Contents
Aldebaran, My Love - The Sequel
Chapter 1
Sepeninggal Aldebaran, Andin merangkak naik ke tempat tidur yang berantakan, berbaring di sisi kasur yang ditiduri Al sebelumnya, dan tidak bangun dari sana. Matanya menatap kosong ke tembok di depannya, merasa mati rasa. Andin bertanya-tanya bagaimana mungkin jantungnya masih bisa berdetak sementara hatinya terasa begitu sakit. Bagaimana mungkin kesedihan mendalam atas kehilangan Al tidak membunuhnya?
Dalam kondisi setengah sadar, Andin mendengar suara-suara di dalam kamarnya.
"Ya Allah Mbak Andin … Mbak Andin kenapa?" Andin merasakan seseorang menempelkan tangan ke bagian dahi dan pipinya. "Mbak Mirna! Ini Mbak Andin kenapa bisa begini?"
"Ga tau. Pak Bos ga bilang apa-apa." Samar-samar Andin mengenali suara Kiki dan Mirna, asisten rumah tangga mereka. "Dia cuma minta kita datang kesini buat cek keadaan Andin."
"Mbak Andin, Mbak Andin bisa dengar Kiki? Mbak Andin kenapa?" tanya Kiki khawatir, kembali berusaha menyadarkan Andin.
Andin tidak merespon.
"Disini ada Kiki sama Mbak Mirna. Mbak Andin belum makan malam, kan? Ayo makan dulu ke bawah," bujuk Kiki, tapi Andin tetap tidak merespon.
Kiki mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar dan emosinya tersulut melihat kamar yang berantakan, pecahan kaca yang berserakan di lantai dan Andin yang terbaring tak responsif di atas tempat tidur.
"Mas Al benar-benar keterlaluan, Mbak Mir! Tega banget ngelakuin ini semua ke Mbak Andin," kata Kiki marah.
"Jangan negative thinking dulu," balas Mirna, mencoba menenangkan Kiki. Mirna menggenggam tangan Andin dan membelai rambutnya tapi Andin tidak menunjukkan reaksi apa-apa. "Tapi kok Andin diam aja ya, Ki? Apa perlu di bawa ke rumah sakit?" tanya Mirna, mulai khawatir melihat keadaan Andin.
“Kita telpon Mbak Michi aja, Mbak Mir. Dia kan dokter, jadi bisa periksa Mbak Andin.”
“Ide bagus, Ki.”
Tanpa berlama-lama, Mirna langsung menghubungi Michi sementara Kiki bergerak merapikan kamar dan membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai sambil bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi kepada majikannya tersebut.
~~~
Aldebaran tidak pulang malam itu.
Hari berlalu dengan sangat lambat dan Andin semakin mengkhawatirkan suaminya yang tidak kunjung kembali. Andin terus mencoba menelepon dan mengirimi Al pesan tanpa hasil sampai akhirnya Andin mendengar kabar dari Rendy, asisten pribadi suaminya, yang memberitahukan bahwa suaminya sudah berangkat ke Singapore untuk menghadiri Business Conference selama beberapa hari.
Andin mengalami depresi selama Aldebaran pergi. Michi mengatakan Andin menujukkan gejala depresi katatonik yang mengakibatkan tubuhnya tidak responsif yang biasanya disebabkan trauma psikologis karena kehilangan orang yang dicintai. Michi menyarankan agar Andin menemui psikolog atau psikiater untuk membantunya namun Andin tidak punya energi untuk melakukan apa pun tanpa suaminya di sisinya.
Kata-kata yang dilontarkan oleh Al sebelum pergi, selalu bergema dibenaknya dan terus menghantuinya. Hari-harinya berlalu dengan sangat pelan dan setiap hari Andin meyakinkan dirinya bahwa Al pasti akan menghubunginya—paling tidak untuk menanyakan kabar calon bayi mereka—tapi ketika Andin naik ke atas tempat tidur malam hari, dia menangis sampai terlelap karena hari itu berakhir tanpa kabar dari suaminya.
Orang-orang di sekililingnya cemas. Mirna dan Kiki merasa sangat cemas ketika Andin tidak keluar kamar seharian. Dan ketika mereka berhasil membujuknya untuk makan, mereka akan berusaha keras untuk membuatnya tertawa. Andin ikut tertawa bersama mereka tetapi ada lubang besar dalam dirinya sejak kepergian Al yang tidak bisa dia tutupi. Satu-satunya hal yang membuatnya lega adalah mama Rossa yang sedang berada di Penang untuk menghadiri acara keluarga. Jika tidak, Andin tidak akan sanggup berpura-pura tegar di depan ibu mertuanya itu.
