Contents
Love in The Thin Air
3: Take Off
(Juni)
Pil Joo
“Mereka tadi rombongan cewek semua, kan?” ucap Fendi selepas melewati Pos II jalur pendakian Rinjani. “Keren juga.”
“Enggak, ada satu orang cowok.” tanggap Pil Joo terus berjalan bahkan mendahului Fendi.
“Masa sih?” Fendi menoleh penasaran. Dia bahkan sampai berjalan mundur. “Yang mana?”
“Yang pakai bandana hijau.” kata Pil Joo masih acuh tak acuh.
“Hemm…” balas Fendi yang outfit-nya mirip tentara gadungan. Celana kargo loreng, kaos hijau pupus, dan topi rimba berwarna cokelat.
Gerak selanjutnya Fendi sudah berusaha menyusul langkah kaki Pil Joo. Cowok Korea sekaligus teman satu grupnya yang kali ini mengenakan celana pendek warna hitam dan jaket hoodie warna abu-abu.
***
(Juli)
Dua hari sebelum kecelakaan....
Pukul dua belas siang Sin Chan dan kawan-kawan menuju Yogyakarta menggunakan jasa kereta api ekonomi yang sekarang semakin yahud. Meski berjudul ekonomi ruang kereta sudah ber-AC dan tidak banyak pedagang berlalu lalang seperti kereta ekonomi jadul_zaman dulu.
Setidaknya mereka masih punya waktu empat jam sebelum terbang dari Bandara Udara Adi Sucipto Yogyakarta ke Lombok. Diskusi seru sempat terjadi. Sebelum itu Rexa menolak berangkat pukul dua belas memilih meluncur pukul tiga sore agar mereka tidak menunggu terlalu lama di bandara.
Sin Chan dan Dania yang selalu berpikir panjang mematahkan keinginan Rexa.
“Untuk antisipasi Rex,” ujar Dania. “Belum tentu kereta on time. Bisa aja ada kendala yang membuatnya terlambat atau apa.”
“Kalau pesawat ikutan delay sih, nggak masalah. Akan jadi masalah besar kalau kita sampai ketinggalan pesawat.”
“Betul Rex, syukur kalau lancar. Kalau enggak, kita sendiri yang akan repot.” timpal Royan. “Jadwal pendakian kita bakal kedodoran, tak sesuai target.”
“Ya deh,” Rexa kalah telak lagi dan sempat menggerutu karena mereka harus bengong lama di bandara. Menunggu selama empat jam.
Habisnya malas kalau mau berkeliaran di sekitar bandara. Selain karena sudah gelap, mereka juga harus save energi. Mending tiduran seperti Royan dan Sin Chan yang sudah kompak memilih duduk di lantai sambil bersandar pada carrier masing-masing.
Jam take off pesawat tiba. Pengalaman pertama naik pesawat membuat Sin Chan merasa deg-degan. Apalagi dia duduk terpisah dari rekan-rekannya. Maklum harga tiket yang minimalis menyebabkan mereka tidak bisa memilih tempat duduk. Cukup beruntung Sin Chan dapat kursi dekat jendela. Sementara Rexa dan Dania berada di tengah. Royan sendiri terpencar jauh dari rombongan entah.
Tak banyak yang dapat dilihat karena sekeliling pesawat gelap. Hanya setelah lepas landas pemandangan kerlap-kerlip lampu daratan terlihat meriah. Setidaknya perjalanan yang harus mereka tempuh kurang lebih satu setengah jam.
Tiba di Bandara Lombok pukul setengah sepuluh malam. Untungnya mereka sudah pesan kendaraan berupa taxi carteran yang siap mengantar langsung hingga Sembalun. Dinihari mereka tiba di homestay Pondok Sembalun.
Rasanya berat sekali bangun pagi, maklumlah mereka baru terlelap selama empat jam. Namun, demi mendengar seruan dewi Rinjani, sontak mata tergugah meski enggan bersarang. Pukul sembilan mereka mulai start mendaki setelah mengurus perijinan di Pos Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
“Semoga perjalanan kita lancar.” akhir kata Rexa sebagai koordinator kegiatan. “Berdoa dipersilakan.”
Langkah awal mereka berteman areal ladang pertanian penduduk. Hijau, lepas penat perjalanan semalam. Track selanjutnya berupa jalur landai cocok untuk aklimatisasi_penyesuaian tubuh dengan lingkungan baru, khususnya pada ketinggian dan cuaca dingin guna menghindari mountain sickness. Padang ilalang menyebar pada sisi kanan-kiri dengan latar aneka bukit dengan segala bentuk yang unik. Ada yang berbentuk kerucut, ada yang mirip perahu tertelungkup, bahkan ada yang mirip bukit teletubis melengkung bulat sempurna bagian atasnya.
