Contents
Before Wedding
BAB 1: Lelaki Pemilik Lentera
“Namanya Gilang, Nduk. Dia punya perusahaan sendiri,” ucap Ella, Ibu Lentera. “Perusahaannya sama seperti di tempat kamu kerja,” lanjutnya. “Pas, tho?”
“Lentera, kan, punya Raka, Bu,” sahut Lentera. Ia duduk di kursi dapur. Sedangkan ibunya sedang membuat teh melati dan ayahnya membaca koran. “Yah, Lentera tidak mau dijodohkan,” rajuknya pada ayahnya. Biasanya, ayahnya adalah orang yang akan menolongnya. Memberikan titah terakhir dari sebuah perdebatan panjang antara Lentera dan Ella. Harapan satu-satunya bagi Lentera.
Ayahnya menurunkan koran dan melipatnya. Ibunya menghampiri dan meletakkan teh melati di depan suaminya. “Dicoba dulu, Nduk. Siapa tahu cocok, kan?” sahut ayahnya. Lentera mendengus. Selesai sudah. Tak ada harapan apa-apa lagi. Perjodohan ini dipastikan berlanjut.
“Lalu, Raka bagaimana?” tanya Lentera, lebih kepada dirinya sendiri. Raka adalah kekasih Lentera. Mereka berpacaran sudah cukup lama. Hubungan keduanya pun bisa dibilang serius.
“Apa yang kamu sukai dari Raka? Kerjaannya nggak jelas begitu,” sahut Ella. Raka seorang travel blogger, dia juga memiliki biro perjalanan sendiri di Bandung.
“Dia bloger, Bu,” bela Lentera. Mau Lentera jelaskan berapa kalipun, ibunya tak akan pernah mengerti. Sebab, yang diinginkan ibunya adalah Gilang.
“Wis. Pokoknya, kamu harus mau dikenalkan sama Gilang. Ibunya teman kuliah ibu. Bagus, kan, kalau kami besanan.”
“Ini, kan, sudah bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Bu,” Lentera kembali berargumen. Dia tidak habis pikir, kenapa orang tuanya ingin menjodohkan ia kepada Gilang, anak teman ibunya zaman kuliah. Ini tahun 2019, kenapa perjodohan semacam ini masih ada?
Lentera melihat ke arah ayahnya yang sedang menikmati secangkir teh melati. Dia berusaha meminta bantuan, tetapi kali ini tak ada pertolongan sama sekali. “Nurut dulu, Nduk. Kan, hanya kenalan,” ucap ayahnya.
Selesai. Lentera tak punya kesempatan berargumen lagi.
***
Meskipun usianya sudah 27 tahun, Lentera belum berencana menikah dalam waktu dekat. Bukan masalah perjodohan yang dilakukan kedua orang tuanya yang membuat ia risau, melainkan pernikahan. Ia sama sekali belum ada pikiran untuk ke sana. Dia sama sekali belum tahu apa tujuannya menikah.
“Menikah itu ibadah, tahu!” ucap Avel, ketika Lentera mengutarakan isi hatinya mengenai pernikahan. Ia bercerita kepada rekan kerjanya tersebut mengenai rencana kedua orang tuanya untuk menjodohkannya dengan Gilang.
Gilang, Lentera hanya melihat lelaki itu di media sosial. Dia cukup menarik di foto yang bertebaran di media. Bagaimana wajah aslinya, dia tak tahu.
“Dalam agama kita, menikah itu ibadah yang teramat panjang,” lanjut Avel. Ia membetulkan letak jilbabnya yang agak miring. “Itu bisa jadi salah satu alasan kau untuk menikah,” lanjutnya. “Lagi pula, menikah itu enak kali, Mbak Ra,” ucap Avel sembari tertawa kecil.
Avel salah satu tim marketing di HaloNona, yang terkadang merangkap sebagai editor, seperti dirinya. Perempuan berusia 25 tahun itu sudah menikah. Dan sekarang, ia sedang mengandung anak kedua.
