Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

After One Night 

Bab 5

“Aku tidak bermaksud berbuat kasar padamu. Tapi sikapmu tadi ... sangat menjengkelkan. Kau tidak perlu berbohong padaku hanya karena tidak mau aku bertanggung jawab untukmu.” Al menghela napas lemah. Tangannya yang memegang bahu Andin berpindah mengusap air mata yang membasahi pipi kedua wanita tersebut.  
Dia tidak bisa melihat wajah menangis sang wanita dan hanya dapat mendengar isakan tertahan meski samar.  
“Jika alasanmu menolak ku karena kau memiliki kekasih, aku dapat menerimanya. Kita dapat membicarakan masalah ini baik-baik, tapi yang pasti aku tidak akan membiarkan anak di dalam perutmu tak mengenal siapa ayah kandungnya. Selama kau bersedia bekerja sama denganku, aku akan menghormati setiap keputusan dan privasimu.” Ucapnya lagi seraya terus menghapus bulir air mata yang tidak berhenti mengalir.  
Ada janji serta kesungguhan di dalam kata-kata Al. Andin yang tadi terus menunduk mengangkat kepalanya perlahan. Pandangannya berubah buram dikarenakan air matanya. Wajahnya berubah sembab tapi tak mengurangi kecantikannya sama sekali. Justru dengan raut wajahnya yang menyedihkan seperti itu membuat seseorang ingin melindunginya, dan itu lah yang dirasakan oleh Aldebaran kini.  
“Apakah yang Anda katakan benar?” tanyanya ingin memastikan apa yang dirinya dengar.  
Al mengangguk, “Jadi, katakan yang sejujurnya padaku, apakah anak itu milikku atau tidak? Jangan mencoba berbohong lagi. Aku tidak suka dengan orang yang suka berbohong. Jadi pastikan kau sudah tahu jawaban yang akan kau beritahukan padaku.”  
Andin menggigit bibirnya tanpa sadar, kebiasaannya di kala wanita itu sedang gugup. Masih bingung menyusun kata-kata yang menurutnya tepat. Bagaimana pun, tadi ia bersikeras bahwa anak itu bukanlah milik Al. Kejadian itu bahkan belum sampai setengah jam tapi dia dibuat tak berkutik dan tak punya alasan untuk berbohong kembali.  
Tatapan Aldebaran berlama-lama melihat pada bibir Andin yang digigit. Ia merasa haus hanya dengan melihat aksi erotis – menurutnya – yang dilakukan oleh Andin. Meski begitu, dia tidak mengalihkan pandangannya. Justru dua jarinya terulur untuk membelai bibir sang wanita yang terasa lembut di kulit jarinya.  
“Jangan gigit,” perintahnya dengan suara terdengar serak.  
Andin membeku kaku. Ia melepas gigitannya dan cetakan giginya terlihat sekilas di bibirnya. Itu hanya tindakan singkat namun Al langsung kehilangan kesabarannya.  
Tahu-tahu saat Andin sadar dengan apa yang terjadi, tubuhnya telah direnggut dalam pelukan erat pria itu, dagunya terangkat dan mulutnya dicium keras.  
“A-Apa yang baru saja Anda lakukan?” Andin mendorong Aldebaran menjauh. Wajah cantiknya tampak shock. Tidak mengerti mengapa laki-laki ini menciumnya. 
Jika bertanya pada Al pun, pria itu tak akan tahu jawabannya. Karena tadi itu tindakan spontan dikarenakan melihat kecantikan yang mengagumkan terpapar dalam jarak pandangnya. 
Aldebaran memundurkan tubuhnya. Kedua telinganya berubah merah lantaran malu karena sembarangan mencium wanita. Apalagi wanita itu seperti Andin. Polos dan naif seperti perempuan baik-baik yang tidak pernah terlibat dengan para lelaki. 
“Maaf, tadi aku ... tidak sengaja. Kau tadi kelihatan cantik sekali,” Ujarnya seraya memalingkan muka ke samping. Ia mengusap hidung mancungnya, ingin bersin tapi tidak jadi. 
Andin pun ikutan kikuk. Masih terasa bekas ciuman tadi di bibirnya yang kini sedikit lembab, dan kehangatan dari pria itu tampaknya belum pudar dari sana. 
“Apa kita jadi masuk ke dalam atau tidak?” Ia bertanya mengingatkan untuk apa pria itu membawanya ke rumah sakit. 
“Tentu. Meski kau telah mengaku, namun ini demi kebaikan bersama.” 
Al keluar terlebih dulu, di susul kemudian oleh Andin dan mereka berjalan saling berdampingan layaknya pasangan suami istri. 
Sebelumnya, Aldebaran telah menghubungi dokter kandungan yang dia kenal dan mereka tak perlu mengantre untuk melakukan pemeriksaan. Ketika Andin melihat hal itu, ia hanya bisa mencibir dalam benaknya betapa uang memang dapat membeli segalanya. 
“Anda bisa berbaring di atas brankar.” Suruh dokter wanita itu bicara pada Andin.  
