Try new experience
with our app

INSTALL

Istri Pertama Suamiku 

01. Suami Idaman?

“Aku minta maaf.”  
Jemari lentik itu berhenti mencari pengait kalung di belakang leher. Ia menatap pantulan wajah sang suami dari cermin. “Mas,” desahnya protes. 
Faris memeluk istrinya—Maya, mendaratkan satu kecupan nakal di ceruk leher jenjang nan indah milik Maya. 
“Seharusnya aku enggak ajak kamu. Apalagi itu acara tujuh bulanan. Pasti ada yang nyindir-nyindir kita,” sambung Faris. 
Maya mengurai dekapan suaminya lantas berbalik. “Aku enggak merasa tersindir, kok, Mas.” 
“Aku semakin enggak enak karena kamu enggak tersinggung, May.” 
Maya tersenyum. Pernikahannya sudah masuk usia ke delapan. Sudah delapan tahun lamanya Maya menanti kedatangan sang buah hati dan di tahun ini, Maya sudah pasrah karena suaminya pun enggan untuk melakukan inseminasi buatan atau bayi tabung. 
Faris merasa tersinggung bila Maya membahas tentang mendapatkan anak melalui proses bayi tabung. Maya tidak mau bertengkar soal urusan yang tidak ada ujungnya itu. Maya enggan merecoki isi kepala dengan hal-hal yang akan membuatnya benci atau malah tidak bersyukur karena mendapat suami luar biasa seperti Faris. 
Pernikahan mereka memang atas dasar perjodohan, tetapi bukan berarti Maya mendapatkan perlakuan buruk dari Faris. Maya bahagia, sangat bahagia karena Faris selalu meratukan dirinya. 
“Ibu juga ngerti kalau kita enggak datang. Ibu enggak akan marah.” 
Maya kembali duduk di kursi rias, melanjutkan membuka kalung serta anting-anting. Ia berniat membersihkan diri lalu tidur. “Kamu itu anak satu-satunya ibu, Mas. Ibu memang enggak akan bilang apa-apa, tapi aku tahu kalau ibu pasti pengennya kamu ada di setiap acara keluarga, Mas.” 
“Tapi aku enggak suka kalau kamu jadi bahan gunjingan. Persoalan anaklah, biarlah itu jadi hadiah dari Tuhan. Kita berdoa yang terbaik.” 
“Mas, tapi kita belum optimal berikhtiar.” 
“Sampai kapanpun, ide bayi tabung enggak akan ada di dalam kepala aku.” 
Maya menarik napas dalam-dalam, meletakkan kalung di dalam kotak lantas bangkit menuju kamar mandi. “Kalau begitu, perbincangan kita selesai, Mas.” 
Faris memandangi punggung Maya sebelum akhirnya Maya masuk ke kamar mandi. Ia melepaskan kacamata lalu duduk di kursi yang ditinggalkan Maya. Berkali ia mengusap wajah, memijat lembut ujung batang hidungnya. 
Sesungguhnya, Faris benci melihat Maya sekaligus lega karena istrinya itu kokoh seperti batu karang. Di awal-awal pernikahan memang Maya sering sekali membujuk Faris untuk ke dokter kandungan, ikut terapi ini dan itu, tetapi lama kelamaan nampaknya Maya jengah sendiri karena Faris menolak semua perawatan. 
Malam itu, dilewati keduanya dengan tidur saling memunggungi. Saling diam hingga pagi menjelang. 
Maya menyiapkan seragam kerja Faris kemudian memasak sarapan. Senyumnya menyambut Faris yang keluar dari kamar. 
“Nasi goreng?” 
Maya mengangguk, membalik piring Faris, menyendok nasi goreng juga telur dadar lantas menuangkan sedikit kecap di atasnya. “Makan, Mas.” 
“Terima kasih.” 
Maya duduk menatap Faris yang mulai menyantap makanannya. “Kamu enggak makan?” 
“Aku enggak mau makan berat, takut mual.” 
“Oia, aku lupa. Hari ini kamu jadi pergi sama teman-teman?” 
Maya mengangguk. “Iya. Jam sembilan nanti dijemput Arya. Enggak apa-apa, 'kan?” 
Setelah menikah, Maya memang membatasi pergaulannya dengan lawan jenis. Meski Faris tidak pernah memberikan larangan, Maya selalu berpikir kalau itu adalah satu upaya menghargai Faris sebagai seorang suami. 
“Ya enggak apa-apa. Selain sahabat kamu dari sekolah bahkan sampai kuliah, Arya juga teman sekantor kamu. Masa aku larang.” 
“Kamu enggak cemburu apa, Mas?” 
“Cemburu?” Faris tertawa lantas menyeka bibirnya dengan tisu lalu bangkit, mengambil tas di meja lalu mengecup dahi Maya. 
“Kok tertawa sih, Mas?” 
“Aku kenal Arya, aku juga percaya sama kamu. Buat apa aku cemburu. Salam buat teman-teman kamu, ya? Nanti sore pulangnya aku jemput. Acaranya di rumah teman kamu di Cibubur, 'kan?” 
“Iya. Hati-hati, Mas.” 
