Try new experience
with our app

INSTALL

Love in The Thin Air 

2: Reuni Di Atas Atap

(Juli)

Pil Joo

“Ra, akomodasi, porter dan guide sudah dipastikan ya.” tanya Pil Joo pada asistennya, Tora, selepas mereka manggung di salah satu stasiun TV.

“Beres Bos! Sehari sebelum keberangkatan juga udah aku kosongkan. Sesuai mandat.” toleh Tora yang duduk samping pak sopir.

“Makasih,”

“Sebenarnya apa asyiknya naik gunung sih, Oppa?” tanya Tora yang memang suka manja pada Pil Joo, dan memanggil oppa sejak mereka kuliah. Awalnya Pil Joo risih dengan panggilan itu. 

Pertama karena mereka kuliah satu angkatan, sekelas pula. Kedua, harusnya Tora memanggilnya hyeong kalau memang menganggapnya sebagai kakak, karena memang umur Pil Joo setahun lebih tua dari Tora. Tapi sahabat yang sekarang jadi asistennya itu ngotot maunya memanggil oppa. Daripada ribut terus, akhirnya Pil Joo mengalah. 

“Capek kan, tuh pasti.” lanjut Tora.

“Lelah yang akan terbayar indah.” sahut Pil Joo yang sudah lama menetap di Indonesia. Bahasa Indonesianya lancar jaya. “Kamu tahu, di sini terlalu jenuh dan penat. Di sana kamu bisa bernapas lega, bisa buang pikiran rusuh.”

“Masa sih?”

“Mau ikut?” tantang Pil Joo.

“Enggak deh,” tampik Tora cepat. “Sama Bang Fendi aja, sana!”

Pil Joo mengutas senyum. Dia paham benar, Tora sahabat juga teman kuliahnya dulu tidak suka berkegiatan yang banyak menggunakan tenaga. Soal otak memang tidak diragukan lagi. Tak salah bila Pil Joo menawari Tora yang waktu itu masih menganggur untuk menjadi asistennya. Pekerjaan Tora selalu beres, rapi dan memuaskan.

Pil Joo kembali menekuri ponselnya. Menonton Youtube, video pendakian ke Gunung Rinjani. Sebagai referensi, agar tidak terlalu buta jalur nanti.

***

(Juli)

Empat hari sebelum kecelakaan…

Padang Cantigi mendadak kelebihan muatan. Lihat saja banyak barang-barang berserak hingga keluar dari pintu kamar. Belum lagi suara riuh menggema layaknya pasar tradisional.

Luar kamar Sin Chan tak kalah meriah. Aneka tumbuhan dari jenis sayuran hingga bunga-bungaan memenuhi sisa ruang kamar yang luasnya 4 x 4 meter. Seperti hutan gantung. 

Bagian samping barat-timur yang terbuka terisi oleh tanaman rambat markisa terseling pare dan bunga lampion menyatu menciptakan atap alami. Tembok depan kamar penuh dengan berbagai jenis anggrek berbunga warna-warni. Lavender ungu menghias persis sisi kanan-kiri kamar dalam kardus sterofoam bekas. 

Belum pipa-pipa hidroponik terbuat dari bekas botol mineral menumbuhkan macam sayur seperti selada, kubis dan wortel. Pada sudut lain sayuran tomat dengan buah lebat berjajar dalam pot bekas cat, bersebelahan dengan pohon jeruk nipis dan pohon buah lain yang sengaja agar tumbuh kerdil. Deretan polibag bibit sayur dan bunga juga terdampar pada sisi sebelah kanan. 

Invasi tanaman Sin Chan juga memenuhi area depan basecamp. Konsep green building benar-benar tercermin dari ruko Mahameru. Dalam arti sebenarnya hijau di mana-mana, bukan hanya green building bermakna bangunan ramah lingkungan. Seperti tidak menggunakan penerangan lampu di siang hari, sirkulasi udara lancar, serta penggunaan AC hanya saat hari sedang panas atau di atas jam dua belas.

