa kau menangis?"

"Apa urusanmu? Aku bahkan nggak tahu namamu."

Lelaki itu tersenyum. Senyum yang akhirnya disadari Daisy begitu... menenangkan. "Aku Danar."

Daisy memandang mata Danar. Dan di sana, ia menemukan sebuah cahaya, yang seolah menjelaskan padanya untuk percaya pada lelaki itu. "Kenapa di sini?" Daisy mengulangi pertanyaannya.

"Karena aku nggak mau melihat air mata menetes di wajahmu," sambar Danar seraya mengusap sisa-sisa air mata di sudut mata Daisy.

Seperti ada yang merasuk ke dalam hatinya, Daisy menemukan sebuah ketenangan saat Danar menyentuh pipinya. Baru kali ini, ia tidak berontak dan menerima kehadiran orang baru. Entah karena kekalutannya akan semua masalahnya, atau karena dia benar-benar merasa nyaman.

"Kakak.." Lirih, Daisy menyebutkan hal itu, memanggil lelaki di sampingnya dengan sebutan 'kakak'. Daisy seperti menemukan sosok yang selama ini dinantikannya, namun tak pernah berani untuk diharapkannya. Ia takut, sangat takut akan dikecewakan harapannya.

"Ya?" 

"Kenapa kakak peduli?" tanya Daisy.

Kali ini Danar yang merasa tergilas perasaan yang tak dimengertinya. Kenapa dia peduli? Pertanyaan itu berdengung di telinganya. Ia sendiri tak mampu menjawab pertanyaan itu. Pasalnya, tiap kali ia menatap Daisy, seolah ia berdiri di hadapan cermin. Dua manusia berbeda, yang memiliki luka dan kekalutan masing-masing. Dan tiap kali memandang gadis itu, Danar seolah tenggelam dalam kelam matanya. Bukan terjerumuskan, namun merumah. Ia merasa menemukan tempat untuk berpulang.

"Karena aku tahu kesedihan yang selalu menggantung di matamu, tiap kali kau tersenyum di kafe." Danar menatap dalam mata Daisy, tak takut sedikit pun jika ia harus tenggelam dalam kelam mata itu.

Daisy menangkap sorot mata lelaki itu. Sorot yang begitu meneduhkan, begitu peduli. Selama ini, tak ada yang peduli dengan senyum palsu yang diumbarnya saat melayani para pengunjung kafe. Bahkan ia yakin, tak akan ada yang peduli dengan kesedihan yang menggantung di matanya. Tapi, lelaki itu berbeda. Seperti Luna, dia juga peduli pada Daisy.

"Kau mau menceritakan masalahmu?" Danar menawarkan sebuah ruang yang siap menampung keluh gadis itu.

Daisy menunduk. Ada rasa yang tak dimengertinya. Ia ingin cerita pada lelaki itu, ingin meluapkan segala luka yang kembali menyayat-nyayat hatinya. Namun, bukan perangainya yang langsung percaya pada orang asing yang baru saja dikenalnya. "Aku nggak pernah cerita sama orang asing."

"Apa aku terlihat asing untukmu?" 

Daisy tercenung. Ia menimang-nimang pertanyaan Danar. Kembali, ia menatap dalam mata lelaki itu. Tapi semakin ia menatap, semakin ia merasa mengenal sosok di sampingnya itu. "Aku kehilangan segalanya," kata Daisy akhirnya seraya membuang jauh tatapnya dari Danar.

"Kehilangan apa?"

Daisy menghela napas berat. Pun tak sedikit bebannya berkurang. Ia ingat dengan jelas saat membuka portal. Ia masih tahu deretan nilainya yang nyaris rata kanan, yang artinya hanya di sekitar nilai C dan D. Belum lagi saat ia tahu, IP-nya turun menjadi 2,08. Lagi, Daisy menyalahkan semuanya pada hidup. Ia memaki kedua orangtuanya yang sudah membuat hidupnya remuk tak bersisa. Air mata kembali menetes di pipi Daisy. Tak tahu harus ke mana ia melarung segala rasa yang berkecamuk.

"Ceritalah, setidaknya itu akan mengurangi bebanmu sedikit." Danar kembali menawarkan kebaikannya pada Daisy.

"Aku di drop out dari beasiswa. Aku nggak tahu, semester depan harus dengan apa aku melanjutkan kuliah," terang Daisy memulai ceritanya.

Danar mengernyitkan dahinya. "Orangtuamu? ..."

"Sudah bercerai," timpal Daisy sebelum Danar sempat melanjutkan kalimatnya. Ia kembali menekuk lututnya, dan memeluknya. "Aku menyaksikan dengan mataku sendiri saat Bapakku berselingkuh dengan wanita lain, dan Ibu menuntut perceraian. Nggak butuh waktu tiga bulan, Ibu menikah lagi. Aku nggak bisa menerima semua hal itu, aku nggak bisa menerima orang-orang baru di hidupku. Malam itu, aku memutuskan untuk pergi dari rumah."

