Contents
TEMAN SEHARI
1. KONSTANTIA
Hey there Delilah, what’s it like in New York City?
Kinan bersenandung pelan ketika suara Tim G. Lopez, vokalis Plain White T’s mulai mengalun memenuhi ruangan menyanyikan lagu Hey There Delilah, salah satu lagu kesukaan Kinan. Tinggal satu orang di depan sebelum antrean tiba padanya. Pukul sembilan pagi memang jam padat bagi Konstantia, coffee shop yang terletak di depan kampusnya. Kinan bisa melihat Akbar, barista berperawakan tinggi dan super kurus yang selalu membuat Kinan tertawa karena ekspresi wajahnya. Laki-laki itu mulai keteteran menghadapi para pelanggan yang tak sabaran—kebanyakan terdiri dari ABG-ABG labil yang tidak tahu caranya mengantri.
“Pagi, Kinan. Klien baru? Bukan anak sini ya?” Seperti biasa, Akbar lebih dulu menyapa Kinan ketika antrean tiba padanya.
“Dari Jatinangor. Nongkrongnya jauh banget di sini. Heran gue,” sahut Kinan santai sambil memindai menu yang tertulis di papan tulis di belakang Akbar. “Biasa, ya, Bar. Satu lagi cappuccino ya, Bar.”
“Satu iced americano, satu cappuccino. Iced, kan?” Kinan mengangguk menanggapi pertanyaan Akbar seolah-olah ia sudah tahu betul selera laki-laki yang kini sedang duduk menunggunya di salah satu sudut Konstantia. Laki-laki yang sejak tadi Kinan panggil dengan sebutan klien.
Ketika sedang menunggu Akbar membuatkan minumannya, Kinan melihat seorang gadis lewat pantulan etalase kaca di depannya. Ia datang bersama rombongan teman-temannya. Tipikal geng anak sekolah yang kerjanya menindas adik kelas. Kinan dan kliennya tahu mereka akan datang, untuk itulah mereka berada di Konstantia pagi-pagi sekali.
Dengan minuman di tangan kanan dan kirinya, Kinan menghampiri kliennya yang kini sibuk membuang muka karena diperhatikan terus-menerus oleh segerombolan perempuan yang baru saja datang tadi. Kinan menggerakkan bibirnya, meregangkan otot-ototnya sebelum tersenyum lebar.
“Sayang, ini cappuccino pesanan kamu. Sorry lama, ya. Antreannya panjang banget.” Kinan duduk di samping kliennya, seorang laki-laki berkemeja cokelat yang kini tersenyum sumringah ke arahnya. Tangan Kinan mengulurkan segelas cappuccino ke hadapannya.
“Kayak pesanan aku tadi, kan? Makasih ya, Say.” Rasanya ia ingin muntah saat itu juga ketika mendengar kata “sayang” terlontar dari mulut mereka berdua. Bagaimana tidak, sekarang Kinan jadi pusat perhatian orang-orang, termasuk rombongan perempuan di seberang meja mereka mereka, meskipun memang itu tujuan Kinan melakukannya. Kinan tersenyum manis sebelum mengganti senyumnya itu menjadi tatapan sinis ke arah gerombolan perempuan itu.
“Itu siapa, sih? Pacarnya? Lo bilang belum punya pacar! Gimana sih?” Gerutu seorang gadis yang terlihat paling menonjol di antara rombongan tersebut tertangkap telinga Kinan.
“Mana gue tahu pacarnya ternyata kece begitu.” Salah seorang temannya menimpali, membuat Kinan otomatis menyunggingkan senyum puas.
“Tahu gini kan gue nggak perlu mempermalukan diri gue. Mana udah chat tiap hari lagi. Brengsek ah lo!”
Kinan menyeruput kopinya santai sebelum melirik ke arah laki-laki yang namanya bahkan sudah ia lupakan. Anak-anak perempuan di meja seberang tidak cukup peka untuk menyadari bahwa rumpian mereka terdengar jelas dengan suara sebesar itu. Kinan tersenyum lagi, merasa menang. Padahal ini bukan untuknya.
“Saya nggak minum cappuccino, Kinan,” bisik laki-laki di sampingnya pelan, membuat perempuan-perempuan itu semakin panas. Beberapa menjerit tertahan yang malah membuatnya terdengar seperti cicitan tikus. Anak perempuan zaman sekarang memang aneh, batin Kinan.
“Saya kira semua orang minum cappucino,” sahut Kinan ikut berbisik.
“Tapi kamu nggak.”
“Karena saya nggak begitu suka makanan dan minuman manis.”
“Gue mau balik aja. Nongkrong di sini bikin panas!” Anak perempuan yang menjadi target utama Kinan kini beranjak dari tempat duduknya. Mereka belum memesan apa pun, tapi tidak perlu menunggu lama sampai satu per satu dari mereka pelan-pelan berjalan keluar Konstantia dengan wajah ditekuk dan dengusan kesal yang sedikit-sedikit tertangkap telinga. Belum sampai satu jam dan kerja Kinan sudah selesai. Terima kasih pada anak-anak perempuan yang mudah dibodohi itu, hari itu Kinan tidak perlu bekerja terlalu berat.
