Try new experience
with our app

INSTALL

Aldebaran, My Love - The Sequel 

Prologue

“Dari mana saja kamu?”

Andin tersentak mendengar nada suara suaminya yang tajam dan menoleh ke arah suara tersebut berasal. Andin melihat siluet tubuh Aldebaran yang sedang duduk di sofa di dalam kamar tidur mereka yang gelap. Andin meraba saklar lampu di dinding kamar dan sesaat kemudian cahaya terang lampu menyelimuti mereka.

“Mas Al?”

Andin terkesiap kaget ketika melihat keadaan kamar yang berantakan. Posisi sofa yang terdorong beberapa sentimeter dari tempatnya semula, bantal-bantal yang bergeletakan di lantai dan di sebelahnya ponsel Aldebaran yang pecah berkeping-keping.

Apa yang terjadi?

Andin kembali menatap Aldebaran yang duduk di sofa, masih mengenakan kemeja kantor dengan lengan kemeja yang digulung sampai siku. Kedua sikunya ditopangkan di pahanya yang kuat dan matanya menatap lurus ke pangkuannya, sama sekali tidak melirik kearah Andin.

Andin melangkah mendekati Aldebaran dengan hati-hati, merasa khawatir dengan sikap suaminya yang aneh dan lain dari biasanya. Bahu Aldebaran naik turun dan napasnya terengah-engah seperti baru saja berlari kencang. Andin berhenti di depan suaminya dan menyadari kalau mata Aldebaran terpaku kepada tablet yang berada dipangkuannya.

“Tadi sore saya mendapat chat dari nomor tak dikenal,” kata Aldebaran memecah kesunyian. “Awalnya saya ga terlalu menghiraukan, tapi setelah kamu ga bisa dihubungi dan saya ga bisa menemukan kamu dimana-mana, saya jadi curiga. Bayangkan kekagetan saya saat tau dari pihak kampus kalau ternyata hari ini kamu izin tidak masuk karena ke luar kota. Dan itu semua tanpa sepengetahuan saya.”

Nada suara Al sangat dingin, nada suara yang belum pernah didengar Andin sebelumnya dari suaminya.

Aldebaran mengulurkan tablet yang dipegangnya kepada Andin sebagai pengganti ponselnya yang hancur karena luapan kemarahannya.

Tangan Andin gemetar begitu hebat saat dia membaca pesan yang ada di sana dan tablet itu meluncur jatuh dengan keras ke lantai berkarpet. Sekujur tubuh Andin gemetar dan dia hanya bisa mengucapkan nama Tuhan berulang-ulang untuk menopang tubuhnya dari hunjaman kepedihan dan keputusasaan yang menyerangnya.

Pesan tersebut layaknya seperti hukuman mati bagi Andin.

Apa kabar, Aldebaran Alfahri? 

Saat ini Anda mungkin saja menyangka Anda sudah punya segalanya. Karir yang sukses, istri yang cantik dan calon anak yang sebentar lagi akan lahir. Tapi di balik itu semua, apa Anda mengenal siapa istri Anda sebenarnya? Anda tahu apa yang dia lakukan hari ini? Kemana dia pergi dan siapa yang dia temui? 

Dan pertanyaan paling penting, apa Anda tahu alasan utama dia menikah dengan Anda?

Saya akan memberi Anda satu petunjuk. Dayana. Apa nama tersebut mengingatkan Anda pada seseorang?

Andin tahu siapa yang sudah mengirimkan pesan itu pada suaminya. Hari ini Andin diam-diam terbang ke Denpasar untuk menemui Dayana, memohon belas kasihan dan pengertian dari sepupunya itu bahwa dia tidak mungkin meninggalkan suaminya dalam keadaan hamil.

Dayana sangat marah dan murka mendengar penjelasan Andin, berulang kali menyumpahi dan meneriaki Andin sebagai wanita murahan dan pengkhianat terkutuk.  Dayana mengamuk dan melempar barang-barang di sekitar rumah dan terpaksa harus diberikan obat penenang oleh suster Irma, perawat pribadi yang merawat Dayana.

Andin meninggalkan Dayana yang tertidur pulas dan kembali ke Jakarta dengan perasaan kalut, berharap sepupunya itu akan berubah pikiran dan memaafkannya seiring dengan berjalannya waktu. Namun sekarang, semua harapannya pupus sudah.

“Mas Al ...” isak Andin, mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu suaminya, tapi Aldebaran menghindar dari sentuhannya. Al mendongakkan kepalanya dan menatap Andin dengan mata berkilat marah yang membuat tubuh Andin gemetar hebat. 

“Sekarang jelaskan semuanya,” perintahnya.

Andin menangis sesenggukan dan menatap suaminya dengan bersimbah air mata.

“Hari ini aku pergi ke Denpasar untuk menemui sepupuku. Sepupu aku itu Mbak Dayana, Mas. Tunangan kamu dulu. Tapi sekarang dia lumpuh dan karirnya hancur."

Kata-kata Andin membuat Aldebaran tersentak dan dia menatap Andin tak percaya. Aldebaran mengingat pertemuan terakhirnya dengan mantan tunangannya—Dayana Larasati—dua tahun lalu di hari yang seharusnya merupakan hari pernikahan mereka. Dia mengingat semua kata-kata yang dilontarkan Dayana padanya. Dalam kondisi marah Dayana bersumpah tidak akan pernah memaafkan Aldebaran sampai kapan pun dan mendoakan agar Aldebaran mendapatkan karma yang setimpal. 

Karma. Karma. Karma

Kata itu terngiang-ngiang di benak Aldebaran.