Andin sangat merindukan Aldebaran. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama setiap hari sejak menjalin hubungan dan Andin sudah sangat terbiasa dengan kehadirannya, senyumnya, suaranya. Andin sangat terluka ketika Al tidak kunjung menghubunginya tetapi di saat yang sama Andin juga tidak berani menghubungi Al lebih dulu. Andin tidak bisa menghitung berapa kali dia hampir saja menekan tombol call di ponselnya untuk menelepon Al—untuk mendengar suaranya, menanyakan kabarnya, atau hanya sekadar menyapa—tetapi Andin tidak berani.
Selain mengirim chat untuk memberikan nomor kontak dokter kandungan terbaik pilihannya diikuti dengan kalimat I'll talk to you in a couple of days, Andin belum mendengar kabar dari Aldebaran. Andin tahu saat ini suaminya pasti sangat membencinya dan satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan Andin sekarang adalah bayi yang sedang dikandungnya.
Andin menjalani hari-harinya dengan memaksa dirinya untuk bekerja, check-up rutin ke dokter kandungan, tersenyum dan tertawa pada saat yang tepat dan bangun setiap pagi untuk menghadapi hari baru. Andin mencoba mengabaikan betapa hampa hidupnya tanpa Al. Hari-harinya terasa kabur dan tidak ada hal yang jelas baginya selain rasa sakit yang berdenyut tanpa henti. Andin tampak semakin kurus dan kurang tidur.
Ketika akhir pekan tiba, hari keempat setelah kepergian Aldebaran, Andin merasa sangat bahagia sekaligus gugup karena menurut informasi dari Rendy, Aldebaran akan pulang malam itu. Sudah empat hari sejak Aldebaran meninggalkannya. Empat hari tanpa bicara. Empat hari bagi mereka untuk berpikir jernih dan merenungkan masalah mereka. Dan empat hari yang tak tertahankan bagi Andin karena dia sangat merindukan suaminya.
Mimpi buruk menghantui Andin malam itu, dengan bayangan Al yang terbaring bersimbah darah di lantai. Darah menyebar kemana-mana, menodai tangan dan pakaian Andin sementara dia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan Al. Mata Al yang kosong menatap Andin sementara Andin meneriakkan nama Al dengan histeris berulang kali...
"Shh ... jangan takut."
Andin tersentak mendengar kata-kata itu di tengah kegelapan, otaknya terbangun tanpa perasaan takut, mengenali suara yang sangat dirindukannya. Kasur melesak ketika Aldebaran duduk disampingnya, mencondongkan tubuhnya ke arah Andin dan mengurung tubuh Andin dengan kedua lengannya. Aroma tubuh Aldebaran yang wangi dan familiar menenangkan Andin sama seperti suaranya.
"Andin ..."
Aldebaran mencium bibirnya dan Andin dapat merasakan alkohol di mulut Al. Aldebaran mabuk dan Andin merasa sedih dan sangat bersalah karena dia lah yang membuat suaminya seperti ini.
Andin melingkarkan lengannya di leher Aldebaran, menariknya mendekat, dan menciumnya dengan sepenuh hati. Air mata Andin mengalir deras, mengalir membasahi bantal di bawah kepalanya. Andin menyelipkan sebelah tangannya ke balik kemeja Al dan membelai punggung Al yang telanjang.
"Mas Al ..."
Air mata Andin tidak berhenti mengalir. Andin menyadari bahwa dia sangat rapuh dan lemah tanpa Aldebaran, dunia di sekelilingnya terasa hampa, dan tubuhnya sakit terpisah dari tubuh Al. Dan sekarang, berada di dekat Aldebaran, disentuh olehnya, terasa seperti hujan di musim kemarau. Rasa kebas yang dialami tubuhnya sebelumnya luluh dan sirna. Tubuhnya tidak lagi mati rasa.
Andin sangat mencintai Aldebaran.
"Tadi Michi cerita tentang keadaan kamu," kata Al serak. "Katanya gara-gara saya kamu jadi depresi."
Andin menggelengkan kepalanya, membantah ucapan Al. "Ga, Mas. Kamu ga salah."
"Saya juga menderita, Ndin." Al membenamkan wajahnya ke rambut Andin. "Saya juga hancur! Apa kamu ga liat?"
Geraman sakit bergemuruh di dadanya dan Andin memejamkan mata erat-erat, air matanya yang panas tumpah keluar.
Malam itu berlalu dengan buram. Aldebaran menyentuhnya tanpa henti seakan-akan malam itu adalah malam terakhir bagi mereka. Ingatan terakhir Andin adalah Aldebaran yang memeluknya dari belakang, lengannya merangkul pinggang Andin sementara Andin memohon berulang kali supaya Al tidak pergi.
Namun, ketika Andin terbangun pagi itu, Aldebaran sudah tidak ada.
To be continued …
Tuesday, January 24, 2023