Contents
After One Night
Bab 4
Di kediaman sederhana yang dihuni oleh dua orang, Elsa baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk dirinya dan sang ibu.
Sesekali pandangannya akan bergeser antara ponselnya dan jam di dinding. Menunggu kedatangan sang kakak yang diketahui belum juga pulang. Ponselnya tidak dapat dihubungi meski dia telah mendapatkan kabar bahwa sang kakak telah pulang dari bekerja.
Tak seperti biasanya Andin pulang terlambat dan lupa memberi kabar orang rumah. Fakta bahwa ibu mereka senantiasa khawatir apabila anak-anaknya tidak memberi kabar, kebiasaan untuk memberikan informasi keberadaan adalah hal wajib yang harus mereka berdua lakukan. Demi memastikan agar ibu mereka tidak terlalu khawatir yang dapat menyebabkan timbulnya kambuh penyakit akibat stres.
“Apa kakakmu belum juga pulang?” Sarah yang baru saja keluar dari kamar, pergi ke dapur dan bertanya pada Elsa.
“Mungkin sebentar lagi akan tiba, Ma. Aku sudah menghubungi kak Andin, dan dia bilang ada lembur malam ini.” Ucapnya berbohong.
Sarah duduk di kursi, menerima piring berisi nasi yang diberikan oleh sang putri. “Mama cemas karena kemarin kakakmu tampak pucat. Apalagi tadi pagi pun kakakmu pergi begitu saja tanpa menunggu kita bangun.”
Elsa mengatupkan bibirnya. Perihal keanehan Andin yang lebih awal pergi kerja, dia tidak memberitahu sang ibu bahwa mungkin itu berkaitan dengan percakapan mereka tadi malam.
Mengingat hal ini, dia yakin sekali ada hal penting yang kakak perempuannya itu tutup-tutupi darinya. Walau dia telah berusaha keras bertanya mengapa sang kakak pergi ke rumah sakit, kakaknya itu tetap saja berbohong dengan menyatakan pergi mengunjungi sang teman. Teman yang mana, dia tidak diberi tahu.
Oleh sebab itu, sekalian saja tadi saat dia menghubungi sahabat sang kakak, ia tak lupa bertanya tentang teman yang katanya di rawat di rumah sakit. Jawabannya begitu mengejutkan karena Mirna bahkan tidak tahu ada salah satu rekan mereka yang sakit saat ini.
Dia jadi tambah yakin jika jawaban yang diberikan sang kakak benar-benar bohong belaka.
“Tapi tak seharusnya dia berbohong padaku.” Pikir Elsa tambah bingung.
Di kala keduanya sedang menyantap makan malam, Andin yang baru saja sadar dibuat terheran-heran akan keberadaannya yang satu ruangan dengan Aldebaran.
Menurut perkataan pria itu, tadi dia pingsan. Dokter telah memeriksa kondisinya dan kelelahan adalah penyebab dirinya jatuh pingsan. Selain itu, ada bungkusan plastik yang diletakkan di atas meja yang membuat dia tidak tahu harus melihat ke arah mana.
Tatapan pria itu terlalu tajam memandangnya. Bahkan pertanyaan yang tadi diajukannya ia takut untuk menjawab.
Al kembali menghela napas, berusaha bersabar menghadapi keterdiaman Andin.
“Tidak sulit buatmu untuk menjawab pertanyaan yang aku ajukan Andin. Katakan, apakah bayi di dalam perutmu adalah milikku?”
Andin bungkam dan hanya dapat melihat ke sembarang arah.
Dengan satu dua kali langkah, Al lantas mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Sepasang tangannya terulur demi menangkup wajah ayu Andin untuk menghadapnya.
Tidak punya tempat meletakkan pandangannya, Andin berakhir menatap pada bibir pria itu yang pernah memberikan jejak pada seluruh tubuhnya. Tatkala dia mengingat betapa lembutnya bibir itu pernah menciumnya, seluruh tubuhnya bergetar panas.
“Tidak mau menjawab?”
Andin menggelengkan kepalanya.
“Tidak menjawab berarti benar itu adalah anakku.”
“Bu-bukan ...!”
“Kau yakin?” Desak pria itu seraya menatap ekspresi cemas itu lekat-lekat, “Mudah bagiku untuk mencari tahu apakah bayi yang dikandung dirimu milikku atau bukan. Malam ini, entah kau mau atau tidak, aku bisa membawamu ke rumah sakit sekarang juga untuk melakukan pemeriksaan. Kalau kau tidak percaya aku dapat melakukannya, kau boleh terus menerus mengelak memberikan aku jawaban yang sebenarnya.”
