Contents
CINTA TERLARANG
Bos Galak Jatuh Cinta?
BAGI keluarga besar Kopanda, tidak ada hal yang lebih membahagiakan kecuali suksesnya acara launching yang sangat ramai dan meriah. Marvin sang pemilik kafe, Karel, dan semua anggota tim solid yang sudah memproklamirkan diri sebagai keluarga baru Kopanda Cafe saling bertukar peluk haru. Tentu saja, setelah semua tamu dan awak media yang Marvin undang telah meninggalkan kafe dengan kepuasan.
Marvin sampai yakin 99% liputan menghebohkan para wartawan kuliner tanah air, majalah gaya hidup, serta majalah remaja yang sempat ikut akan menarik urat penasaran orang-orang dengan kafe barunya. Belum lagi, berita dari mulut ke mulut para pengunjung, hal itu akan menjadi promosi yang tidak pernah bisa dibeli. Dia yakin. Bisnis puteranya ini akan mendapat tempat dan kesempatan berkembang di ranah bisnis ibu kota.
Marvin bisa seoptimis itu karena selama launching tadi, telinganya telah berkali-kali mendengar pujian-pujian para tamu undangan tentang Kopanda. Mulai dari tempatnya yang nyaman, unik, menu yang beragam, hingga rasa semua hidangan yang tidak mengecewakan. Semua komentar positif itu membuat optimisme dalam jiwanya dengan bisnis Kerel ini semakin merangkak naik. Tetapi, bukankah itu berarti dia akan kalah taruhan dengan Karel? Dan kenapa seolah kepercayaan terhadap anak yang sengaja-tidak-diakuinya-karena-masalah-bisnis-itu mulai tumbuh?
Memikirkan semua itu, Marvin malah terlihat tersenyum. Lalu pikirannya teralih lagi kepada komentar-komentar dari pengunjung perdana kafenya yang variatif, tapi juga tetap positif. Baik secara langsung maupun yang tersebar di media sosial. Mulut netizen memang powerful untuk ajang promosi.
“Gileeee benerrrr! Kok ada eclair selembut ini sih, sprei kasur gue aja yang bahan sutra sampe kalah!” komentar salah satu pengunjung pengaku penikmat benda-benda lembut?
“Thanks buat Akhi Habibi, (Cie... Cie... gue sok Arab nih), suwerrr kewer kewer deh! Gelato buatan akhi, sukses bikin ane lupa sama sakitnya diputus pacar. Enak banget!” puji sekretaris Marvin yang ngotot minta ikut, dengan alasan mau cuci mata untuk melupakan mantan. Dan sepertinya gelato melon bikinan Habibi itu berhasil menjadikan Kopanda Cafe ini sebagai setting cintanya yang baru. Sekaligus, gebetan baru!
“Kopanda ini adalah sebuah gebrakan baru. Kafe terlengkap di daerah kemayoran Jakarta pusat. Lihat saja, kopi, teh, ice cream, kue-kue manis, ah, semuanya yang ada di sini harus diliput sampai tuntas! Juga video cara memasaknya!” perintah pemilik salah satu rubrik kuliner di majalah gaya hidup pemegang oplah terbesar nomor dua setelah The Urban Lifestyle.
“Video? Bukannya perusahaan Bapak bergerak di bidang majalah?” tanya Marvin kala itu bingung.
“Itu videonya buat istri saya, Pak Marvin. Dia memang selalu minta video cara bikin makanan yang enak. Boleh kan?” tanyanya polos dan jujur sambil malu-malu kucing menyebut nama istrinya. Aura sangarnya terasa menguap saat membawa-bawa nama istri.
“Silakan... silakan, Pak. Pokoknya bebas merekam cara masak di kafe ini. Malah, kalau tersebar di Youtube, itu lebih baik lagi buat promosi kafe ini kan?” jawab Marvin dengan sangat sungkan dan memaksakan tersenyum.
Semua komentar yang aneh dan lucu itu telah menjadi hiburan Marvin. Hatinya lega juga bahagia. Apalagi baru saja dia menemukan perempuan yang sangat menarik. Cantik dan berkarakter. Setelah kepergian Renne dan Jianna, dia terus tersenyum. Senyuman yang di mata para penghuni Kopanda Kafe aneh. Semua penghuni kafe itu pun sampai heran, tumben bos galaknya itu tersenyum terus seperti penghuni RSJ. Marvin yang terkenal garang, tegas, dan maskulin itu sekarang terlihat senyum-senyum sendiri tidak waras, ditambah gerakan absurd geleng-geleng kepala lagi.
“Pa, jangan malu-maluin dong. Ngapain ketawa-ketiwi sendiri nggak jelas gitu! Dilihatin sama para pekerja Papa. Image Papa bisa hancur berserakan,” bisik Karel kepada papanya.