“Ternyata benar yang dibilang orang-orang. Servis kalian bagus.”
“Jangan lupa kasih testimoni di website ya.” Kinan mengingatkan setelah semua anak perempuan tadi benar-benar pergi dari Konstantia.
Membuat anak-anak seperti itu cemburu dan berhenti mendekati laki-laki bukan perkara rumit. Tidak rumit sama sekali bahkan, terlebih lagi jika klien dan target Kinan tidak berasal dari lingkaran yang sama. Kinan menyeruput habis americano-nya sebelum bangkit dari tempat duduk. Kuliahnya hari itu dimulai pukul setengah sebelas. Sekarang, jamnya menunjukkan pukul sepuluh kurang dua puluh menit, masih ada waktu lima belas menit menuju kampus dan bersantai barang setengah jam.
“Saya pamit dulu, nanti selesaikan dengan Damar aja ya.” Kinan tidak suka berlama-lama duduk dengan klien memang. Terlebih jika pekerjaannya sudah selesai. Maka ia beranjak dari tempat duduknya, menundukkan kepala sopan pertanda pamit dan berjalan meninggalkan meja.
“Kinan!” panggil laki-laki itu pelan, membuat Kinan menghentikan langkahnya seketika. “Kalau suatu hari saya mau ajak kamu pergi, boleh?”
Detik berikutnya, Kinan menatap lekat laki-laki itu seolah-olah memiliki hal yang patut dipertimbangkan dari tawarannya. Namun Kinan menutup spekulasi itu dengan gelengan. Seakan tidak akan pernah memberikannya kesempatan. Kinan menggeleng pelan sambil tersenyum.
“Maaf, saya sudah tunangan.” Kinan memamerkan cincin di jari tengahnya, kemudian berbalik hendak meninggalkan kliennya. Tetapi terlambat, klien Kinan menyambungkan kalimatnya dengan nada tidak percaya.
“Oh, ayolah, Kinan. Mana ada perempuan yang sudah tunangan malah menjalani pekerjaan seperti ini.”
“Maksud anda pekerjaan seperti ini bagaimana, ya? Saya hanya membantu orang untuk mempunyai teman dalam sehari. Teman berbincang, teman wisuda, teman untuk pergi ke pernikahan. Saya tidak pernah melakukan pekerjaan yang aneh, kalau saja anda berpikir ke arah sana,” sahut Kinan cepat. Matanya menatap klien tanpa nama di kursi yang sejak tadi mereka duduki.
“Wow, sabar dulu. Saya nggak mengatakan apa pun soal konsep “teman” yang kamu maksud, lho.”
“Kinan, aku cari kamu ke mana-mana.”
Suara seorang laki-laki mengalihkan perhatian Kinan dari kliennya. Kinan menatap bingung laki-laki di depannya. Keningnya berkerut ketika laki-laki itu menghampirinya cepat kemudian tersenyum ke arahnya. Dia tidak pernah kenal laki-laki itu. Berpikir laki-laki itu menyelamatkan Kinan dari kliennya, Kinan tersenyum tipis. Biasanya, Kinan menjadi orang yang berpura-pura. Sekarang, ia baru saja merasa seperti tengah menjadi targetnya sehari-hari.
“Kamu kok lupa kalau hari ini mau fitting baju? Mama udah nunggu kita lho.”
Fitting baju? Mama? Sandiwara yang Kinan pikir akan menyelamatkannya kini terdengar tidak wajar lagi. Kening Kinan mendadak berkerut mendengar hal yang sama sekali di luar kemampuan ingatannya. Sambil melirik Akbar yang mengedikkan bahu karena tak tahu menahu apa-apa, Kinan pasrah diboyong keluar dari Konstantia.
“Waktunya kamu bilang terima kasih, Kinan. Thanks for saving me from that unknown man, gitu.” Sang aktor penyelamat berkomentar setelah mereka berdua berada di luar Konstantia, membuat Kinan seratus persen kebingungan.
“Sorry, in case kamu nggak sadar, kamu juga unknown man buat saya. Saya lebih kenal cowok tadi daripada kamu. Jangan sok pegang-pegang gini, deh! Saya lapor polisi baru tahu rasa!” sahut Kinan.
“Saya dengar Kinanti Sadewa itu perempuan anggun yang lembut. Tapi sepertinya informasi yang saya dapat itu salah, ya?”
Laki-laki itu menaikkan kedua alisnya, tersenyum menggoda ke arahKinan. Sambil menepuk dahinya, Kinan mengumpat dalam hati dan berjalan cepat dari depan Konstantia, meninggalkan laki-laki aneh itu seorang diri. Penyelamat sih penyelamat, tapi kelakuannya malah mencurigakan sekali untuk Kinan. Astaga, keanehan apa lagi sih ini?