Gelombang masa lalu penuh luka itu kembali menghantam Daisy. Ia memejamkan mata, menahan perih yang mengiris-iris hatinya.

"Aku terpaksa meninggalkan adikku, Nicko. Aku nggak bisa membawanya bersamaku. Untuk mengurus diriku sendiri saja, aku nggak bisa. Aku mulai kelelahan menjalani hidupku. Perlahan aku mengabaikan kuliahku. Dan, hasil UASku kemarin, benar-benar buruk..

“Sejak saat itu, aku nggak pernah mempercayai cinta. Orangtuaku nggak pernah mengajarkannya. Yang kutahu, cinta hanya perasaan sesaat yang saling menyakiti. Cinta hanya sebuah makian, kebencian, dan air mata. Pernikahan apalagi? Hanya kalimat mainan di depan saksi. Setelah menemukan seseorang yang lebih dalam segala hal dari pasanganmu, kau akan berselingkuh. 

“Aku kehilangan segalanya. Termasuk kepercayaanku,” tandas Daisy.

Daisy mengusap air matanya yang sempat kembali menetes. 

Danar menyentuh bahu Daisy, sangat hati-hati. Ia mengusap bahu gadis itu, berusaha memberinya kekuatan.

"Berapa uang kuliahmu?" tanya Danar dengan nada yang sangat meyakinkan. 

Daisy menyeret tatapannya, menjatuhkan fokusnya di hadapan lelaki itu. Apa maksudmu?

Danar tersenyum. "Kau gadis yang tegar. Kau akan tetap kuliah, aku akan melunasi semuanya."

Daisy menganga tak percaya. Lihatlah betapa lelaki itu membuatnya ingin menangis. Bukan karena bersedih, tetapi karena ia terharu. Baru berapa menit mereka berbincang? Dan lelaki itu berkata dengan tulus, menawarkan tangan yang siap memeganginya saat ia akan terjatuh. Danar tulus. Itu yang ditangkap Daisy dari tatapannya. Karena, tatapan tak akan pernah berbohong, saat mulut berkilah kebohongan.

"Kau... Apa yang harus kulakukan jika Kakak melunasi semua itu?" Daisy masih membantah hatinya yang telah percaya. Logikanya masih menyerukan ketidakmungkinan seseorang menawarkan kebaikan sebegitu besar, hanya dalam sekejap dan tanpa imbalan yang seharga dengan kebaikan itu.

Danar kembali mengulas senyum. Senyum yang mampu membuat detak jantung Daisy menjadi tenang. "Aku hanya minta dua hal. Pertama, jalani hidupmu dengan baik. Kuliah yang benar. Kedua, jangan pernah menangis lagi."

Lihat betapa Tuhan telah mengirimkan malaikat pada Daisy. Malaikat yang mungkin telah dihukum untuk kehilangan sayapnya. Daisy merasakan ketenangan yang teramat. 

"Kenapa Kakak melakukan semua itu?"

"Karena terkadang, orang asing terasa begitu dekat dengan kita. Seperti sekarang, saat aku merasa telah begitu lama mengenalmu. Anggap saja, aku teman lamamu yang ingin membantu," tutur Danar. 

Rentetan kalimat itu selanjutnya dibenarkan oleh Daisy. Betapa tidak? Ia sadar betapa nyamannya berada di sisi Danar. Siapa dia? Meski orang asing, tapi rasanya sangat dekat.

Daisy tersenyum. Setetes air mata kembali bergulir. "Makasih ..."

Danar mengusap air mata itu, memandangi Daisy dengan penuh kasih, selayaknya memandang adik kecilnya yang begitu rapuh. "Sudah kukatakan, jangan menangis lagi."

Detik selanjutnya Daisy telah jatuh dalam rengkuhan hangat Danar, yang perlahan melunturkan kedinginan yang menggigilkan. Rintik gerimis turun perlahan, membuat malam semakin indah. Baru kali itu Daisy merasa begitu nyaman. Berada dalam pelukan Danar, seperti pulang ke rumah yang begitu dirindukannya. Kepedulian Danar, merumahkan Daisy yang tersesat dalam peliknya hidup.

Seperti kata Danar, terkadang orang asing terasa begitu dekat. Bagaimana tidak? Keluarganya sendiri bersikap impulsif. Bertingkah seolah-olah mereka orang asing. Keluarga bukan jaminannya untuk merasa nyaman. Tapi rumah, tetap saja akan menguarkan kerinduan, meski ditinggalkan dengan alasan pahit.