Contents
(TAMAT) Printemps a Paris
1: Secret Admirer?
Angin bertiup kencang, membuat butiran tipis salju melayang-layang tanpa tujuan. Bunyinya yang mendesau-desau itu, terdengar bagai orkestera aneh ketika menyerang telinga. Minus sepuluh derajat celsius. Sempurna. Suhu jahat musim dingin telah sampai pada titik serendah itu dan sialnya aku masih berada di jalanan. Kuharap tak lama lagi, ini akan berakhir dan aku akan segera menikmati musim semi yang hangat.
Musim semi, ah, betapa aku sangat menantinya.
Kuperlambat langkah karena mendengar suara dari dasar hati yang berbisik agar aku melakukan itu. Kuputar kepala dan langsung setuju dengan feelingku sendiri yang bilang; ada orang TELAH membuntutiku. Sosok itu sudah kulihat sejak tadi, sejak keluar dari kampus dan sejauh itu dia mengikutiku. Sambil terus berjalan, kuhirup udara pelan-pelan dan spontan hidungku perih bagai tersayat sembilu. Ini musim dimana dinginnya adalah dingin yang paling dingin yang pernah aku rasakan.
Aku mengutuk diri sendiri, mengapa telat pulang. Perkuliahan baru usai pukul lima sore tadi dan aku terpaksa tinggal lebih lama bersama beberapa teman untuk menyelesaikan tugas. Yeah kau tahu, lazimnya semua orang disini berlomba menyelesaikan pekerjaannya justru pada musim dingin agar ketika musim semi atau musim panas nanti mereka bisa berpuas-puas diri pergi berlibur. Oh, tentu saja aku juga sudah punya rencana dengan teman-teman untuk mengisi liburan nanti.
Kurapatkan jaket dan syal yang menggantung di leher, melintasi Place de la Contrescarpe kemudian belok ke jalan Lacépède. Aku menoleh lagi dan dia masih disana. Aku melangkah cepat, dia cepat. Aku melambat, diapun ikut melambat. Kemudian aku sadar, mungkinkah dia memang sengaja menguntitku? Oh yeah, beberapa bulan ini, aku dihantui seorang secret admirer dan itu sangat mengerikan! Bayangkan: Dia, telah mengirimkan bermacam-macam hadiah padaku. Sebut saja dia mengirimi aku bunga. Bermacam-macam bunga. Bukan hanya satu jenis seperti rose yang sudah sangat biasa. Ini bunga-bunga yang namanya saja aku tidak tahu. Tidak berhenti disitu, dia juga mengirimi aku coklat dan baju-baju dari sebuah haute couture di Avenue des Champs Elysées. Itu mengerikan? Tidak. Yang mengerikan tentu saja hadiah-hadiah itu dikirimkan padaku, tanpa nama!
Bagiku, orang itu bukan sekedar secret admirer tapi perbuatannya dengan mengirimkan hadiah-hadiah tanpa nama itu, telah menjurus pada tindakan psychopath.
Kau pasti menduga, aku ini seorang selebritis karena punya pengagum. Bukan. Aku bukan artis, bukan orang terkenal, bukan selebritis. Tapi, aku punya banyak penggemar karena bentuk wajah dan fisikku berbeda dengan orang kebanyakan disini. Baiklah, aku kasih gambaran, kau pasti setuju jika kukatakan Dian Sastrowardoyo adalah potret wanita Indonesia sejati. Aku sih tidak bermaksud bilang kalau wajahku ini mirip Dian Sastro, tapi seperti dia, aku memiliki wajah Indonesia asli meskipun separuh darah Prancis mengalir di tubuhku.
Dalam keterdiaman sambil terus mempercepat langkah, aku menyesal telah menolak tawaran Sébastien untuk menjemputku. Ya, dia menelponku ketika aku berada di dalam kelas tadi. Aku hanya sedikit sungkan dan merasa selalu merepotkan kakak tiriku itu. Toh, kini hatiku sedikit lega ketika mendapati diriku telah sampai di jalan Mouffetard. Kulihat butiran-butiran salju yang tercerai berai dan kebingungan karena terombang ambing angin tak berperasaan itu, membentuk bayangan-bayangan aneh di depan sana. Meliuk-liuk, melambai-lambai, serupa penari yang sudah tampil all out, tetapi tidak ditonton. Putus asa.
