Contents
After One Night
Bab 1
Di sebuah hotel, sebuah perusahaan kenamaan tengah mengadakan pesta. Beberapa tamu penting di undang oleh sang empu acara. Salah satu dari orang penting tersebut, turut datang seorang pria lajang yang keberadaannya telah menyita banyak perhatian, terlebih oleh para kaum hawa.
Aldebaran Al-Fahri, putra sulung dari keluarga konglomerat pasangan Rosa dan Hartawan.
Kedatangannya malam itu – demi menggantikan sang ayah – malah berbuah petaka saat Al dijebak oleh musuhnya.
Andin adalah orang yang menemukan sosok Al kala pria itu tidak bisa berpikir jernih. Berniat ingin menolong, Andin malah terlibat satu malam dengan Al.
Al membuka mata saat dia mencium aroma wangi yang datang dari dekat. Tanpa sadar, dia mengendus aroma itu.
“Apa kau perempuan yang disewa oleh asisten ku?” Pria itu bertanya dengan suara serak. Sepasang matanya nampak nyalang kala melihat Andin yang kini terpekur di atas lantai.
Sesaat setelah dia membawa Al ke kamar yang pria itu sebutkan padanya, dia merasakan keanehan mulai menjalar seluruh tubuhnya. Akibat keanehan itu, niatannya untuk pergi dari kamar gagal saat kedua kakinya berubah lemas tak bertenaga dan napasnya jadi terengah-engah seolah habis berolahraga berat.
Suara Al yang melayang di atasnya diacuhkan Andin. Gadis itu berusaha berdiri tegak tapi lagi-lagi gagal.
“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya bingung mengabaikan bahaya yang kali ini akan datang padanya.
“Hey, aku bertanya padamu.” Tidak mendapat tanggapan, Al bertanya kesal. Seluruh tubuhnya terasa terbakar dan wanita yang disewa oleh asistennya malah diam seperti patung.
“Tolong bantu saya berdiri,” pinta Andin seraya mengulurkan tangan.
Aldebaran menerima uluran tangan itu dan menanggapi salah permintaan tolong Andin dengan menganggap kalau gadis itu mengiyakan tebakannya.
Andin merasa pandangannya berputar dan saat dia sadar dengan apa yang terjadi, sosok pria yang tadi ditolongnya kini tengah menindihnya.
“Apa---“
Protesnya yang menurut Al mengganggu dibungkam pria itu dengan ciuman panas nan menuntut.
Keesokan paginya ketika bangun, Andin yang telah membuka mata menatap sekelilingnya. Ruangan itu nampak temaram dengan hanya lampu berwarna kuning terpancar dari sisi tempat tidur.
Tatkala dia berusaha mendudukkan diri, barulah dia sadar bahwa ada satu tangan kokoh yang kini melingkari pinggangnya. Saat dia melihat satu tangan itu, ia membulatkan matanya akibat terkejut.
“Astaga, Tuhan....!”
Hari itu akhirnya dia ingat bila dia telah tidur dengan pria yang notabene adalah bosnya sendiri di tempat kerja.
***
Rendy telah bersiap di kediaman Al. Ia menunggu sang bos turun dari lantai dua. Seperti biasa, mereka akan berangkat bersama ke perusahaan.
Tak lama kemudian, terlihat sosok Aldebaran dengan setelan rapinya turun dari lantai atas.
“Pak, apa Anda mau pergi ke perusahaan dulu atau langsung ke hotel?” tanya Rendy seraya memiringkan kepalanya untuk melihat sang direktur.
“Pergi ke hotel.”
Mendapat jawaban pasti itu, Rendy menganggukkan kepalanya lalu memerintahkan sopir di sampingnya untuk pergi ke hotel seperti yang diperintahkan oleh bos mereka.
Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke hotel yang dimaksudkan.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan pintu masuk hotel. Aldebaran keluar dari mobil dan begitu dia keluar, dia disambut oleh beberapa orang yang diketahui karyawan penting dalam mengelola hotel tersebut.
Tak jauh dari keberadaan mobil yang ditumpangi Al serta keramaian di sekitar pria tersebut, berjalan seorang perempuan dengan pandangan linglungnya.
Andin yang mendengar suara ramai itu lantas menolehkan kepalanya. Begitu dia melihat manajer serta supervisor hotel yang cukup dikenalnya menjadi salah satu dari rombongan di hadapannya itu, ia bertanya-tanya apakah hari ini hotel mereka kedatangan tamu penting.