Rexa yang punya nama panggilan T-Rex sebagaimana nama dinosaurus terkuat, menjadi penggambaran diri cewek itu. Rexa memutuskan merapat ke Purwokerto daripada langsung terbang ke Lombok. Pasalnya jadwal keberangkatan Bandara Husein Sastranegara Bandung tidak sinkron dengan jadwal penerbangan Adisucipto tujuan Lombok. Rexa bilang tidak mau menunggu selama dua jam di bandara. Pasti terlihat seperti orang hilang apalagi menenteng carrier sendirian. 

Rencananya mereka nanti akan bersama-sama terbang dari Bandara Adisucipto Yogyakarta. Ramai-ramai lebih asik, dalihnya. Tingkat kepe-dean jadi ikut melonjak.

“Harusnya kita bawa porter,” ucap Dania serupa keluhan sambil memasukkan bungkusan perbekalan makan selama empat hari plus cadangan. 

Seperti rekannya Rexa yang punya nama panggil kesayangan T-Rex, Dania punya julukan Dante. Asal muasal dia menyandang gelar tersebut karena masakannya enak. Mengambil dari kata ‘al dente’ salah satu istilah populer bidang kuliner. Artinya sih, bisa dibilang pas. Merujuk pada tingkat kematangan pasta, tidak boleh lembek atau malah belum matang. 

Dania yang rumahnya Cilacap, sudah pasti memilih ke Purwokerto dulu. Seperti alasan Rexa, ogah berangkat ke bandara sendirian dengan carrier. 

“Jangan manja!” balas Rexa yang juga tampak sibuk menge-pack carrier-nya. “Kita harus menunjukkan kalau kita bisa.”

“Tapi ini benaran berat lho.” komentar Sin Chan yang hampir selesai mengisi carrier dan mencoba mengangkat. “Belum isi air.”

Kalau nama Sin Chan, jelas diambil dari nama tokoh film kartun Jepang. Kadang tuh, si Cantigi ini polahnya mirip anak tengil di anime tersebut.

Rexa meringis saat mengangkat cariernya juga. “Iya, sih. Tapi ini reuni kita bertiga. Sama seperti dulu waktu kita mendaki bareng. Aku ingin kali ini pun murni cuma kita aja. Oke, kan?”

Sin Chan duduk di tempat tidur menopangkan tangan pada carrier. “Aku udah pesan anak MAPA, buat jaga-jaga kalau kita butuh tenaga mereka.”

Good, good!” Dania mengacungkan ibu jari.

No, aku nggak mau pakai mereka.” Rexa masih kukuh pada pendiriannya. “Dari awal koordinasi bukankah kita sepakat nggak pakai jasa porter?”

“Fisik kita udah nggak setangguh dulu, Rex.” Dania kembali mendebat Rexa.

“Berapa sih, umurmu? Lebih tuaan aku kali. Kalian kuliah aja belum pada lulus.”

Meskipun mereka bertiga satu angkatan di MAPA, tapi Rexa memang satu tingkat di atas Sin Chan dan Dania di dunia perkuliahan. 

“September tahun ini aku wisuda, catat baik-baik.” ujar Dania mempertegas statusnya. 

“Jangan lihat aku!” kata Sin Chan ketika bola mata kedua temannya seolah menghunus mengancam. Anak ini memang baru akan maju draft proposal skripsi.

“Kenapa kalian pesimis?” balas Rexa yang sudah duduk bersila dengan posisi seperti sedang menyidang Sin Chan dan Dania yang kemudian saling berpandangan.

“Kita nggak hanya naik terus turun. Kita akan melintas bukan?” Dania ambil suara. “Okelah, kalau kita hanya naik, mungkin saat muncak kita bisa meninggalkan carrier di pelawangan. Tapi dengan melintas, tidak mungkin dong perbekalan kita tinggal.”

“Pada kenapa sih, kita belum mencoba lho? Tahun kemarin kita masih bisa membawa beban hingga ke puncak tanpa bantuan tenaga orang lain.”

“Itu tahun kemarin, Sayang.” Dania sampai geregetan. “Itu kita juga cuma naik Gunung Gede-Pangrango. Ini Rinjani, kita akan melintas dan pada cuaca yang belum tentu baik.”