Namun, padang sabana itu ternyata tidak murni sepi. Beberapa sapi Bali terlihat merumput di tengah-tengahnya. Sin Chan sampai membayangkan Royan menjadi cowboy. Cowboy dalam arti sebenarnya, penggembala sapi. Tapi gambaran di benak Sin Chan tetap saja, koboi seperti di film barat. Pakai topi rimba yang melengkung sisi kanan-kirinya, menaiki kuda dan pistol tersemat pada dua paha.
Lalu koboi itu menyelamatkan Sin Chan yang tertawan penyamun gahar. Satu kali tembakan penculik bertekuk lutut dihadapan Koboi Royan.
“Heh, senyum-senyum sendiri.” tegur Rexa, yang menyadari sobat sejalannya memamerkan giginya yang tak indah. Padahal tidak ada hal yang lucu di sekitar selain perbukitan yang telanjang tanpa tertutupi pepohonan.
“Ternyata langkah awal sangat menyenangkan. Tidak ngos-ngosan sama sekali.” terang Sin Chan menghapus angan liarnya.
“Jangan senang dulu, bukit penyesalan bakal membuatmu tak ingin kemari lagi.” kata Royan yang berjalan tepat di belakang Sin Chan dan Rexa.
“Perlukah aku bilang, wow gitu?” komentar Rexa menoleh sekilas pada Royan.
“Setelah satu punggungan ini kita sampai Pos 1.” lapor Royan tak menanggapi Rexa.
Benar kata Royan, dari kejauhan sebuah gasebo berwarna hijau cerah telah melambaikan tangan. Lumayan untuk berlindung dari terik yang mencakar kulit. Tak selang lama berleyeh-leyeh, beberapa pendaki lain datang ingin juga berteduh melepas lelah di Pos Pementan ini.
Obrolan ringan tanya jawab tentang asal muasal berlangsung sebentar. Tim Sin Chan melanjutkan ayunan kaki meninggalkan tempat terindah di antara ilalang yang lama-lama menjadi membosankan.
Belum lagi merasa lelah, kurang lebih setengah jam kemudian, setelah jembatan pada sebelah kiri jalan, berdiri Pos II. Sin Chan sedikit takjub mendapati atap pos satu dan pos dua memiliki warna yang seragam yaitu hijau, itu juga sama dengan warna bandana yang dikenakan oleh Royan.
Di Pos Tengengean ini tersedia sumber air bersih yang mengalir di bawah jembatan. Secara keseluruhan Pos II terletak pada sebuah lembahan kecil yang dikelilingi bukit-bukit menjulang dengan mayoritas vegetasi pohon pinus dan ilalang.
Jam saat itu menunjukkan pukul 12.00 WITA. Saatnya ishoma. Bongkar-bongkar bekal. Masing-masing anggota rombongan menghadap piring plastik menunggu Sin Chan membagi jatah makan yang sudah mereka masak tadi pagi.
“Buruan Chan, lapar nih!” Royan menyodorkan piringnya ke depan Sin Chan.
“Layanan untuk porter boleh nomor satu, deh.” balas Sin Chan meraih piring Royan.
“Culas!” protes Rexa. “Harusnya koordinator kegiatan dulu.”
Royan tertawa ngikik.
“Kualat kamu, Chan.” Rexa merutuki Sin Chan.
Menu siang ini, tumis buncis dengan tempe goreng. Kacang atom tak lupa menemani riuh tak-tak piring beradu dengan sendok.
Sudah jadi kebiasaan sejak nenek moyang MAPA bahwa menu makan pendakian mereka bukan mie instan. Mie instan menjadi bekal untuk cadangan. Karena mie instan sudah menjadi makanan wajib sebagai anak kos, sehingga tak elok rasanya bila mendaki gunung juga harus makan mie itu. Kurang kalorinya, Genk.
Dan bagi anak MAPA naik gunung sama dengan perbaikan gizi. Ajang makan sayur, ajang makan daging kornet, nuget, telur, menjadi parade makan makanan enak.
Saat sedang menikmati makan siang, beberapa rombongan pendaki lain melewati mereka. Ada yang ikut istirahat makan, namun ada yang terus lanjut berjalan.
“Mari mampir, makan dulu.” sapa Sin Chan pada rombongan yang terus melaju. Mereka berjumlah lima orang. Kalau melihat dari barang bawaan dan penampilan, dua orang asli pendaki sisanya porter dan guide.
“Kami langsung aja.” sahut salah satu dari mereka yang mengenakan topi rimba dan berwajah lokal sambil mengacungkan ibu jari.
Satu jam beristirahat cukup untuk makan sekalian salat jamak. Bergegas keempatnya kembali mengukir jejak pada punggungan yang masih lumayan landai.