Tepat saat dia selesai dengan pikirannya, Rendy yang tadinya berdiri di samping Aldebaran bergerak ke belakang dan sosok tinggi serta tampan Al terpampang di depan mata Andin.
“Pria itu?” gumamnya dengan mata terbelalak terkejut.
Seolah merasakan tatapan panas dari kejauhan, Al melirik ke samping dan menemukan seorang perempuan berdiri tertegun melihat ke arahnya. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah tampan dan datar itu, namun dari pupil pria tersebut yang membesar sesaat sudah cukup menunjukkan keterkejutannya.
Dalam perjalanan menuju ke ruangan kantor manajemen hotel tersebut, Al berbicara pada sang asisten, “Aku yakin dia adalah wanita di malam itu. Temukan dia lalu bawa ke kamarku.”
Asisten itu menjawab singkat perintah tersebut dan patuh pergi dari sana. Tanpa perlu sang bos menyebutkan siapa wanita yang dimaksud, dia sudah tahu siapa orang tersebut hanya dengan mengikuti pandangan sekilas dari Al.
Beberapa bulan kemudian setelah insiden itu, Andin kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa.
Walau beberapa hari belakangan dia merasa tak nyaman pada tubuhnya dan lebih lelah, dia tetap memaksakan diri bekerja. Dia harus menyibukkan diri, bila tidak, kenyataan pahit yang baru diketahuinya akan kembali membuatnya terluka lalu kemudian mengutuk segala kemalangan yang telah terjadi padanya.
Andin mulai membersihkan ruangan kamar tamu dibantu oleh Mirna yang tiga puluh menit lalu datang menghampiri.
“Em, apa kau baik-baik saja?” Mirna yang khawatir menanyakan lagi keadaan temannya yang dirasa dalam kondisi tak sehat.
Andin menggelengkan kepalanya, tersenyum kecil demi menunjukkan kalau dia baik-baik saja. Tadi dia muntah lagi. Untungnya tidak ada siapa pun di kamar itu saat dia kembali memuntahkan makan siangnya ke dalam toilet. Kini, dia hanya merasa lelah dan lemas dan ingin segera beristirahat.
“Selepas bersih-bersih ini beres, aku bisa membantumu meminta ijin pada manajer agar kau bisa pulang lebih awal, Ndin. Itu pun kalau kau mau.”
Bayangan untuk segera menuntaskan pekerjaan melayang-layang di benak Andin. Kedengarannya bagus sekali, pikirnya, tapi itu tak mungkin. Dia berada di shift pagi dan jam pulangnya tersisa beberapa puluh menit saja. Dia pikir dia bisa menahannya sampai pekerjaannya usai.
“Tidak apa-apa, Mir. Aku tunggu saja sampai kita pulang.”
Andin yang telah bersiap untuk pulang, dihentikan di sebuah koridor menuju ke pintu keluar saat di hadapannya dia melihat Nino telah menunggunya. Ia menghentikan langkahnya, mencoba untuk berbalik pergi, tapi panggilan pria itu membuat langkahnya hampir tersandung.
“Andin, tunggu. Aku ingin bicara denganmu!”
Tapi bagaimana mungkin Andin mau berhenti saat dia jelas-jelas menghindari bertemu dengan Nino apalagi berbicara dengannya.
Sayangnya, langkah kakinya tidak dapat menyamai langkah panjang pria itu. Ketika tiba di tikungan, lengannya di pegang kuat oleh tangan yang kuat dan punggungnya menabrak dinding.
“Akh!” Andin menjerit tertahan begitu benturan di punggung mengejutkannya.
Di hadapannya, Nino menjebaknya di dinding.
Lorong itu begitu sepi, tidak ada seorang pun yang lewat untuk diminta bantuan oleh Andin. Walau dia percaya Nino tak akan berbuat hal buruk padanya, tapi tetap saja dia merasakan takut berduaan saja dengan pria ini.
“Dengarkan aku,” Nino mencengkeram kedua bahu Andin kuat.
Tatkala dia melihat wajah meringis sang wanita, barulah ia melonggarkan pegangannya. “Yang aku katakan padamu saat itu benar adanya, Ndin. Aku sama sekali tidak mencampurkan obat apa pun ke dalam minumanmu. Memang benar bahwa aku lah yang memberikan minuman itu padamu, tapi sungguh, aku tidak tahu sama sekali kalau ada obat di dalamnya.”