Try new experience
with our app

INSTALL

TEMAN SEHARI 

2. KINAN DAN DAMAR

“Damar, ada Kinan, Nak!”

“Biar aja, Tante. Tahu sendiri, Tante, Damar kalau tidur suka kelewatan. Dia nggak bakal dengar, deh, walaupun diteriakin gitu.”

Kinan bersandar di dinding dekat kulkas sambil memperhatikan ibunya Damar memasak. Hari itu hari minggu, wajar saja Damar belum bangun meskipun waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas ketika Kinan datang. Rumah Damar sudah seperti rumah sendiri bagi Kinan. Ibu Damar bahkan akan bertanya jika Kinan lama  tidak berkunjung. Bagi Ibu Damar, Kinan sudah seperti anak perempuannya sendiri. Rissa—Ibu Damar—bahkan rutin membawakan makanan yang awet untuk stok Kinan di kos, mengundang anak perempuan itu datang setiap akhir pekan, sampai mengajaknya belanja bersama. Damar bilang, ibunya selalu ingin punya anak perempuan, tapi apa boleh buat, anak yang keluar dari rahimnya malah laki-laki. Manusia selalu bisa berharap, tapi tetap Tuhan yang memberikan, kata Damar kalau sudah membicarakan soal kedekatan ibunya dengan Kinan.

“Tante masak semur kesukaan kamu, nih. Coba kamu bangunkan Damar, Kinan, biar kita makan siang sama-sama.” Rissa mematikan kompor dan menyuruh Kinan pergi membangunkan Damar.

Sebelum pergi, Kinan tidak lupa mengambil satu kotak susu dari dalam kulkas. Ada susu pisang yang kata Damar baru saja dibawakan pamannya yang dinas di Korea seminggu lalu. Ketimbang Damar, Kinan lebih menyukai susu pisang, tapi Damar bersikeras menyimpan di rumahnya dengan alasan tidak ada kulkas di kos Kinan. Kinan bukan hanya tidak punya kulkas di kosnya., dia juga tidak punya televisi, bahkan dispenser. Kamar Kinan hanya berisi kasur, lemari gantung, rak putih tinggi dan hiasan-hiasan dinding. Bagi Kinan, televisi dan kulkas bukan barang penting. Jadi, dia tidak pernah setuju setiap Damar menyuruhnya membeli.

Kinan sama sekali tidak memelankan langkahnya ketika melangkah masuk ke dalam kamar Damar. Pintu kamar yang tertempel hurup D besar-besar buatan Kinan bahkan dibuka dengan sangat kasar. Kamar itu masih gelap. Jelas saja, gorden kamarnya masih tertutup rapat. Matahari masih masuk, meskipun hanya lewat sela-sela gorden. Selimut abu-abu polos setengahnya sudah terjuntai mengenai lantai, sementara pemiliknya tidur tengkurap dengan sikap paling pasrah. Pose andalan Damar ketika tidur. Walaupun Kinan sudah terdengar begitu berisik, Damar sama sekali tidak bergerak sedikit pun. Gadis itu melemparkan diri ke bagian kasur Damar yang masih kosong sembari menempelkan sekotak susu pisang dingin ke pipi Damar.

“Damar! Bangun! Gila, tukang tidur banget lo, Mar! Udah jam sebelas!” seru Kinan tepat di telinga Damar.

Seperti nyamuk, Kinan menyingkir ketika Damar mengibas ruang dekat telinganya, seolah-olah suara Kinan sama seperti denging nyamuk yang beterbangan dekat telinga. Kinan mendengus. Kegiatan membangunkan Damar di hari Minggu memang bukan favoritnya, apalagi setelah ia tahu Damar tidur seperti patung. Tetapi, mengerjai Damar dengan berbagai cara selalu membuatnya puas. Kapan lagi Kinan mengerjai Damar mati-matian seperti itu, pikir Kinan.

“Cepetan! Gue mau makan semur, Damaaaar!” Kinan berteriak lagi. Kali ini sambil menjewer telinga Kinan sebelum jiwa usil Kinan mengajak tangannya mencabuti bulu-bulu kaki Damar.

“Satu, masih nggak bangun juga. Nah, dua. Masa sih nggak sakit, Mar? Tiga...”

“Sakit woy!”

Sambil tersenyum puas, Kinan menghentikan kegiatannya. Jika Damar sudah bersuara, tandanya dia benar-benar sudah bangun. Maka Kinan hanya perlu membuka gorden kamarnya lebar-lebar sampai penglihatan Damar terusik. Damar duduk bersila di tempat tidurnya, berusaha mengumpulkan nyawa. Rambutnya yang mulai panjang itu berantakan tak keruan. Jangan tanya bagaimana wajah Damar ketika bangun tidur. Kinan bilang Damar tidak akan pernah bisa menyembunyikan wajah bantalnya.

“Cuci muka, sikat gigi, terus ke bawah ya, Mar. Gue bantu Tante Rissa dulu siap-siap.”

*

“Masak semur terus, Ma. Padahal anaknya biasa aja sama semur.”

Damar duduk di samping Kinan, mengambil nasi ke piringnya. Meskipun menggerutu seperti tadi, dia tetap akan memakan apa pun yang dibuatkan Rissa untuknya. Damar tidak pemilih, meskipun makanan kesukaannya bukan semur.

“Anak Mama yang satu lagi kan sukanya semur,” komentar Rissa sambil mengelus rambut Kinan pelan.

