Contents
After One Night
Bab 2
Andin terdiam, namun tatapannya awas memandang Nino yang kini tampak kalut dan frustrasi.
“Kau tahu aku selalu memercayaimu, Nino. Dan kau hanya perlu jujur tentang kau lah orangnya yang menjebakku malam itu.” Ucap Andin getir.
“Aku bersyukur karena menjadi orang yang kau percaya. Tapi tolong, untuk kali ini jangan ragukan aku. Bagaimana mungkin aku melakukan hal buruk seperti itu padamu?”
“Aku mencintaimu, Ndin. Sejak saat kita berada di kampus yang sama, aku sudah mencintaimu. Kenapa kau tidak percaya?” tanya Nino tampak sedih. Cukup sulit baginya memendam perasaan suka ini pada wanita di hadapannya kini.
Ia terus membisikkan pada dirinya agar terus bersabar dan menyemangati apa pun pilihan Andin kala itu. Ia sanggup menunggu sampai Andin mau membuka hati.
Bibir wanita itu tampak bergetar ringan. Ungkapan cinta yang lagi-lagi dia dengar, membuat hatinya berdenyut sakit. Bukannya dia tidak tahu tentang perasaan Nino padanya. Hanya saja dia tidak berani untuk menerima perasaan Nino kala itu. Kesibukannya dalam menuntut ilmu dan menjadi penopang keluarga menyebabkan dirinya harus rela mengorbankan kesenangannya sendiri.
Dia tidak punya waktu untuk menjalin sebuah hubungan dengan pria, meski orang itu adalah Nino sekalipun. Walau dia juga memiliki perasaan yang sama pada laki-laki ini, namun dia mengenyahkannya di saat itu juga. Dia tidak berani menerima Nino dikala dirinya tidak yakin bisa menjadi kekasih yang pria itu inginkan.
Tetapi, dia tidak menduga, jika pria ini begitu teguh dalam mencintainya. Hingga akhirnya mereka bertemu kembali di hotel ini, bekerja di tempat yang sama, akhirnya cinta lama yang telah dirinya coba hapus kembali bersemi.
Akan tetapi sayangnya, dia bukan lagi gadis yang sama seperti beberapa tahun yang lalu. Perbedaan kasta diantara mereka akhirnya membuat dia sadar, betapa tidak cocoknya dirinya bersama dengan Nino. Pria ini masih sama bersinarnya dan terhormat. Sedangkan dirinya, hanya gadis biasa yang terjebak siklus menyedihkan kehidupan. Dari dulu hingga sekarang, hidupnya tidak berubah sama sekali.
“Andin.” Panggil Nino dengan suara lembut. Wajahnya condong ke depan sedangkan satu tangannya yang tadi berada di bahu wanita itu berpindah memegang dagunya.
Andin memalingkan muka, tatkala wajah tampan itu mendekat. Dari jarak sedekat itu, ia dapat merasakan hembusan napas Nino pada wajahnya, dan dia merasa tak nyaman.
“Aku mencintaimu,” ucapnya berbisik yang hanya bisa didengar keduanya. Ia mencium pipi kanan sang wanita menyebabkan sepasang mata berwarna almond itu terbelalak dan tubuh yang hampir dipeluknya gemetar.
“Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu,” ungkapnya lagi seraya menarik wajah cantik itu agar menghadap padanya.
Andin menelan ludah gugup. Kedua tangannya mendorong dada Nino agar tidak menghimpitnya dan agar dia dapat menarik napas. “Ni-no ....”
“Tolong, percaya padaku dan jangan lari lagi. Aku sudah lama menunggumu.” Kedua bibir yang tadinya dekat itu hampir saja menyatu andai saja keintiman mereka tidak diinterupsi oleh orang lain yang hadir.
“Nona Andin....”
Panggilan tiba-tiba itu menyentak Andin serta menyadarkannya dimana kini dia berada. Buru-buru ia mendorong Nino menjauh darinya lalu menolehkan kepalanya ke samping untuk melihat siapa yang tadi memanggil.
Rendy yang diperintah untuk membawa Andin menemui bosnya berdiri tak jauh dari kedua pria dan wanita yang tampak sedang berpelukan tadi. Dengan langkah mantap, ia berjalan menghampiri. Ia menyapa Nino sebentar lalu berbicara pada Andin. “Nona Andin, tolong ikuti saya. Direktur ingin bertemu dengan Anda.”
“Direktur?”
“Pak Al?”
Kedua suara itu saling bersahutan saat nama sang pemilik hotel diungkap. Nino mengerutkan alisnya bingung dan langsung mengarahkan pandangannya pada Andin yang tampak membeku.
“Kenapa Pak Al memanggilnya?”
Menanggapi pertanyaan itu, Rendy masih mempertahankan ekspresi ramah dan sopannya. “Untuk itu, maaf saya tidak dapat memberitahu Anda. Saya hanya diperintah untuk membawa Nona Andin ke tempat direktur berada.”