Apartemenku tinggal beberapa meter saja dan aku berdoa, semoga segera terlepas dari orang itu. Kesadaranku belum mencapai titik tertinggi ketika aku merasa, tangan orang itu telah memegangi pundakku dan oh, dia mencengkeramnya! Aku ingin berteriak tapi tak satu nadapun kuhasilkan dari tenggorokan. Pria yang tengah mencengkeram bahuku kini adalah laki-laki dengan tinggi 175 sentimeter, bertubuh kurus, dan wajahnya tak dapat kukenali karena tertutup tudung kepala.
Segera kupejamkan mata dan memohon pada Tuhan jika aku harus mati jangan malam ini dan dalam keadaan seperti ini. Aku akui, aku memang banyak dosa tapi kan tidak harus mati dalam keadaan mengenaskan sebagai korban mutilasi seorang psikopat seperti yang banyak diberitakan koran.
“Au..Secours..!” setelah beberapa kali mencoba teriak, keluar juga suaraku. Aku berteriak meminta tolong, namun kurasa itu hanya sebuah bisikan yang mungkin hanya terdengar oleh orang ini saja. Tapi tiba-tiba saja, sebuah tinju yang datang dari arah belakang laki-laki itu, melayang tepat mengenai kepalanya.
Begitu cepat. Buk! Buk! Buk!
“Séb!” teriakku setelah mengenali siapa yang memukulnya. Sébastien! Aku sudah cerita, bukan? Saudara tiriku! Sejak kapan dia di belakangku? Sébastien berhasil membuat laki-laki itu jatuh tersungkur dan teronggok di tepi jalan. Sedikit niatku untuk menolongnya bangkit namun ketika aku menjulurkan tanganku untuk membantunya berdiri, Sébastien menepis tanganku.
“Touches pas!” jerit Sébastien menyuruhku untuk tidak menyentuh keparat itu. Dengan satu injakan kaki, Sébastien lagi-lagi berhasil membuat laki-laki itu terjengkang sambil memegangi dadanya. Kemudian dengan sigap, tangan kekar Séb menarik jaketnya dan melayangkan tinju lagi ke arah wajah dan tubuh laki-laki itu. Berkali-kali.
“Sudah Séb! Assez !!” kataku setelah kudengar erangan kesakitan dari mulut pria itu.
“Aku lihat dia mengikutimu sejak tadi. Kurasa, dia adalah orang yang selama ini menterormu dengan parcel-parcel tanpa nama!” kata Séb. Mengingat itu, aku mundur selangkah, menjauhi laki-laki itu walau sebenarnya dia tampak tidak berbahaya samasekali. Buktinya, tidak melawan ketika dipukul Sébastien. Orang itu terhuyung-huyung, berusaha bangkit sambil memegangi kepalanya.
“Sekarang kita apakan orang ini?” tanyaku. Sébastien meraih tudung kepala yang menutupi wajah orang itu dan menyingkapnya. O là là! Betapa terkejutnya aku ketika melihatnya. Wajah itu? Demi Tuhan!
“Julie..” orang itu berkata lirih dan melempar senyum tipis kepadaku. Aku sempat oleng karena tidak percaya pada mataku sendiri dan akupun berjongkok untuk melihat wajahnya lebih dekat dan astaga! Aku mengenalnya!!
“Kamu..?”
“Iya ini aku” jawabnya, lalu mengerang lagi sambil memegangi perutnya. Sébastien menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Mungkin dia heran karena ternyata aku mengenali ‘korban’nya. Alis matanya naik tanda minta penjelasan. Segera kubantu laki-laki itu untuk bangkit dan membopongnya.
“Séb, bantu aku, dong. Jangan bengong kayak gitu!”
“Apa? Aku harus menolongnya setelah kupukuli? T’es folle, toi !” seru Sébastien sambil mengetok-ketok pelipisnya dengan ujung jari telunjuk, gestur orang Prancis ketika mengatakan bahwa seseorang sudah gila.
“Sudah! Bukan saatnya berdebat. Aku kenal orang ini. Ayo kita bawa ke rumah. Kulihat pelipisnya sobek akibat tinjumu tadi”
Meski terlihat berat hati, Sébastienpun akhirnya menuruti perintahku, sambil mengomel tentu saja. Bersamaku, Sébastien membopong lelaki itu dan membawanya ke rumah kami yang hanya berjarak beberapa meter lagi. Seraya menuntun tubuh lemas itu aku meliriknya. Dalam hati aku tidak percaya, apakah dia Sang secret admirer itu..?