Try new experience
with our app

INSTALL

RABU WAGE 

7. Persiapan

“Wage, sebenarnya apa yang sudah kamu perbuat kepada anaknya pak RW?” ibu menginterogasi anak sulungnya sambil membereskan beberapa barang.

Setelah diskusi tadi, diputuskan kalau keluarga mereka harus pergi dari kampung ini karena sudah dianggap menimbulkan keresahan kepada para warga.

Sebenarnya dari dalam hati paling dalam mereka sangat tidak setuju dengan anggapan demikian karena memang selama ini keluarga Kliwon tidak pernah membuat kegaduhan. Justru merekalah yang dari awal sudah memiliki pandangan sendiri gara - gara keluarga ini kurang bersosialisasi dengan tetangga dan gaya mereka yang cenderung terlihat misterius dengan pakaian serba hitam kecuali Surendra, anak bungsu dari keluarga ini yang sering keluar untuk berinteraksi dengan yang lain tapi ya itu statusnya sebagai anak keluarga Kliwon tetap saja membuat dirinya ditandai.

“Aku enggak melakukan apapun kepada Bagus,” jawab Wage dengan datar, ia fokus membereskan barang - barangnya.

“Tapi anak itu memberitahu orang tuanya jika kamu membuatnya ketakutan, memangnya apa?” ibu terdengar sangat kesal. Bukan karena apa, diusir dari kampung itu sebenarnya sudah sering menimpa mereka.

Alasannya pun hampir sama yaitu kalau tidak dituduh sebagai pelaku pesugihan ya dituduh biang keresahan warga dan salah satu penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah gara - gara Wage.

“Kalau tidak melakukan apa - apa ya kenapa kita diusir lagi,” ibu berhenti sejenak melirik ke anak perempuannya yang malah terlihat tidak peduli sama sekali.

“Sudah sayang, memang kita ini terlihat berbeda dimata mereka jadi mau tidak mau ini adalah resikonya,” ayah berusaha menenangkan sang istri.

“Tapi sayang, ini bukan kali pertama kita diusir oleh warga. Apakah kita tidak bisa berbaur dengan mereka dan hidup dengan damai,” ucap Mausia terdengar sudah lelah.

Rendra yang dari tadi memperhatikan kedua orang tuanya merasa sangat kasihan, apa yang mereka alami pasti sangat berat sekali. Ia juga merasakan sulitnya berbaur dengan anak - anak seumurannya hanya gara - gara dia adalah anak dari keluarga yang selalu memakai baju hitam dan jarang keluar rumah.

Anak bungsu ini kembali teringat masa lalu pas  ia masih umur sepuluh tahun. Disaat itu keluarga mereka tertimpa masalah cukup besar hanya karena dianggap sebagai penyebab kerusuhan dan musibah yang menimpa kampungnya dulu.

Gara - gara banyak hewan ternak mati, banyak orang meninggal, dan jarang hujan ia dan keluarganya dituduh sedemikian rupa bahkan hampir saja mereka akan dibakar warga sekampung.

Padahal kalau mereka tidak gelap mata, hewan ternak banyak yang mati karena terkena penyakit hewan dan adanya pemangsa yang masuk kampung, kalau masalah orang meninggal bukankah itu sudah takdir dari yang Atas, kalau jarang hujan pada saat itu memang sedang musim kemarau. Mungkin memang para oknum warga sedang mencari kambing hitam saja untuk menutupi masalah yang lebih rumit yang terjadi di perkampungan itu.

Rendra bergeser duduk ke tempat kakaknya yang tak bicara itu lalu bertanya sambil berbisik, “Sebenarnya kakak ngapain mereka sih?”

Wage menghentikan sejenak kegiatannya, ia melirik ke arah Renda dengan tatapan tajam.

“Apa perlu aku ceritakan?”

“Ya sudah jelas, tidak ada rahasia diantara kita selama ini,” Rendra menyakinkan kakaknya agar mau bercerita mengenai kejadian yang sebenarnya terjadi malam kemarin.

Sambil berbisik, Wage menceritakan secara lengkap dan singkat poin - poin penting yang terjadi dengan Bagus dan teman - temannya.