“Lentera kau ceramahin soal agama, Vel?” sahut Luki. “Sudah, mau saja, Ra. Siapa tahu jodoh, kan.”
Lentera mendesah. Kedua rekan kerjanya ini sama saja dengan kedua orang tuanya. Tetap memintanya untuk ikut perjodohan.
“Astaga!” seru Avel. “Kenapa, sih, Lentera Media selalu menjadi juara?” gerutunya. Lentera Media adalah salah satu media saingan HaloNona. Apabila HaloNona media perempuan dan kebanyakan membahas mengenai perempuan, Lentera merupakan media yang memiliki beberapa anak media. Beberapa di antaranya media kuliner, fashion, dan juga umum.
“Pergerakan mereka cepat sekali, padahal HaloNona dan Lentera Media lahir di tahun yang sama,” sahut Luki, ia manggut-manggut dan menyesap kopinya.
“Ayolah, mereka memiliki banyak jaringan dan pembahasannya luas,” sahut Lentera. “Omong-omong, media itu pantas saja bisa melejit. Namanya saja Lentera!” serunya. Avel mencibir, Luki mengangkat bahu.
Benda pipih di meja kerjanya bergetar, sebuah pesan masuk. Dari Raka.
Sayang, bisa keluar sebentar?
Lentera beranjak dari tempat duduknya, meraih jaket berkelir hijau army dan berlari kecil ke arah pintu. “Aku keluar sebentar,” ujarnya sambil lalu kepada Avel dan Luki.
Di depan kantor HaloNona, Raka sedang duduk di sofa beludru yang disediakan untuk tamu. Perempuan itu berlari kecil menghampiri kekasihnya. Raka berdiri menyambut Lentera.
“Tidak mengganggu, kan?” tanya Raka, ketika Lentera di depannya. Ia menyentuh anak rambut Lentera yang keluar dari ikatan, menyelipkan ke belakang telinga kekasihnya.
“Kapan sampai Indonesia?” tanya Lentera, tanpa bersusah-susah menjawab pertanyaan Raka terlebih dahulu. Raka beberapa minggu yang lalu melakukan perjalanan ke Australia, mengunjungi beberapa kota di sana.
Raka menarik tangan Lentera, mengajaknya duduk di sofa. “Tadi pagi,” sahutnya. “Kau tidak sibuk?”
“Masih ada beberapa artikel yang harus tayang hari ini,” sahut Lentera. “Tak masalah, aku punya beberapa menit waktu untukmu.” Dia tersenyum hangat. Melihat ke arah Raka, melihat kulitnya yang semakin menggelap. Justru kulit Raka yang gelap itu membuat Lentera tertarik. Dia terlihat lebih lelaki dan menggoda.
“Kulitmu terbakar,” tukas Lentera. “Ke mana saja kau?”
“Melbourne dan Sydney.”
“Menyenangkan sekali,” sahut Lentera. “Kapan kau akan mengajakku?” rajuknya.
“Saat kau mau aku nikahi,” balas Raka. Lelaki itu menatap Lentera. “Kau mau?”
Lentera mendengus, alih-alih bahagia mendapat lamaran dari Raka. Bukannya ia tak bahagia Raka mengajaknya serius ke jenjang pernikahan. Mungkin, bagi perempuan lain yang usianya di atas 25 tahun akan merasakan kebahagiaan berlebih. Namun, berbeda dengan Lentera. Ia sama sekali tak menginginkan pernikahan, meskipun Raka adalah lelaki yang dicintainya.
“Orang tuaku akan menjodohkan aku,” ucap Tera. Alih-alih membahas mengenai lamaran Raka, ia justru membahas mengenai perjodohannya. “Itu yang ingin kukatakan padamu tempo hari.”
Raka diam sesaat. Tak ada emosi yang terlihat pada wajahnya. Dengan tenang dia berkata, “Apa karena ini kau tak mau aku nikahi?”
