Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

After One Night 

Bab 6

Andin tinggal bersama dengan temannya di sebuah apartemen untuk sementara waktu. Di saat dia berpikir akan mencari kontrakan baru, tawaran tak terduga dari anak buah Aldebaran datang padanya.

Itu adalah hari liburnya, saat seorang wanita berusia 30-an mengetuk pintu dan datang khusus untuk bertemu dengannya.

"Saya di suruh oleh Pak Aldebaran untuk menyampaikan beberapa pesan pada Anda, Ms. Andin. Saya harap saya tidak mengganggu waktu istirahat Anda."

"Tidak, tidak. Anda sama sekali tidak mengganggu.

Wanita yang diketahui bernama Felicia itu tersenyum. "Kalau begitu saya akan langsung saja. Anda dapat membaca surat-surat ini dulu sebelum mendengarkan penjelasan dari saya."

Sebuah map berwarna kuning di serahkan kepada Andin untuk dia baca. Walau awalnya bingung, ia tetap melakukan perintah wanita itu. Ia membaca isi di dalam surat itu yang katanya pesanan dari Aldebaran.

Selama dia membacanya, raut wajahnya tampak berubah-ubah.

"Apa maksudnya ini?"

"Pak Al telah mengetahui kondisi Anda, Ms. Andin,"

"Dia memata-mataiku?" tanya Andin kaget.

"Pak Aldebaran melakukannya demi memastikan keselamatan Anda. Dengan Anda yang memilih tinggal bersama dengan teman, alih-alih dengan keluarga. Pak Al berasumsi, Anda mungkin ingin menyembunyikan kehamilan itu dari orang lain." Wanita itu menjelaskan seraya mengangkat kacamata yang bertengger di hidungnya.

Andin terdiam. Tebakan Al sama sekali tidak salah. Karena memang itulah yang dirinya lakukan sekarang. Ia pergi dari rumah orang tuanya, hanya demi menghindari ibu dan adiknya tahu tentang kondisinya.

"Mengenai pernikahan yang dikatakan direktur, tawaran itu masih berlaku apabila Anda nanti berubah pikiran."

"Itu tidak akan mungkin," Respons Andin mulai kesal.

Felicia tidak keberatan perkataannya di sela. "Karena demikian, satu-satunya yang dapat Anda pilih adalah dengan tinggal di tempat yang telah direktur kami sediakan untuk Anda. Selama masa kehamilan itu, Anda akan ditunjang keseluruhan kebutuhan Anda."

Dan serangkaian tawaran yang menggiurkan dari Aldebaran mengalir dari bibir Felicia. Andin jadi tak berkutik dibuatnya. Dengan tawaran menarik semacam itu, adalah hal bodoh apabila dia masih menolak.

Aldebaran tidaklah salah menebak. Walau mereka baru beberapa kali bertemu, tampaknya penilaian tajam pria itu begitu berpengaruh di sini.

"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ucap Andin merasa tak berdaya. Tahu bahwa sesungguhnya dia tak punya pilihan lain, permintaan seperti meminta waktu untuk berpikir adalah demi meyakinkan dirinya sendiri akan pilihan yang dirinya ambil.

Felicia mengangguk mengerti. Ia mulai membereskan surat-surat di atas meja. Yakin, bila nanti wanita muda di hadapannya itu mau membubuhkan tanda tangannya di atasnya, dan itu artinya pekerjaannya akan selesai. Karena tidak sekarang, maka surat itu harus dirinya bawa kembali.

"Kalau begitu saya pamit undur diri. Apabila Anda telah berubah pikiran, Anda dapat menghubungi saya langsung atau panggil saja Pak Aldebaran. Beliau akan segera datang untuk menemui Anda, begitu pula dengan saya."

"Ya, baiklah." Andin setuju, lalu mengantar Felicia sampai depan pintu. Sampai sosok wanita itu menghilang di lorong, ia kembali duduk di dalam. Merenung.

***

Di sebuah restoran cepat saji sebagai menu utama, Elsa yang baru saja menyelesaikan kuliahnya datang lebih awal ke tempat kerja.

Demi membantu keuangan keluarga, ia telah bekerja paruh waktu di restoran itu selama dua tahun belakangan. Pemiliknya merupakan seorang kenalan. Tepatnya, kakak dari sahabatnya.

"Buatkan aku jus buah naga sama ayam goreng pedas." Sienna duduk di konter, memesan makanan pada Elsa.

"Tunggu sebentar, aku perlu bersihkan ini dulu." ujarnya melanjutkan membersihkan meja serta peralatan lainnya yang ada di pantry.

Sienna celingak-celinguk, mencari seseorang tapi tidak mendapati orang yang dicarinya selain satu karyawan lain yang sedang melayani pembeli.

"Apa kakakku jarang kemari?" tanyanya seraya menopang dagu.

"Kakakmu datang setiap seminggu sekali," jawab Elsa tanpa berbalik, "Apa kakakmu itu masih tidak mau pulang ke rumah?"

"Yah begitulah. Sebelum ayah kami membatalkan rencana perjodohan itu, dia tidak akan pulang. Sangat kekanak-kanakan menurutku."