Gadis itu menceritakan jika ia bertemu dengan pocong lalu mengajak kerjasama dengan menakut - nakuti anak - anak yang sudah merundung adiknya itu. Caranya ya membuat permainan kecil saja dengan mematikan saklar lampu, melempari mereka dengan boneka voodoo buatan Wage yang dilihat Rendra kemarin, dan akhirnya meminta si pocong itu untuk menunjukan diri di depan anak - anak yang sedang berkumpul di sana.

“Dan sebagai imbalan si pocongnya memintaku untuk dijadikan teman,” kata Wage menutup penjelasan panjang barusan.

“Hah, serius?” 

“Ya,” jawab Wage singkat lalu melanjutkan lagu kegiatannya.

Rendra benar - benar tidak menyangka yang telah dilakukan oleh kakak perempuannya ini, sungguh hal yang keren sekaligus menakutkan. Kalau dia jadi Wage mungkin tidak akan sanggup melihat penampakan makhluk halus apalagi sambil membuat kesepakatan seperti itu.

“Tapi kak, apa kamu sudah bilang sama ibu kalau kamu bisa melihat mereka?” pertanyaan Rendra membuat Wage terhenti kembali, ia melihat ke arah ibu dan ayahnya yang sedang fokus mengobrol berdua lalu setelahnya ia mengalihkan pandangan ke arah adiknya.

Gadis itu memicingkan matanya dengan tajam seketika ia langsung mencengkram pipi adiknya sambil berkata, “Jangan sampai tahu!”

Rendra meringis karena kuku tajam kakaknya menyentuh permukaan kulit pipi yang menimbulkan sedikit rasa sakit.

“Kenapa sih?”

“Ya pokoknya jangan sampai ibu tahu,” tegas Wage.

“Oke, tapi lepaskan kuku kamu ini,” perintah Rendra yang langsung dituruti kakaknya.

Setelah merasa adiknya tidak akan lagi menanyakan hal itu, Wage kembali ke kegiatannya membereskan barang pindahan.

Sekilas gadis itu kembali mengingat hal - hal yang akan terjadi jika sang ibu tahu jika dirinya memiliki kemampuan yang sama yaitu melihat yang tak bisa manusia biasa lihat. Wage tidak mau ibunya sampai tahu hal itu karena jika sampai tahu sudah dipastikan dirinya akan dibawa ke rumah sang nenek untuk melakukan ritual keluarga.

***

Sudah jam dua belas malam, Wage dan yang lain baru selesai mengepak barang - barang yang akan mereka bawa untuk pindahan, bisa dibilang sangat cepat sekali. Mungkin karena sebenarnya barang - barang yang mereka miliki tidak terlalu banyak jadi bisa dibereskan dengan cepat.

“Wage, Rendra, besok jam empat pagi kita akan pindah ke kampung yang jaraknya cukup jauh dari sini,” ucap sang ayah kepada dua anaknya yang terlihat sangat kecapekan.

“Kemana yah?” tanya Rendra.

“Desanya ada di daerah Jawa Barat, umm … ujung Jawa Barat sih lebih tepatnya.”

Wage melihat ayahnya dengan serius saat mendengar ucapannya mengenai daerah yang akan menjadi tempat tinggal barunya nant. Berbeda dengan kakaknya sang adik malah terlihat sangat bersemangat, pikirnya ia bisa mendapat banyak teman baru lagi dan berharap mereka semua akan menerima dirinya dengan lapang.

“Ujung Jawa Baratnya di mana yah?” tanya Rendra.

“Ya enggak ujung - ujung banget sih, masih agak ke kota tapi jaraknya lumayan sekitar dua sampai tiga jam dari desa,” jawab ayah membuat Wage melongo.

‘Yang benar saja,’ pikirnya.

“Pokoknya kalian tidak perlu khawatir, tempat tinggal kita nanti akan sangat menyenangkan di jamin akan sangat berbeda dengan tempat - tempat tinggal kita sebelumnya, benarkan sayang,” ayah merangkul pinggang ibu dengan lembut, Mausia tersenyum sambil mengangguk membenarkan ucapan suaminya.

Hah, enggak mungkin tempat nanti akan seindah yang ayah bilang tadi, aku yakin itu.”