Lentera mendesah. Kedua alisnya bertaut. ”Bukan. Kau tahu itu,” katanya. “Aku belum ingin menikah, Ka. Sudah kubilang berkali-kali,” dia mengambil jeda. “Dan perjodohan ini .... Astaga!”
Raka mendesah, ”Baiklah, aku ditolak lagi,” katanya. Ia beranjak dari sofa, meraih tas ransel yang ditaruh di sisi sofa. “Aku ingin kita bertemu besok malam, aku akan menjemputmu.”
Kekasihnya itu menatap ke arahnya, tak bicara untuk beberapa detik. Lalu, ia berdiri. ”Sori. Besok malam perjodohan itu akan dilaksanakan.”
***
Lentera memilah-milah baju di lemarinya. Ia mencari mana pakaian yang sesuai yang akan ia kenakan untuk pertemuan keluarganya dan keluarga Gilang – lelaki yang akan dijodohkan dengannya.
Kedua keluarga tersebut akan bertemu di salah satu restoran di Surabaya. Sekadar mengenalkan kedua anaknya. Dengar-dengar, Gilang anak satu-satunya dan ayahnya telah tiada. Selama ini, Gilang dibesarkan oleh ibunya, Mira—teman semasa kuliah Ella.
“Ibu nggak sengaja ketemu Mira lagi di sanggar yoga,” cerita ibunya kepada Lentera beberapa waktu lalu. “Kami ngobrol panjang lebar dan ketika pulang, Mira dijemput si Gilang. Ganteng banget, loh, Nduk.”
Sebagai anak satu-satunya juga, Lentera tak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya. Dia menyetujui pertemuan ini sekadar ingin menyenangkan Ella. Setelah ini, dia akan memikirkan cara agar perjodohan tidak terjadi. Lentera berharap Gilang tipe lelaki seperti dirinya, tidak menyukai perjodohan. Bukankah lelaki berjiwa bebas?
“Nduk, sudah?” ibunya melongok dari arah pintu kamarnya.
“Belum, Bu. Masih bingung,” sahut Lentera tanpa mengalihkan perhatiannya pada isi lemari. Tentu, Lentera tak akan mengakui bahwa dia sibuk memilih baju agar terlihat sempurna nanti. Ibunya menghampiri, memilih gaun berwarna merah marun polos tanpa lengan dan menyodorkan kepada Lentera.
“Pakai ini saja,” ucap Ella. Tanpa banyak bicara, Lentera mengambil gaun tersebut dan memakainya. Sebelum berangkat ke restoran, ia meraih jaket berwarna army yang biasa dipakai untuk bekerja.
Lentera dan kedua orang tuanya turun di Tunjungan Plaza Surabaya. Mereka menuju restoran yang sudah disepakati oleh ibu Lentera dan Mira. Lentera berjalan ogah-ogahan di belakang kedua orang tuanya ketika sampai restoran. Ia tahu, malam ini pasti akan membuang-buang tenaganya.
“Miraaa …,” seru Ella. Ia menghampiri seorang perempuan seusianya, menjabat tangan dan mencium pipi kanan dan kiri. Berdua saling tertawa dan bersemangat. Ayah Lentera mendekat dan menjabat tangan Mira dan seorang pemuda.
Saat itulah, Lentera melihat Gilang.
Awalnya Lentera tidak percaya dengan penglihatannya, namun dia benar-benar melihat Gilang. Pemuda yang berseliweran di media sosialnya dan pemuda yang sering dibicarakan oleh rekan kerjanya.
“Hai. Gilang,” pemuda itu memperkenalkan diri pada Lentera. Jabat tangannya kuat, hanya beberapa saat, tetapi sanggup mengalirkan sesuatu ke diri Lentera.
“Lentera,” sahut Lentera.
Lelaki itu adalah pemilik Lentera.
***
“Jadi kau bekerja di HaloNona?”