Aldebaran ingin bertemu denganku? Batin Andin terkejut sekaligus gugup. Tanpa disadari dirinya, tangannya bergerak melingkari perut. Ketakutan menguasainya saat pikiran buruk mulai muncul.
“Apa dia tahu kalau aku hamil anaknya?” batinnya lagi gelisah.
Tapi itu tidak mungkin. Tak ada seorang pun yang tahu apabila dirinya kini tengah mengandung. Dan pria itu, tak mungkin ingat dengan dirinya, bukan?
Kejadian itu sudah berlalu tiga bulan lalu, dan itu merupakan pertemuan pertama mereka. Mustahil bagi Aldebaran untuk langsung mengenalinya di pertemuan kedua mereka tadi.
Walau awalnya dia sangsi Aldebaran dapat mengenalnya, ia masih mempertahankan sikap pura-pura tak mengenal pria itu. Siapa yang tahu jika akhirnya dia akan dipanggil untuk menemui pria itu lagi.
Rendy yang tidak punya kesabaran untuk menunggu, kembali memanggil Andin.
“Direktur sudah menunggu Anda, tolong ikut saya.”
Andin yang tidak mau menemui bosnya, mencari alasan untuk menolak. “B-bisakah saya menolak menemuinya hari ini? Saya sedang tidak enak badan, dan apabila tidak keberatan, Anda dapat memanggil saya lagi besoknya.”
Jalan satu-satunya yang dapat dirinya pikirkan adalah menunda. Lagi pula besok merupakan waktu di mana dia sedang libur. Setidaknya satu hari sudah cukup waktu baginya untuk memulihkan pikirannya yang kini berkecamuk.
Mendengar hal itu, Rendy ragu-ragu.
Dia lantas menggelengkan kepalanya menolak. “Maafkan saya. Saya hanya mematuhi perintah direktur saja.”
Tak punya pilihan, akhirnya Andin bersedia meski dengan terpaksa menemui Aldebaran. Tepat ketika dia mengikuti langkah Rendy yang telah berjalan lebih dulu di depannya, Nino menghentikannya kembali.
“Apa hubunganmu dengan direktur kita, Andini?” tanya pria itu penasaran. Perasaan cemburu yang dirasakannya tak disembunyikannya oleh Nino untuk dilihat oleh Andin.
“Apalagi memangnya selain atasan dan bawahan?”
“Tetapi bagaimana bisa direktur ingin bertemu denganmu? Pria super sibuk itu? Orang yang jarang sekali terlihat berinteraksi dengan bawahannya? Bagaimana mungkin meminta bertemu denganmu kalau bukan karena kalian saling mengenal?”
Apa yang ditanyakan Nino tidak lah salah. Dengan identitas yang dimiliki oleh Aldebaran serta keterkenalannya akan sifat dingin dan acuh tak acuhnya, bagaimana bisa kenal dengan orang seperti dia?
Jika bukan karena satu malam yang mereka habiskan bersama malam itu, ia pun tak dapat percaya apabila sang presdir meminta bertemu dengannya.
Namun, masalah ini, dia tak perlu membicarakannya pada Nino, kan? Apabila pria asing yang tidur dengannya di malam itu merupakan bosnya sendiri.
Andin melepaskan pegangan Nino pada lengannya. Tanpa melihat kepada pria itu, ia menjawab dingin, “Tak ada hubungannya denganmu. Aku pun tak punya kewajiban untuk memberitahumu semua masalah pribadiku, Nino. Kau harus ingat kita hanya rekan saja, tidak lebih.”
Untungnya Rendy begitu sabar menunggu Andin datang menghampirinya. Pada saat Andin masuk ke dalam lift, ia sebenarnya merasa tak enak hati telah membuat menunggu kaki tangan sang bos.
Dalam perjalanan menuju ke ruangan Aldebaran, tiba-tiba saja keringat dingin kembali muncul membasahi dahi serta punggungnya. Andin mengambil langkah mundur, bersandar di dinding lift.
Rendy yang melihat kelakuannya bertanya heran “Apa Anda baik-baik saja?”
“Bukannya tadi aku bilang aku sedang tidak enak badan?” batin Andin menjawab sinis. Berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang buruk, di permukaan ia tidak menampilkannya dan hanya memberi isyarat pada Rendy kalau dia tidak apa-apa.
Rendy tidak bertanya lagi, kembali menengok ke atas di mana nomor lantai terus naik. Begitu lift berhenti, ia keluar lebih dulu lalu kemudian disusul Andin.
Semakin dekat dirinya menemui Al, semakin banyak pula keluarnya keringat dingin di punggungnya. Dia juga merasakan keinginan untuk muntah. Akan tetapi dia terus mencoba menahannya.