Try new experience
with our app

INSTALL

UNLOCK YOU 

Gadis Pemberani

Bara

 

RUANG kuliah Tekkim lantai dasar gedung C terkunci rapat. Kami mahasiswa baru dikumpulkan dengan alasan belajar makna kebersamaan. Ya, kami memang bersama sekarang, bersama-sama dikurung, dibungkam, dan ditekan dengan hasil mencari-cari kesalahan. Original soundtrack-nya : suara teriakan senior lengkap efek kejut yang horor.

Budaya OSPEK ini kabarnya sudah menjadi tradisi. Syarat mutlak maba untuk dilantik dan diakui sebagai angkatan. Ruang kuliah gedung paling ujung ini menjadi tempat para senior melancarkan aksi. Membentak. Mencari-cari kesalahan. Memberikan seabrek tugas. Dan Tembok bercat mengelupas inilah saksi bisu teror Senior.

Sial! Earphone-ku ketahuan segala. Senior memberikan kode untuk melepasnya. Baik, aku mengalah, melepas sumpalan earphone lalu menunduk mengikuti cowok sebelahku yang khusyuk menekuk leher. Panas dan pengap semakin memaksa keringatku untuk keluar. Tak usah dibayangkan seberapa panasnya dalam ruang tertutup ini. Mirip dipanggang. Stok oksigen di ruang sempit ini, masih harus diperebutkan oleh semua maba. Nggak heran kalau sudah ada tiga cewek pingsan. Selain tertekan oleh intimidasi para senior, aku jamin mereka positif kekurangan udara segar.

"Itu anak yang kepalanya seberat beton, cepat maju!"

Aku yang pasang posisi menunduk langsung mendongak, mengamati siapa saja yang dimaksudkan senior cewek itu. Aku bingung. Semua maba sepertinya menunduk. Ah, aku tahu siapa yang dimaksud Senior. Dari matanya saja sudah jelas dia mengarah kepada cowok di sebelahku. Wajar dia disebut kepala seberat beton, dia menunduk dalam banget. Bagaimana nggak menunduk? Ekspresi senior di depan seramnya melebihi makhluk gaib.

"Woiii! Budek ya, kamu?!" teriak senior perempuan itu lagi karena tidak mendapat respon dari yang dipanggil. "Celingukan lagi! Memangnya lo mau cari siapa, ha?!" pekik senior perempuan satu-satunya ini lagi dengan garang, malah sekarang lebih kencang.

Aku tak mengerti dengan kakak senior cewek satu ini. Bisa-bisanya menuduh orang sembarangan. Padahal, dari tadi orang yang dimaksud itu diam dan menunduk saja. Ah, untung saja aku selalu pakai topi, jadi terasa aman dan jauh dari tatapan horor plus intimidasi oleh senior iblis.

"Sudahlah Tik, kalau emang dia budek, biar gue aja yang seret dia langsung ke depan," kata senior cowok berambut spark menawarkan bantuannya kepada kakak berambut keriting yang hobinya teriak-teriak tadi.

Dia lalu berjalan ke arah barisanku, barisan paling belakang. Di barisan ini hanya ada tiga orang saja. Ada aku di paling pojok, samping kiriku si budek yang nunduk terus dari tadi, dan samping kirinya lagi cewek dengan sepatu boot cokelat setinggi mata kaki. Kami bertiga baru terdaftar satu hari menjadi mahasiswa baru di Teknik Kimia yang terkenal perpeloncoan berkedok pendidikan mental. Kabar itu ternyata bukan isapan jempol. Buktinya sekarang mental kami benar-benar dididik.

"Buat apa sih, disuruh maju segala? Perintah nggak logis!"

Tiba-tiba suara teriakan cewek ber-boot cokelat yang ada di samping kiri si budek itu membelanya sambil mendongak ke depan.

"Bernyali juga," bisikku.

Cewek berambut lurus sebelikat dengan kaus oblong putih yang ditutup cardigan biru itu sepertinya meradang. Dia tak sampai hati melihat cowok budek di sampingnya, atau di tengah-tengah kami, menjadi korban bualan senior. Sekilas kuamati wajahnya, ternyata dia juga terlihat tegang. Bedanya, kepalanya nggak seberat beton kayak yang lain. Dia mendongak, menatap tajam para senior di depan ruang itu.

"Siapa lo? Anak baru sudah sok teriak-teriak segala, mau nyaingin kami?! Mau langsung jadi senior, ha?!" balas perempuan bernama Tik itu lebih keras.

"Masak cuman karena anak baru, pakai topi aja harus dihukum? Aneh, dan terlihat mengada-ngada. Jangan-jangan acara pengumpulan Maba di gedung sepi ini juga mengada-ngada ya? Tidak ada izin resmi dari Kajur? Kami bukan anak bodoh lagi wahai para senior!" balas perempuan berambut sepundak itu kini melengking dan sedikit bergetar, menggantikan gaung para senior yang sedari tadi terngiang. Dia melancarkan protesnya dengan dada yang naik turun. Matanya memerah menahan tangis. Rasa kesal yang sepertinya sudah membakar emosinya.

Dia berhasil.

Ketiga kakak senior ini merasa terancam. Kata-kata Kajur telah membuat mereka terpaksa harus mengakhiri praktek kumpul di ruang kuliah yang sepi ini.

"Kali ini lo lolos ya. Inget kalau lo masih pakai topi saat kumpul bareng angkatan tua, hukuman lo bakal berlipat. Harusnya lo terima kasih sama ini cewek, karena sudah nyelametin lo dari gue," kata-kata senior berambut spark dengan penuh kebencian sambil mendekat ke arahku.

Lho... lho... sebentar...

Topi? Hukuman?

Otakku mencoba merespon kata-kata dari senior tadi. Anjir! Jadi dari tadi, kakak-kakak ini teriak-teriak menyuruh aku yang maju ke depan? Karena topiku?

Kok bisa-bisanya aku baru sadar gini? Aku kira, dari tadi mereka menyuruh maju orang yang ada di sampingku-si budek, yang kepalanya nunduk terus. Ternyata eh ternyata, aku yang mereka maksud. Earphone sialan.

Eh, siapa ya nama cewek tadi? Cakep juga. Pemberani lagi. Ah, aku bakal cari tahu dia, si gadis pembela kebenaran dan keadilan itu!