“Ya,” sahut Lentera. Gilang dan Lentera dibiarkan berdua saja. Setelah dari restoran, mereka memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di mal. Mira dan Ella ingin mengenang masa kuliah mereka. Baik Lentera maupun Gilang hanya mengikuti para orang tua sembari berbincang ringan.
“Jadi, kau lelaki pemilik Lentera,” balas Tera. “Aku tidak menyangka akan bertemu langsung seperti ini.”
Gilang menarik sudut bibirnya. Lelaki itu mengenakan kemeja dan jas kelabu, dengan celana jeans. “Kenapa? Kau berharap bertemu Gilang yang lain?”
“Tidak,” sahut Tera. “Hanya saja, Lentera Media sering jadi perbincangan orang kantor,” tambahnya.
“Oh, ya?”
Lentera mengangguk. “Mediamu keren,” akunya. Lentera tak menampik kenyataan tersebut. Di sudut hatinya, dia terkagum-kagum dengan Gilang. Media yang dipimpin lelaki itu sukses. Dia sering melihat Gilang diulas beberapa wartawan di media cetak maupun media elektronik.
“Terima kasih.”
Tak ada perbincangan lebih lanjut, keduanya menunggu Ella dan Mira di depan sebuah outlet aksesoris. Lentera tersenyum melihat ibunya dan Mira mencoba-coba bandana, kemudian mereka tertawa. Hal itu menghangatkan hatinya. Nampaknya, ayahnya pun menikmati malam ini.
Lentera menggosok kedua lengannya. Dia memakai gaun tanpa lengan dan dengan bodohnya meninggalkan jaketnya di mobil. Meskipun sekarang dia di dalam gedung, Lentera merasa kedinginan. Mungkin karena dia tak terbiasa memakai gaun tanpa lengan. Seingat Lentera, gaun ini pemberian Dee ketika Lentera berulang tahun.
Tahu-tahu, Lentera merasakan sesuatu tersampir di pundaknya. Dia menoleh, Gilanglah pelakunya. “Tidak perlu,” tolaknya. “Aku bawa jaket.”
“Mana?” tanya Gilang.
“Di mobil.” Lentera mengulurkan jaket Gilang ke pemiliknya.
“Pakai dulu, pulang nanti baru kembalikan,” putus Gilang. Lentera tak membantah. Lalu, Lentera ingat sesuatu. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Lentera. Mereka berhenti mengikuti orang tua mereka.
“Katakan saja.”
“Tidak sekarang,” ucap Lentera. Dia mengeluarkan ponselnya, kemudian diulurkannya pada Gilang. “Aku minta nomormu.”
Gilang tertawa kecil. ”Boleh juga kau.”
“Apa maksudmu?”
“Kita baru bertemu dan kau langsung minta nomor ponsel. Tak banyak perempuan seperti ini,” jelasnya. Meskipun berkata demikian, Gilang tetap meraih ponsel Lentera. Dia menuliskan angka-angka di sana dan menyimpan nomor tersebut.
“Jangan salah paham,” kata Lentera sembari menerima ponselnya kembali. “Aku akan menghubungimu, ada hal yang ingin aku bicarakan. Tidak bisa sekarang.”
Gilang mengangkat bahu, tidak peduli. Mereka berdua bergabung dengan orang tua masing-masing, lalu pamit pulang.
***
“Jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Dia gila, kan?” Lentera mengomel ketika kembali ke kantor. Saat itu, HaloNona sudah sepi. Menyisakan OB dan beberapa karyawan saja. Luki dan Avel di antaranya.
“Kau kenapa?” tanya Luki. Lelaki dengan kepala plontos itu merapikan meja. Memasukkan beberapa kertas dan komputer jinjing ke dalam ransel. “Bukannya kau pulang tadi? Kenapa kembali ke sini?” lanjutnya sembari meneguk sisa cola di meja.