Aldebaran mulai menyatukan kepingan-kepingan puzzle selama setahun terakhir semenjak dia pertama kali bertemu Andin. Andin yang selalu berada di tempat yang sama dengannya. Andin yang menjadi pelanggan salon yang sama dan menjalin pertemanan dengan mama Rossa. Andin yang mendekatinya secara halus melalui perantara mamanya. Andin yang selalu penuh perhatian dan sabar menghadapinya. Dan Andin yang memiliki sepupu disable di Denpasar yang memiliki trauma terhadap ikatan cinta dan pernikahan.

Dengan terisak-isak Andin mulai menceritakan semuanya kepada suaminya. Menceritakan tentang bagaimana dia terlibat dalam rencana jahat Dayana untuk memikat Aldebaran dan meninggalkannya tepat di hari pernikahan mereka untuk membalaskan dendam sepupunya itu yang dicampakkan dengan cara yang sama.

Andin menceritakan semuanya

Tidak ada lagi yang dia tutup-tutupi.

Andin sudah tidak punya tenaga lagi untuk berbohong. Sepanjang cerita, Andin tidak pernah melepaskan pandangannya dari wajah Aldebaran, mengukir wajah suaminya di ingatannya, merasa takut bahwa ini adalah kali terakhir dia menatap wajah pria yang sangat dicintainya itu.

Aldebaran hanya diam membisu dan menatap Andin nanar bahkan setelah Andin selesai bercerita. Dia seperti hilang akal dan seolah tidak percaya semua ini benar-benar terjadi, sementara air mata menetes keluar dari sudut matanya.

Andin tersungkur ke lantai, tidak sanggup melihat ekspresi Aldebaran yang menyayat hati. Dia menangis sejadi-jadinya, berdoa tiada henti semoga Tuhan menyelamatkan suaminya, menguatkannya, mengasihinya, sementara Andin tidak meminta apa-apa untuk dirinya sendiri.

Dari tempatnya berlutut Andin memperhatikan Al berjalan dengan agak linglung ke pintu kamar. 

"Mas Al … tunggu!"

Dengan panik Andin mencoba menahan Aldebaran. Dia tahu Al tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk menyetir dan Andin curiga itulah yang akan dilakukan suaminya. Andin meraih lengan Al tapi Al menepis tangan Andin dengan kasar. 

"Jangan sentuh!" bentaknya. Sentuhan Andin tampaknya membuat Al kembali tersadar dan membangkitkan kemarahannya.

"Mas … aku telepon Pak Yongki buat nyetirin kamu ya? Kamu jangan nyetir sendiri," bujuk Andin.

Aldebaran tidak menghiraukan Andin dan terus melangkah ke arah pintu. Andin berlari dan berdiri di depan pintu untuk menghalangi Al.

"Minggir!" Aldebaran menggertakkan giginya.

Andin berdiri gemetar di depan pintu tapi dengan keras kepala dia tetap berdiri disana, menghalangi Aldebaran. Andin merasa sangat rapuh berdiri di depan suaminya, begitu ingin memeluknya. Tapi Al sangat marah padanya dan Andin tidak tahu apakah Al akan bisa memaafkannya.

"Mas Al, please ... tolong jangan nyetir sendiri. Aku ga mau kamu kenapa-napa," Andin memohon.

"Bukannya kamu malah senang kalau saya kenapa-napa?" ujar Al kejam. "Kalau perlu saya mati saja sekalian!"

Andin terhuyung mundur mendengar perkataan Al, merasa sangat terluka akan kata-kata suaminya yang menyakitkan. Bahunya bergetar hebat menahan isak tangis. Tapi dia tetap berdiri di sana, tidak beranjak sedikitpun.

"Minggir!" perintah Al sekali lagi. Tapi Andin tetap bergeming.

Amarah Aldebaran semakin memuncak melihat Andin yang keras kepala.

"BRENGS*K!" Al berteriak sangat kencang. Dia memukul pintu di dekat kepala Andin dengan sangat keras hingga buku jarinya memar dan mengeluarkan darah. "BISA GA? BISA GA KAMU SEKALI SAJA DENGERIN SAYA? SAYA BILANG MINGGIR!" Al mencengkeram kedua lengan Andin dan mengguncang-guncang tubuhnya.

"Mas Al, please stop ..." rintih Andin.

Al melepas cengkeramannya dan berbalik ke dalam ruangan. Keheningan yang mencekam terjadi setelahnya sebelum Aldebaran tiba-tiba menyambar vas bunga yang ada di atas meja dan melemparnya sekuat tenaga ke dinding. Suara pecahan kaca yang nyaring menggema di sekeliling ruangan sementara Andin meringkuk tak berdaya di depan pintu, memandang suaminya dengan putus asa.

Beberapa saat kemudian, dengan terengah-engah, Aldebaran berjalan ke arahnya dan berlutut di hadapan Andin. 

"Andin ..." kata Aldebaran dengan suara parau dan putus asa. "Saya mohon, tolong minggir. Saya sudah ga punya tenaga lagi, Ndin. Balas dendam kamu berhasil. Saya sudah hancur sekarang." Aldebaran menghapus air matanya kasar dengan punggung tangannya.

"Mas Al ..." Tangis Andin tak terbendung lagi, dia sangat hancur melihat Al seperti ini. Mereka sama-sama hancur gara-gara perbuatannya.

"Aku cinta sama kamu, Mas ..." kata Andin terisak. "Mungkin suatu hari nanti kamu bisa maafin aku." 

Andin menatap suaminya dengan tatapan memohon. Tetapi Aldebaran mengalihkan pandangannya dari Andin, memindahkan tubuh Andin dengan lembut dari depan pintu, dan berjalan keluar dari sana tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

 

To be continued …

Sunday, January 22, 2023