Kinan yang dielus rambutnya, tersenyum sampai matanya terlihat hanya mengecil. Persis seperti anak anjing yang baru saja dielus majikannya. Damar menggeleng pelan. Alih-alih menanggapi Rissa, ia memilih membanjiri piringnya dengan kuah semur dan menyantap rapelan makan pagi dan siangnya itu.

“Kita udah mau anniversary lho, Dam. Mau bikin acara apa ya?”

“Uhuk!” Mendengar perkataan Kinan barusan membuat Damar sontak terbatuk. Awalnya sekali saja, tapi lama-lama dia malah tidak bisa berhenti. Rissa lekas menuang segelas air untuk Damar. Nyaris saja anak itu mati tersedak. Sementara Kinan malah menyantap nasi di piringnya dengan santai, seolah tidak peduli pada Damar yang masih terbatuk-batuk.

Anniversary? Jadi kalian jadian udah setahun ya? Mama nggak nyangka, udah lama juga ya,” seru Rissa.

“Nggak, Mam!”

“Nggak, Tan!” Kinan dan Damar menyanggah komentar Rissa bersamaan, sebelum saling menoleh, menatap satu sama lain dan mendengus pelan.

“Ya kalau jadian juga nggak apa-apa. Kinan kan sudah seperti anak Mama sendiri,” ujar Rissa santai.

“Ini tuh anniversary Temansehari, Tante. Sebentar lagi usaha kecil-kecilan kami setahun, jadi Kinan pikir kayaknya keren kalau kami bikin sesuatu buat klien-klien kami.”

“Oh, kirain kalian yang setahunan. Baru saja Tante mau minta traktir.”

Damar menggeleng menanggapi kalimat Rissa. Sementara Kinan berdeham dan lekas menghabiskan makanan di piringnya. Pembicaraan salah paham Rissa membuat Damar dan Kinan tidak bicara, ada kecanggungan yang mereka simpan sama-sama dan enggan dibagi. Padahal jika mereka berbagi, kecanggungan itu mungkin akan menghilang.

“Gue mikir kayaknya kita bisa kasih semacam paket hadiah gitu sama klien kita. Sistem undian buat klien-klien yang pernah pakai jasa kita mungkin. Voucher liburan misalnya?” usul Kinan.

“Hah? Ke mana? Bangkrut dong kita kalau kasih voucher liburan? Gue aja belum pernah ke luar negeri,” protes Damar menentang usulan Kinan.

“Siapa yang suruh ke luar negeri, Damaaaar. Kan bisa ke Lembang? Kemah di Cikole, atau tiket masuk Dusun Bambu, tiket masuk de’Ranch, apa kek. Atau voucher makan di restoran mana gitu.”

“Kalian ini, makan dulu dilanjut. Berantemnya nanti habis makan. Mama tuh pusing dengar kalian berantem di meja makan begini.”

Damar dan Kinan baru berhenti setelah Rissa menegur mereka. Selalu begitu. Damar dan Kinan tidak pernah sehari saja tidak berdebat karena berbeda pendapat. Tetapi karena itu juga mereka masih berteman sampai sekarang sejak tahun pertama di sekolah menengah atas. Kinan tidak punya banyak teman perempuan, sementara Damar meskipun dia punya beberapa teman laki-laki sebaya, tapi Kinan tetap teman terdekatnya. Dekat dengan Kinan membuat Damar berkali-kali dianggap sebagai pacar gadis itu alih-alih sahabatnya.

“Aku duluan ya, Mam. Sudah habis.” Damar memundurkan kursinya sambil berbicara pada Rissa sebelum ia menoleh pada Kinan yang baru saja menambahkan nasi ke piringnya. “Gue janji sama klien setelah makan siang ini. Dari Medan, katanya main ke Bandung karena butuh refreshing. Baru putus. Siapa tahu aja oke kan,” lanjut Damar.

Kata-kata Damar membuat Kinan berhenti menggerakkan tangannya. Selera makannya mendadak hilang. Damar selalu begitu, menganggap klien perempuan, apalagi yang punya masalah ‘putus’ dengan kekasihnya, sebagai kesempatan baginya. Memang sih, kalau dipikir-pikir, setelah bersahabat dengan Kinan, Damar belum pernah pacaran sama sekali. Terlalu sering digosipkan sebagai pacar Kinan sepertinya membuat pintu jodoh Damar seolah tertutup. Sementara itu, Kinan tetap lancar bergonta-ganti pasangan semasa SMA. Meskipun ia tahu begitu banyak kata-kata sumbang yang dibicarakan orang-orang terhadap dirinya. Tapi, masalah Damar yang lama menjomlo sungguh bukan karena Kinan, bukan?

Kinan mendengus pelan kemudian melanjutkan santapannya. Sementara Rissa mulai menumpuk piring kosong milik Damar dan miliknya sambil sesekali melirik Kinan. Rissa tersenyum. Anak-anak muda selalu tidak pandai menyembunyikan perasaan. Maka dari itu Rissa tersenyum melihat Kinan yang menekuk wajahnya seketika.

“Kayaknya anak Mama yang satu itu memang lebih betah jomlo deh, Kinan. Dia mau disodorin cewek cantik kayak siapa pun, tetap jomlo ujung-ujungnya.”

Kinan menarik bibirnya, terpaksa tersenyum meski dalam hati masih kesal memikirkan Damar dan klien perempuan yang akan dipandunya hari ini. Namun, dari awal harusnya Kinan ingat, itulah konsekuensi menjadi bagian dari Temansehari.

“Kalau sudah selesai makan dan bersih-bersih, mendingan kita shopping atau ke spa ya, Kinan?”

“Ke mana pun, aku mau temani Tante penuh hari ini.”