“Cuma beda setahun apa begitu ngaruh sama fisik?” Rexa mempertanyakan sesuatu yang baginya mustahil. 

“Kalau aku jelas ngaruh. Terus terang, kalau bukan karena mau mendaki lagi, aku nggak pernah latihan fisik.” ucap Dania. “Lagian hampir setahun aku sibuk skripsi jarang olah fisik.”

“Ehem, ehemm...” dehem Sin Chan meluruh perdebatan yang nggak bakal selesai dua hari dua malam kalau tidak dihentikan. “Kita ambil suara.”

“Tunggu!”

“Apalagi?” sergah Dania.

“Sepertinya aku bakal kalah.” Rexa menyerah. “Sin Chan, kamu setuju pasti setuju pakai porter?”

Sin Chan menyeringai disertai anggukan kepala pelan. Pun demikian dengan Dania, Sin Chan dalam hati mengakui kalau selama penyusunan skripsi dia jarang sekali latihan fisik juga. Makanya pendakian kali ini dia tidak begitu yakin bisa tanpa porter.

“Payah!” gerutu Rexa. 

Tak lama kemudian suasana berubah senyap. Bahkan angin pun tidak berani lewat. Kecuali satu sosok tinggi besar hitam, rambut semi gondrong awut-awutan berdiri di ambang pintu. 

“Wah, pada ngumpul-ngumpul.” akhirnya mahluk itu bersuara. “Lho kok pada diam?”

“Bukannya kamu harusnya ada di Basind Mahameru?” tanya Rexa heran setelah tahu siapa yang datang.

“Udah selesai.” kata Royan seraya jongkok di ambang pintu. “Baru aja balik. Aku dengar dari Anggara kalau kalian pada datang.”

“Berarti Kak Roy nganggur dong.” tanggap Dania tersenyum benderang.

“Ya, begitulah. Ada apa nih, butuh bantuan tenaga buat angkut-angkut barang?” senyum segar tertampil dari mulut Royan.

“Rex?” Dania memberi isyarat pada Rexa.

“Tiketnya? Kamu mau nanggung? Tinggal besok pagi lho kita berangkat. Kamu tahu kan, harga tiket dadakan bisa selangit harganya.”

Dania meringis pasrah. Sin Chan mengangguk-angguk bego.

“Ada apa?” tanya Royan pada ketiga gadis yang mendadak senyum-senyum padanya. Jadi berasa seram.

“Mereka berdua tuh, ribut ingin memakai porter.” tanggap Rexa.

“Oh, aku siap lho, kalau kalian butuh porter.” kata Royan. “Dan aku akan beli tiket sendiri. Cukup menguntungkan, kan. Semua beban kalian berkurang.”

“Serius?” Dania semakin cerah.

“Daripada kalian bayar porter dan sewa guide di sana. Mending pakai aku, kubayari pula. Gimana?”

Lups yu... Kak Roy!” Sin Chan menangkupkan dua telapak tangan depan dada.

“Kok pakai cinta-cintaan?” komentar Rexa sengit.

Sontak wajah Sin Chan berubah seperti jambu merah. Menatap Rexa dengan ekspresi salah tingkah. Royan sendiri tampak meneguk ludah.

“Deal, nggak nih?” Royan meluruskan topik pembicaraan.

“Rex?” Dania memastikan kesediaan Rexa membawa Royan.

“Kalian sama sekali nggak asyik!” sambar Rexa sambil mengeluarkan lagi barang-barang yang telah di-packing

“Kelihatannya oke?” Royan berdiri dari jongkok. “Aku ambil carrier dulu.”

Sin Chan dan Dania saling mengerling penuh kemenangan. Gerak selanjutnya mereka telah membagi ulang perlengkapan. Royan, tentu mendapat jatah lebih banyak. Huaha...

Sebelum barang ter-packing semua, Dania minta antar Royan ke minimarket terdekat. Sie konsumsi tim Rinjani itu ingin beli tambahan bekal ransum. Ada tambahan satu perut, tentu saja bahan makanan yang sudah terhitung bakal kurang.