Elsa menghela napas, layaknya orang yang telah dewasa padahal usianya masih muda. "Kau tidak bisa menilai keputusan kakakmu seperti itu. Kau kan tidak tahu alasan dibaliknya mengapa kakakamu menentang perjodohan itu. Lagi pula ini sudah jaman modern, tak umum lagi menikah dijodohkan-jodohkan."

"Kata siapa tidak umum? Di kalangan kami, pernikahan bisnis semacam ini lebih penting, lebih menguntungkan dari pada menikah karena cinta." komentar Sienna mendengkus dingin. Ia tidak menyalahkan pikiran Elsa yang berbeda darinya. Karena bagaimana pun, ia memahami perbedaan status sosial mereka.

Elsa tidak lagi melanjutkan bicara. Ia telah menyelesaikan mengelap meja dan kini beralih untuk membuatkan pesanan Sienna.

Dia bertemu dengan Sienna karena mereka satu sekolah dan satu jurusan di bidang manajemen bisnis. Sejujurnya, dia tak punya banyak uang untuk bisa membayar sekolahnya. Namun berkat kepintaran serta ketekunannya dalam belajar, ia juga kompetitif, hingga membuat dia berhasil mendapatkan beasiswa.

Sekolahnya itu merupakan sekolah internasional terkenal. Biayanya begitu fantastis dan dia perlu bersaing dengan orang-orang pintar lainnya hanya untuk mendapatkan poin lebih agar beasiswa-nya tidak di cabut.

Ia paham betul, itu adalah kesempatan yang dia miliki apabila ingin mengubah kondisi keuangan keluarganya. Kehilangan tulang punggung keluarga, dan mengandalkan satu-satunya kakak perempuan untuk bertahan hidup tidaklah mudah. Bagi dia maupun sang kakak.

Walau Andin jarang sekali mengeluh, tapi ia tahu kesulitan yang ditanggungnya. Dia hanya bisa membantu sedikit dengan memiliki pekerjaan sampingan ini. Gajinya cukup untuk biaya makan mereka selama beberapa hari. Sama seperti yang dilakukan oleh Andin selama ini, dia tidak mengeluh dengan kondisi keluarga mereka yang bisa dibilang jauh dari kata cukup.

Mungkin begitulah, ketekunan untuk bertahan hidup dapat menjadikan kekuatan mereka di saat-saat sulit.

***

Andin di jemput oleh sopir di sore harinya selepas pemberitahuan dari Felicia.

"Kau yakin akan pergi?" Jennifer yang notabene teman Andin bertanya.

"Aku dengar kakakmu akan datang kemari, kan. Jadi aku memutuskan lebih baik pergi lebih awal sebelum kakakmu datang."

Jennifer berjalan masuk ke dalam, lalu duduk di kursi menghadap Andin yang sedang membereskan pakaiannya. "Aku tidak keberatan kalau kau tinggal bersamaku lebih lama, Ndin. Lagi pula kakakku hanya sebulan saja menumpang di sini. Setelah itu, aku tinggal sendirian lagi di apartemen besar ini. Itu akan membosankan seperti biasa."

Andin menggelengkan kepalanya. Walau dia ingin sekali menerima tawaran itu, tapi kondisinya tidak memungkinkan baginya untuk terus tinggal. Kehamilannya terlalu mustahil untuk bisa ditutupi.

Selama dia masih bersikeras ingin mempertahankan bayi yang dikandungnya, menerima tawaran dari Al adalah satu-satunya cara terbaik yang dapat membantu menyelesaikan kegundahannya. Memikirkan pria itu, dia tidak tahu apakah mereka nantinya akan tinggal bersama atau tidak.

"Aku sudah selesai." ujar Andin memberitahu lalu mengambil charger berserta ponsel dan memasukkannya ke dalam tas.

Ia memutar badannya menghadap Jennifer, senyum terbaik ia tunjukkan tatkala rasa syukur atas bantuan sang teman sangatlah menolongnya. "Terima kasih banyak karena bersedia membantuku. Aku akan menghubungimu kalau nanti sudah sampai di rumah temanku."

"Tidak perlu aku antar?"

"Tidak. Seseorang akan menjemput."

Jennifer mengantar Andin pergi sampai sosok temannya itu menghilang ke dalam lift.

Begitu Andin turun dari gedung apartemen, mobil sedan telah menunggu kedatangannya.

"Ms. Andin, saya Purnomo, sopir pribadi Tuan Aldebaran yang diperintahkan untuk mengantar Anda."

"Bisakah kita pergi sekarang?" tanyanya seraya melirik ke sekitar, takut seseorang akan melihatnya berdiri di samping mobil mewah.

"Apa hanya ini saja barang bawaan Anda?"

"Itu saja."

Sopir itu mengangguk mengerti. Ia membuka pintu belakang, mempersilahkan Andin masuk ke dalam mobil. Kemudian memasukkan barang-barang Andin ke dalam bagasi.

Perjalanan itu hanya menempuh jarak beberapa kilometer saja dari tempat tinggal teman Andin.