Andin menelan ludah gugup. Dihadapkan pada sepasang mata menakutkan itu, ia gemetaran. Hampir saja dia meringis kesakitan tatkala cengkeraman di kedua pipi hampir melukai rahangnya. Namun dia menahan suaranya hingga matanya berubah berkaca-kaca.
“Bukan ... anak ini bukan milikmu!” tegasnya keras kepala membantah, “Selain kau, aku juga tidur dengan pria lain.” Tambahnya kemudian berbohong.
Mendengar pengakuan yang mengejutkan itu, raut wajah Al berubah dingin. Andin tidak tahu bahaya macam apa yang dibawanya saat dia berkata bohong seperti itu.
***
Blam!
Suara pintu mobil yang ditutup keras membuat Andin tersentak. Kedua tangannya bergetar hebat di atas lutut dikarenakan takut.
Ia tak menyangka bahwa Aldebaran akan bertindak sesuka hati tanpa mengindahkan penolakannya. Saat dia berkata bahwa anak di dalam perutnya bukanlah miliknya, Al tidak percaya.
Dan alasan lain yang coba dirinya berikan akhirnya menyulut kemarahan laki-laki itu.
Aldebaran benar-benar membuktikan perkataannya langsung seketika itu juga pada Andin. Terbukti dengan pria itu yang menyeret Andin keluar dari hotel, lalu membawa wanita itu pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes apakah Andin benar hamil atau tidak.
“Anda tidak bisa melakukan ini pada saya!” Walau Andin takut menghadapi pria yang marah di sampingnya, ia tetap memberanikan diri bicara. Ia tidak mau pergi ke rumah sakit. Ia tidak mau laki-laki ini tahu kebenarannya.
Tanpa menolehkan kepalanya, Al menyahut, “Bisa atau tidak, terserah padaku yang memutuskan!”
“Pak Al, bahkan jika anak ini memang benar milik Anda, saya tidak akan meminta Anda untuk bertanggung jawab.”
“Jika benar itu darah dagingku yang kau kandung, aku tidak akan melepaskannya.”
Bibir Andin bergetar, merasa kalah dan tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi bosnya. “A-Apa yang akan Anda lakukan?”
Al tidak langsung menjawab. Namun pegangannya pada kemudi membuat Andin menyadari betapa pria ini bukanlah tandingannya. Dalam hal apa pun, hanya akan ada kekalahan di masa depan.
“Apa yang akan Anda lakukan?!” tanyanya lagi dengan alis bertaut marah.
Mobil itu berhenti di sebuah rumah sakit swasta yang terkenal. Al tidak langsung turun, begitu pula dengan Andin yang berusaha membuka pintu mobil dan ingin kabur, terjebak di dalamnya di karenakan pintu yang terkunci.
Ia takut. Takut menghadapi keterdiaman Aldebaran yang menyebabkan atmosfer di sekelilingnya berubah sesak dan dingin. Ia merasa seolah napasnya terenggut, dan butir keringat terus bermunculan di punggung serta lehernya.
“Aku bisa memaksamu untuk menikah denganku. Atau kalau kau bersikeras menolak, aku bisa mengurungmu sampai anak di dalam perutmu itu lahir.”
Perkataan Aldebaran begitu jelas terdengar di ruangan sempit. Andin mengangkat kepalanya, pandangannya bersitatap dengan mata dingin Al yang melihatnya balik dari pantulan kaca jendela mobil.
“Tidak, Anda tidak dapat melakukannya. Itu ... itu kejahatan,” Andin bergumam tak sadar seraya menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Dengan kau yang ketakutan seperti ini, itu berarti benar anak ini adalah milikku. Seandainya kau tidak keras kepala seperti tadi, aku tidak akan bertindak keras terhadapmu.” Ujarnya mengingatkan, siapa yang lebih dulu memulai mencari gara-gara.
“Andin....” Al merendahkan suaranya berubah jadi lembut, tidak kasar lagi yang membuat takut wanita lemah di hadapannya kini. Ia meraih kedua bahu wanita itu, meremasnya kuat sejenak, lalu memutarnya agar dia dapat melihat wajah cantik wanita tersebut.
Saat tatapannya melihat cairan bening yang mengalir dari wajah tertunduk itu, ia merasakan penyesalan karena sudah menakut-nakuti Andin.
__
Al di sini nggak berengsek kok. Dia udah suka, cuman gengsi aja ngakuin. Makasih ya bagi yang udah mampir.