“Jadi, bagaimana dengan Gilang?” sahut Avel. Perempuan hamil itu mendekat, meletakkan kedua telapak tangannya di meja Lentera. Gadis yang sedang naik pitam itu duduk bersedekap, menatap ke arah layar komputer jinjing yang berpendar.
“Dia gila,” sahut Lentera. “Masa dia bilang tidak mau membatalkan perjodohan ini? Jatuh cinta pada pandangan pertama, katanya? Sinting!”
“Serius?” tanya Avel. Kedua matanya berbinar, seakan-akan dialah yang sedang berada di posisi Lentera saat ini. “Romantis sekali!” serunya.
Lentera mencibir. Dia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Gilang mengenai perjodohan ini. Sewajarnya, dia menolak dijodohkan, terlebih lagi masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih. Memangnya, kekasihnya tak akan marah apabila dirinya akan dijodohkan dengan perempuan lain?
Mengingat hal itu, Lentera teringat dengan Raka. Apa kabar lelaki itu saat ini? Terakhir mereka bertemu adalah di kantor waktu itu, setelah itu, lelaki itu pergi keluar negeri lagi. Untuk kesekian kalinya. Lentera sampai bosan bertanya, ke mana dia akan pergi kali ini.
Padahal, Lentera ingin menceritakan mengenai pertemuannya dengan Gilang sore tadi.
“Sudah kubilang, kan, bagus kau sama Gilang ini,” sahut Luki. Ia mencangklong tas ranselnya, siap-siap untuk pulang. “Kau tak perlu bekerja di sini, lagi, kan.”
“Jadi, kau ingin aku keluar dari HaloNona?” tukasnya. Keluar dari HaloNona adalah hal terakhir yang ia pikirkan. Ia merintis media ini dari awal. Lebih tepatnya, dia dan Dee pemilik HaloNona merintis media sejak awal berdiri. Sebelumnya, media ini benar-benar sepi peminat, sampai akhirnya banyak investor masuk dan mulai berkembang.
Jadi, Lentera sama sekali tak ada pikiran akan pergi dari sini, apalagi sekadar karena Gilang pemilik Lentera Media.
Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk. Dari Raka.
Aku di Thailand. Kemungkinan Rabu depan baru di Indonesia. Ada apa?
Lentera menghela napas. Pesan itu ia kirimkan selama perjalanan kembali ke kantor, usai bertemu dengan Gilang. Dia suntuk, tak tahu harus berbuat apa. Melawan kedua orang tuanya pun tak ada artinya.
Jalan satu-satunya adalah berkompromi dengan Gilang. Pada kenyataannya, lelaki itu cukup sinting untuk berkata bahwa jatuh cinta padanya.
Sebenarnya, ada jalan lain, yaitu menikah dengan Raka. Namun, itu juga bukan solusi yang tepat, karena selama ini ibunya tidak pernah menyukai Raka.
Lentera menghela napas lagi dan lagi.
Ponselnya kembali berpendar, sebuah pesan masuk.
Nduk, kamu pulang jam berapa? Di rumah ada Gilang.
Kedua mata Lentera membulat membaca pesan dari ibunya itu. Gilang ke rumahnya? Untuk apa? Mereka belum lama saling mengenal dan tadi siang baru saja mereka bertemu, jadi ada urusan apa dia ke rumah?
Lentera bergegas mengemasi barang-barangnya, memasukkan kembali komputer jinjing yang tak sempat ia matikan dengan benar, meraih ponselnya dan berpamitan pada Luki serta Avel.
Rencananya, hari ini ia ingin berada di kantor, lembur. Sayangnya, lelaki bernama Gilang itu sungguh membuatnya kesal.
***
Lentera memesan ojek online dari kantornya yang berada di kawasan perumahan elit di Surabaya. Beberapa menit kemudian, ia menyesal naik ojek online karena tetesan air mulai membasahi tubuhnya. Seharusnya, tadi ia memesan taksi online saja. Akhirnya, driver ojek online itu menghentikan motornya, mengambilkan jas hujan dari jok motor.