Marvin tersentak dan sedikit gelagapan kepergok oleh Karel. Namun, dia dengan cepat bisa menguasai dirinya kembali.
“Ingat perjanjian, Rel. Jangan sok dekat sama Papa. Kita ini hanya relasi bisnis. Jangan coba-coba bikin curiga mereka. Panggil aku Pak Marvin, bukan Papa. Mau kamu didenda?” balas Marvin garang, 180 derajat dari beberapa menit yang lalu.
“Sial! Masih saja ingat perjanjian,” gerutu Karel sambil meninggalkan papanya dengan sebal ke arah display rack untuk mengecek jumlah eclair buatannya. Sebelum Karel, melangkah lebih jauh, Marvin memanggilnya dengan tegas dan berwibawa.
“Karel! Tolong kumpulkan semua karyawan di sini, saya mau bicara sebentar.”
“Kayaknya tidak perlu Pak, semua karyawan sudah dengar teriakan Bapak,” balas Karel dengan santai dan pasang wajah tanpa dosa. Itu kenyataan. Tanpa Marvin memanggil pun, semua karyawan yang telah menyelesaikan tugasnya itu langsung berjalan ke arah bos mereka. Kecuali si Rangga yang kemungkinan besar dia masih sibuk dengan tugasnya di dapur, mengawasi waktu pengovenan. Dia belum mau dijadikan tersangka kalau hasil kulit eclairnya gosong atau warnannya yang tidak sempurna.
“Oke, semua sudah kumpul kan? Hmm... minus si oven ya?” tanya Marvin berwibawa sambil menghitung semua karyawan baru Kopanda.
“Rangga, Pak, namanya,” ralat Karel yang tidak mau terima timnya dipanggil dengan nama oven.
“Siapalah namanya itu, yang penting kalian saya panggil berkumpul di sini karena saya ingin memberikan selamat untuk kalian atas suksesnya launching tadi. SUKSES!” ujar Marvin dengan melakukan penekanan pada kata sukses berharap dia mendengar sorak sorai bahagia dari karyawannya. Namun, kenapa suasana malah terasa sepi-sepi saja ya? “Kok kalian diam saja? Nggak suka dengar kabar ini?” tanya Marvin yang heran dan kebingungan.
“Yeah!” teriak Karel kencang sambil bertepuk tangan. Aksi yang dia lakukan sendirian itu membuat semua karyawan kaget, tapi mereka langsung mengikuti sang manajer dengan ikut berteriak dan bertepuk tangan. “OOHHH YEEEAHHHH!”
Marvin yang melihat itu hanya tersenyum nyinyir, dan mau tak mau ikut berteriak juga.
“Yeeeeeeaaahhh!!!”
Namun, sialnya teriakannya itu justru langsung membungkam semua karyawan, membuat hening kembali menyerang. Marvin pun kembali serius. Berusaha tidak terjadi apa-apa.
“Saya hanya ingin mengingatkan saja, setelah hari ini atau mulai besok pengunjung kafe kita akan semakin meningkat. Karena media-media yang tadi datang telah meliput acara launching sebagai bentuk promosi. Dan kalau saya menyetujui, mungkin juga akan ada syuting aktris di acara kuliner di Kopanda beberapa bulan lagi. Pokoknya selamat buat kalian semua. Terutama, untuk manajer kita, Karel!” suara Marvin menggema seperti memanggil peserta atlet tinju untuk memasuki ring. Dan sungguh dia tidak percaya dengan reaksi dan antusiasme karyawannya itu. Ya, giliran nama Karel disebut, mereka langsung berteriak keras, tanpa aba-aba lagi seperti tadi. Marvin kini sadar telah kalah pamor dengan putranya melihat salam, pelukan, dan ucapan selamat dari seluruh karyawan yang tertumpah ruah untuk Karel.
“Dan untuk hari ini, saya kira sudah cukup dulu,” ucap Marvin yang langsung membuat semua karyawan tegak kembali seperti patung. Tanpa suara sedikit pun, mereka khusyuk mendengarkan bos besarnya bicara. “Kok malah pada bengong? Sana! Kalian boleh bekerja lagi, saya mau ngopi sebentar, sebelum kembali ke kantor,” perintahnya kembali otoriter. “Evan, bikinin saya black coffee!” lanjutnya sambil kembali duduk menikmati sofa di belakangnya itu.
“Press atau syphon, Boss?” tanya Evan menimpali pesanan Marvin.
“Press saja, biar cepet. Pake satu-sepuluh ya!” perintahnya kepada si barista kenalannya itu. Dia sudah biasa menyebutkan 20 gr kopi dalam 200 mililiter air, itu dengan satu-sepuluh, 1 : 10 untuk rasio kopi dan air.
Semua karyawan di kafe itu pun balik badan ke arah tempat mereka masing-masing, meninggalkan Bos mereka yang menyeramkan untuk kembali menggeluti kecintaan mereka tanpa tekanan.