Al awalnya tidak mau masuk, tapi dipanggil oleh dokter karena pria itu menyebutkan diri sebagai kekasihnya.  
Dokter mengoleskan gel di atas perut Andin. Tatapan Aldebaran mengikuti tangan dokter yang bergerak memeriksa perut wanita itu. Membuat Andin malu karena lagi-lagi pria ini lah yang harus melihatnya setengah telanjang, meski tak sepenuhnya begitu. 
“Apa Anda melihat ini,” Dokter menunjuk pada layar, pada gambar kabur yang memperlihatkan sesuatu mirip kacang almond.  
“Sayangnya kita masih belum bisa mendengar dengan jelas suara detak jantungnya. Anda bisa datang melakukan pemeriksaan lagi nanti.”  
Aldebaran tampak tertegun. Terlihat takjub dengan gambar bulat di layar. Itu adalah bayi mereka. Anaknya, batinnya dengan jantung berdebar kencang. Tak pelak ia sejujurnya merasa senang.  
Dia tak pernah membayangkan akan menjadi seorang ayah secepat ini. Perasaannya ini sulit sekali digambarkan seperti apa. Tapi yang pasti, dia bahagia.  
Pemeriksaan itu selesai dengan cepat. Keduanya keluar dari rumah sakit dan pada saat mereka berada di dalam mobil, Andin bisa merasakan aura laki-laki di sampingnya agak berbeda.  
“Apa kau lapar? Sebelum kembali ke hotel, kita makan malam dulu.”  
Andin ingin menolak, tapi perutnya yang lapar tidak dapat berbohong. Teringat bahwa ada nyawa lain dalam perutnya, ia menekan egonya yang ingin menolak ajakan tersebut.  
“Terserah Anda.” Jawabnya singkat, malu-malu. “Setelah ini, Anda tidak perlu mengantar saya balik ke hotel. Saya akan langsung pulang saja.”  
Dahi pria itu tampak berkerut, seolah tak setuju dengan keputusan Andin. Tapi dia sadar diri tak punya wewenang menghentikan apa pun yang mau Andin lakukan.  
“Aku akan mengantarmu. Setelah ini, setelah kita selesai makan.” Ujarnya setuju.  
Aldebaran mengajak Andin makan ke sebuah restoran bintang lima yang letaknya tak jauh dari pusat kota. Itu adalah restoran yang terkenal dengan hidangan steak serta red winenya.  
Andin menyerahkan pesanan pada Aldebaran. Dan hanya bilang saat pria itu memesan wine, “Saya tidak minum alkohol. Anda saja. Terima kasih.” 
“Meskipun kau bisa minum alkohol pun, aku tidak akan memesankan wine untukmu. Aku tidak akan lupa kalau kau sedang hamil.” Tandas Aldebaran dengan senyum seringainya seolah mengejek IQ Andin.  
Wanita itu langsung malu. Seolah kepanasan padahal ruangan full AC, dia mengipas-ngipasi mukanya yang terasa panas membakar.  
Diam-diam Aldebaran menarik sudut bibirnya. Rona merah muda di pipi putih itu, begitu cantik.  
Mereka menyelesaikan makan sekitar setengah jam sebelum kemudian Andin yang tiba-tiba diserang kantuk hebat minta di antar pulang.  
Dan di sinilah keduanya berada, di depan gedung apartemen yang alamatnya tadi diberitahukan pada Aldebaran.  
Al melepas seat-belt, menyangga kepalanya di lengan yang bersandar di kemudi saat tatapannya yang lembut menatap Andin di sampingnya. Wanita itu jatuh tertidur tak lama saat mobil berada di jalan.  
Ia tak tega membangunkannya. Menggendongnya pun percuma karena dia tidak tahu nomor apartemen wanita itu. Jadi dia menunggu hampir dua jam di bawah gedung apartemen Andin sampai kemudian dia membangunkan sang wanita.  
“Andin, kita sudah sampai.”  
Terdengar erangan samar dari bibir Andin yang menguap. Wanita itu tak butuh lama bangun dari tidurnya. Ia dengan linglung menatap sekitar, melihat ke arah Al yang masih bertahan dengan posisinya lalu tertegun begitu melihat jam di layar ponselnya.  
“Hampir tengah malam,” pekiknya tanpa sadar, “Kenapa Anda tidak membangunkan saya?!”  
Ia merasa tak enak hati telah membuat bosnya sendiri menungguinya bangun tidur.  
“Kau tampak nyenyak tidur. Aku sudah membangunkan kau, tapi itu sia-sia. Sudahlah, karena kau sendiri pun sudah bangun juga, cepat turun.” Usirnya tiba-tiba menjengkelkan seperti sebagaimana mestinya. Sangat berbanding terbalik dengan sikapnya tadi yang penuh perhatian.  
Andin menurut saja, tidak mau berdebat. “Terima kasih banyak untuk makan malam dan karena sudah mengantar saya pulang. Hati-hati di jalan.”  
Al berdeham singkat, tidak langsung melajukan mobilnya pergi. Ia menunggu selama lima menit sampai sosok Andin tidak kelihatan sebelum kemudian dia pun ikut pergi.