Beberapa kali mereka melewati jembatan beton di atas sungai tak berair. Mungkin sungai ini untuk menampung leleran lahar, terlihat dari pasir hitam dan sisa-sisa abu vulkanik yang mengerak. Pukul tiga sebuah gasebo berwarna biru langit berdiri anggun pada tepian lereng bukit yang curam. Di Pos III Padabalong mereka berfoto sejenak, ngemil snack, menghirup napas dalam-dalam bersiap menghajar tujuh bukit penyesalan sebelum sampai Pelawangan Sembalun.
“Bersiap Genk, kita akan berkenalan dengan bukit penyesalan.” ucap Royan tersenyum menggoda.
“Siap grak!” balas Dania.
“Semangkaa!” teriak Sin Chan.
Royan menjelaskan sedikit kenapa disebut bukit penyesalan. Konon pendaki yang belum pernah mendaki Rinjani akan merasa senang setelah menyelesaikan tanjakan pertama sebagaimana tanjakan cinta di Gunung Semeru. Bedanya kalau di Semeru tanjakan cinta memberi hadiah jalanan landai hingga Kalimati. Tanjakan penyesalan menyisakan tanjakan lain, beruntun hingga enam kali. Pokoknya mereka bakal mendapat banyak kecewa setelah satu tanjakan selesai, tanjakan lain telah menanti sampai rasanya napas hampir putus penuh penyesalan.
Dua bukit terlampui, masih tersisa lima bukit yang mana satu bukit terakhir membuat Sin Chan dan Dania terpana. Tanjakan menjulang menyudut miring hingga tujuh puluh derajad dengan trek mengandung pasir meninggalkan tebaran debu dari jejak sepatu Royan. Antara sanggup tidak sanggup tiga wanita mapala tersebut menurunkan carrier demi memberi napas pada pundak yang tertekan nyaris lepas.
“Masih sanggup, Genk?” tantang Rexa tampak mengatur jalan masuk oksigen.
“Tanggung!” tanggap Sin Chan.
“Aku naik duluan ya,” pamit Royan yang berjanji akan menunggu mereka bertiga dengan tenda yang telah siap pakai plus bonus kopi panas.
Ketiga cewek jelas manggut-manggut riang. Tidak salah mereka membawa Royan sebagai porter. Meski pada awal pendakian banyak yang menyangsikan kemampuan ketiganya yang nekat hanya mengandalkan Royan sebagai pembawa barang berat. Toh akhirnya Sin Chan, Rexa dan Dania sukses menggapai enam tanjakan menyisakan satu tanjakan terakhir sebelum bobo malam.
Pukul enam tiga cewek pendaki asal Purwokerto telah bergabung dengan puluhan pendaki lain yang menjejer tendanya. Untung Royan menunggu mereka di ambang jalur, kalau enggak, bisa semalaman mereka menelisik tenda demi tenda dengan warna yang sama.
Pelataran Pelawangan Sembalun berupa bukit terbuka dengan area tanah tidak terlalu lebar memanjang. Barisan tenda hanya bisa berdiri dua atau tiga banjar_dua tenda berhadap-hadapan berderet sepanjang puncak bukit pelawangan. Prakteknya tenda yang ada duduk manis satu banjar menyisakan jalan bagi pendaki lain yang mau lewat. Jika dilihat dari atas akan memunculkan fenomena bukit berwarna pelangi.
Meski lelah, Sin Chan yang kebagian tugas masak langsung membuat dapur darurat. Di bantu Dania dan Rexa, tiga wanita itu menikmati momen masak bareng seperti dahulu kala.
“Jangan terlalu banyak cabai, Chan!” protes Royan yang tidak suka pedas.
“Hadeuh, payah. Kita semua penggemar pedas tau!” tanggap Sin Chan cuek mengiris cabai lagi. Menu malam ini steamboat bakso ala gunung. Sebagai sie konsumsi selera Dania cukup tinggi. Bagi Sin Chan dan Rexa, pilihan menu sobat tambunnya itu selalu berhasil menggugah selera.
Memang tidak seperti yang ada di restoran, tapi setidaknya dari rasa menyerupailah. Bumbu yang lengkap menjadi jaminannya. Merica bubuk, bawang bombay, bawang putih, sampai jahe, daun salam serta minyak wijen, semua tersedia. Untuk isian cukup jagung muda, wortel, jamur kuping, soun dan tentu saja baso.
“Kalau aku sampai diare siapa yang akan membawa peralatan ini?”
“Kami bisa!” sahut Rexa dengan pongah.
“Beneran?”
“Tenang Bos, cabainya bisa disisihkan.” timpal Sin Chan.
Royan mendengus pasrah.
Makan malam steamboat ala-ala lumayan menghangatkan tubuh. Geprekan jahe pada kuah berpadu dengan merica menjadi kombinasi sempurna penolak suhu sekitar yang lumayan menggigilkan.
Acara makan malam berteman lilin mungil berkesan romantis berakhir pada pukul delapan. Demi summit attack, mereka harus segera memejamkan mata. Perjalanan lebih menguras energi masih menanti. Semoga esok hari tetap cerah.