Maya mengekori langkah Faris. Memperhatikan suaminya masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil itu meninggalkan pelataran rumah. Maya memang tidak mengenal Faris sampai mereka menikah. Hari akad adalah hari pertama pertemuan mereka. Maya tidak tahu apakah memang Faris adalah tipe lelaki yang benar-benar bisa percaya pada istrinya. Terkadang, Maya ingin tahu bagaimana rasanya dicemburui oleh seseorang. 
*** 
“Sudah dibalas pesannya?” Wanita yang tengah memoles tipis pemulas bibir itu bertanya tanpa melirik Maya. 
“Belum,” jawab Maya sekali lagi memeriksa ponselnya. 
“Memangnya si Faris kalau kerja hari Sabtu selalu sudah dihubungi?” tanyanya lagi. 
Maya diam, ia melirik Arya yang berada di kursi pengemudi. 
“Kenapa kamu jadi ngeliatin aku? Emangnya jawabannya ada di aku?” celetuk Arya ketika sadar akan tatapan Maya. 
Dua orang wanita yang duduk di kursi belakang, Vania Saras dan Titi Khaerun terkikik. 
“Padahal dulu, aku pikir kalian itu bisa pacaran, loh,” seloroh Titi yang kemudian menyikut pinggang Vania, minta untuk ditanggapi. 
“Ho'oh, aku juga kira kalian bisa berjodoh. Ya, minimal pacaran begitu.” 
“Tapi kayaknya susah, sih. Yang satu terlalu takut ditolak, yang satunya enggak peka,” timpal Titi. 
Maya memalingkan wajahnya ke jendela mobil. Dulu, ia memang pernah mendengar selentingan kalau Arya menyimpan rasa padanya, tetapi Maya enggan untuk mencari tahu toh ia juga sudah di jodohkan. 
“Kenapa jadi pada ngelantur kemana-mana, sih? Ini jadinya gimana? Jadi ke Puncak, enggak?” tanya Arya. 
“Aku mah oke. Kamu gimana, May? Kita enggak lama, kok. Paling sebelum Maghrib kita sudah turun. Nanti ketemuan di tengah aja sama suami kamu,” saran Vania. 
“Mas Faris belum kasih jawaban. Dia tahunya kita pergi ke Cibubur saja.” 
“Jadi gimana?” 
Vania menatap Titi. Perjalanan ini jarang bisa dilakukan berempat dengan personil lengkap. Terlebih Maya yang memang sulit diajak keluar. 
“May, ayolah, sebentar saja. Kita foto-foto di kebun teh saja,” bujuk Vania lagi. 
Maya menimbang sebentar kemudian menoleh ke belakang. “Janji hanya sebentar?” 
Titi dan Vania kompak mengangguk. “Iya, janji,” jawabnya serempak. 
“Ya sudah, ayo.” 
Arya ikut tersenyum ketika Vania dan Titi bersorak kegirangan. Mobil yang dikendarainya melesat lebih cepat di jalan tol. Hingga keluar di tol Ciawi lantas menanjak menuju Puncak. 
Tiba di salah satu tempat wisata, Vania dan Titi berlari terlebih dahulu, Maya dan Arya berjalan pelan di belakang, menikmati hamparan kebun teh yang terbentang dari kanan ke kiri. 
“Aku sama keluarga jarang ke sini, suasananya beda sekali kalau kita pergi bersama teman-teman,” ujar Vania. 
Titi merangkul lengan Vania. “Beruntung kita punya suami yang mau ikut bantu jaga anak. Kita foto-foto di sana, yuk?” ajak Titi menunjuk ke semak pohon teh. 
Maya mendekap dirinya sendiri. Hari ini ia memakai pakaian lumayan tipis karena berpikir akan lebih nyaman bergerak di tengah cuaca panas, tetapi rencana tak terduga Vania membuatnya harus kedinginan. 
“Ini.” 
Maya menoleh, dilihatnya Arya melepaskan jaketnya. “Enggak usah.” 
“Pakai saja, enggak apa-apa.” 
Maya mengambil jaket yang digenggam Arya, menyampirkannya ke bahu. “Terima kasih.” 
“Faris sudah balas pesan kamu?” 
Maya berjalan mengikuti langkah Arya. “Belum.” 
“Mungkin sedang sibuk.” 
Maya mengangguk. “Iya. Sibuk.” 
Sibuk? Di hari Sabtu?  
Keduanya terdiam. Udara dingin menerpa pipi Maya dan Arya. Memaksa mereka untuk berjalan lebih dekat. 
“Titi benar.” 
Maya menoleh. “Benar apanya?” 
“Soal aku yang takut ditolak.” 
Maya terdiam, rasa hangat yang naik seirama dengan debar jantung yang meningkat membuatnya sesak. “Maksudnya?” 
“Aku suka—“ 
“May! Maya!” 
Suara teriakan Titi memutus kalimat Arya, wajahnya yang panik membuat Maya refleks ikut berlari mengikis jarak antara dirinya dan Titi. 
“Su-sumpah! Kamu yakin suami kamu sedang bekerja?” tanya Titi yang berusaha sekuat tenaga mengatur napasnya. 
“Kamu kenapa?” 
“Ih, jawab! Kamu yakin kalau Faris kerja?” tuntut Titi tidak membiarkan Maya memberikan jawaban selain menjawab pertanyaannya. 
“Iya, kenapa, sih?” 
“Sini! Ikut aku!” 
Genggaman tangan Titi semakin erat menyeret Maya melewati jalan setapak yang diapit semak teh. 
“Mau ke mana, sih, Ti? Sakit!” 
Langkah Titi mendadak berhenti. 
“Itu! Lihat suamimu!”