Rumah Lentera berada di daerah Ngagel, Surabaya. Butuh waktu cukup lama untuk sampai, sebab jarak kedua tempat itu cukup jauh. Ditambah lagi, macet. Ia segera membuka pintu pagar, begitu driver online itu menghentikan motornya. Dia hampir saja melupakan helm yang masih berada di kepalanya. Usai mengembalikan helm, Lentera kembali ke arah rumahnya.
Di teras rumahnya, ia melihat Gilang, masih mengenakan pakaian yang sama seperti yang ia kenakan tadi di kafe. Lelaki itu sedang bercanda dengan ayahnya, papan catur terbuka di antara keduanya. Tak lama kemudian, ibunya keluar dengan membawa dua gelas berisi teh hangat.
“Sudah pulang, Nduk?” tukas ibunya, setelah melihat Lentera berdiri di ambang pagar rumah. Ayahnya dan Gilang melihat ke arahnya. Lentera menghela napas dan menghampiri ibunya. Ia mengulurkan tangan, mencium punggung tangan ibunya, lalu bergantian ke ayahnya.
“Tuh, ada Gilang,” ucap ayahnya. Ia bangkit dari kursi dan menepuk bahu Gilang. “Kapan-kapan main lagi, ya.” Ayah Lentera mengajak istrinya masuk ke dalam rumah dan membiarkan Lentera dan Gilang berdua di teras.
“Sejak kapan kau akrab begitu dengan Ayah?” tukas Tera, tanpa basa basi.
“Ayahmu asik,” jawab Gilang. Lelaki itu meraih cangkir teh, lalu menyeruputnya perlahan. “Enak.”
“Ada apa?”
“Tehnya, enak,” ucap Gilang sembari mengacungkan cangkir keramik berwarna putih ke arah Lentera.
Lentera memutar bola matanya. “Bukan itu maksudku. Ada apa ke sini?”
“Main ke rumah calon mertua, mau apa lagi?” ucap Gilang santai. Ia meletakkan kembali cangkir berisi teh itu ke atas meja. Ia melirik ke arah Lentera, perempuan itu menautkan kedua alisnya, melihat itu mau tak mau membuatnya tersenyum sedikit. “Kau meninggalkan sesuatu di kafe,” akunya kemudian.
“Apa?”
“Kau tak merasa kehilangan sesuatu?” Gilang mengangkat satu alisnya, membuat Lentera penasaran. Lalu, ia meraih tas ranselnya sendiri, mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat. Ia menyodorkannya ke arah Lentera.
Awalnya, Lentera tertegun, lalu ia meraih ranselnya, mencari-cari sesuatu di dalam sana. “Astaga!”
Di tangan Gilang merupakan buku catatan milik Lentera, semua hal mengenai HaloNona dan pekerjaannya ia tulis di buku itu. Ia tak bisa berpisah dengan buku tersebut, karena memang pekerjaannya di sana.
Bahkan Lentera sendiri tak tahu buku itu menghilang. “Terima kasih,” ucap Lentera. Ia hendak meraih buku dari tangan Gilang, namun lelaki itu menarik kembali buku tersebut. “Kenapa?”
“Hanya terima kasih saja?”
Lentera menghela napas. ”Lalu?” Ia mulai kesal dengan lelaki yang baru dikenalnya ini.
“Kau tahu, gara-gara buku ini aku tidak bisa kembali ke kantor? Padahal, ada rapat yang harus aku hadiri.”
“Dan?” tanya Lentera, ia mulai jengah. Lalu kenapa? Apa itu salahnya?
“Kau harus mentraktirku,” tukas Gilang, ”sebagai tanda terima kasih.”
“Apa?” dia mendesah. “Mau kau apa, sih?”
Gilang tersenyum, memamerkan bibirnya yang tipis itu. Lalu, dengan ringan dia berucap, “Aku ingin kau.”