Contents
RABU WAGE
6. Diusir Warga
“Ayo!”
“Ayo!”
Beberapa warga kampung berteriak sambil berjalan menuju ke rumah keluarga Kliwon.
Di barisan terdepan ada Bagus yang terus saja mengompori orang tuanya yang merupakan ketua RW di lingkungan ini.
“Pak ayo ke rumahnya si keluarga aneh itu.Gara - gara dia semalam aku dan yang lain jadi masuk ketakutan sampai enggak bisa tidur,” ucap Bagus kepada bapaknya.
Sejak kejadian semalam, Bagus dan ketiga temannya merasa terus - terusan diikuti oleh sosok pocong yang mengganggu di tempat mereka bermain tadi. Hal yang paling membuatnya kesal adalah karena ia sempat melihat Wage keluar dari belakang bangunan sambil menertawakan dirinya.
Selain itu Bagus dan teman - temannya hampir jatuh ke parit saking terbirit - birit tanpa melihat arah.
“Pak Gema, ibu Mau,” teriak seorang perempuan paruh baya yang tak lain adalah istri pak RW sekaligus ibu dari Bagus.
Para warga yang ikut di belakang mereka terus berteriak memanggil - manggil nama keluarga yang menempati bangunan yang lebih mirip rumah kosong karena dari arah luar mereka seperti tidak merasakan adanya tanda - tanda kehidupan.
“Mungkin keluarga pak Gema sedang tidak ada,” kata Pak RW yang dari tadi sebenarnya berusaha mencegah kegiatan labrak melabrak ini tapi sang Istri sudah merasa jengkel yang malah memperkeruh suasana dengan terus mengompori beberapa warga dengan tuduhan dan spekulasi mengenai keluarga ini, maklum namanya juga ibu - ibu yang tidak suka melihat bahan gosip tidak diolah.
“Alah paling mereka lagi bersembunyi di dalam, “ ucap sang istri tidak mau mendengar pernyataan suaminya. “Enggak mungkin keluarga sesat enggak ada di rumah atau jangan - jangan mereka lagi melakukan ritual sesat.”
Ibu RW ini malah membuat bahan lagi dan terus memprovokasi para warga agar percaya dengan semua yang diucapkannya sampai akhirnya mereka semua bertindak sedikit brutal dengan mendobrak pintu pagar dan berbondong - bondong menuju rumah dengan cat abu tersebut.
BRAK! BRAK! BRAK!
“Woy, keluar kalian semua. Jangan jadi pengecut dengan terus bersembunyi di dalam, keluar!” teriak bu RW diikuti oleh para warga.
Sekali lagi ia menggebrak pintu rumah keluarga Kliwon dengan keras sambil terus berteriak meminta pertanggung jawaban atas yang dilakukan anak perempuan mereka.
Tak lama terdengar suara langkah dari dalam dan benar saja pintu kemudian terbuka, memperlihatkan sepasang suami istri yang berpakaian serba hitam keluar dari sana.
“Maaf ini ada apa ya?” Mausia terlihat sangat bingung, ia tidak tahu kenapa tiba - tiba di depan rumahnya sudah banyak orang yang berkumpul seperti ini.
“Heh bu, enggak usah pura - pura bodoh. Mana anak perempuan kamu,” Bu RW meminta mereka memanggilkan Wage tapi sebelum dipanggil gadis itu sudah muncul di balik pintu. “Nah ini dia!”
Gema dan Mausia masih belum mengerti dengan maksud kedatangan bapak dan ibu RW beserta para warga lain ke rumahnya. Mereka lalu menoleh ke arah anak sulungnya dan menanyakan apakah gadis ini tahu kenapa mereka datang?
Namun inilah Wage yang selalu bersikap datar dan minim ekspresi jika banyak orang, ia malah mengangkat pundaknya pertanda tidak mengerti juga.
Melihat gerak - gerik anak gadis yang rambutnya diikat asal itu membuat ibu dari Bagus ini malah semakin kesal. Ia kemudian mencengkram baju Wage dan menariknya keluar.
“Heh, anak aneh. Apa yang kamu lakukan sama anak saya semalam? Kamu mau bikin anak saya jadi tumbal pesugihan yang kalian lakukan, hah?” tuduh si ibu.
“Tunggu!” Mausia memegang tangan ibu RW dan meminta agar ia melepaskan pakaian anaknya tapi sayangnya ia tidak mau.
“Denger ya ibu Mau, semalam anak saya dan teman - temannya diteror oleh pocong peliharaan kalian.”
“Pocong?”
“Iya, anak gadismu ini memerintahkan si pocong untuk menangkap Bagus dan lainnya di bangunan tempat biasanya anak karang taruna berkumpul. Mereka ditakut - takuti oleh Wage dan pocongnya dan gara - gara itu anak saya hampir celaka,” jelas ibu RW menggebu - gebu seperti suara deru mesin kereta api, tanpa spasi.
“Benar itu Wage?” ibu menoleh ke arah anak sulungnya itu, sedangkan Wage hanya menggeleng lemah membuat rasa ragu dalam hati ibunya.
Mausia berusaha meyakinkan yang lain kalau anaknya tidak memiliki peliharaan makhluk halus, pembelaan itu pun dibantu oleh pak Gema yang menjelaskan jika mereka juga bukanlah pelaku pesugihan seperti yang dituduhkan oleh yang lain.
Namun sekali lagi sayangnya mereka semua tidak ada yang percaya karena sudah terlalu percaya dengan gosip yang beredar mengenai keluarga ini.
“Kami semua tidak percaya kalau kalian bersih, buktinya sudah jelas. Lihat cara kalian berpakaian dan bersosialisasi, keluarga kalian pasti melakukan pesugihan di kampung kami kan,” teriak salah satu warga yang berada di paling belakang kerumunan.
“Maaf pak sudah saya tekankan, tidak ada yang melakukan pesugihan,” Gema berusaha meyakinkan mereka lain.
“Cuih, bohong banget. Mana ada orang yang diem di rumah saja tapi bisa membeli apapun kalau bukan dia melakukan pesugihan,” suara seorang ibu - ibu terdengar sangat lantang, dan ternyata dia adalah tetangga keluarga Kliwon yang rumahnya berada di depan jalan yang selalu dilewati oleh mereka kalau pulang.
“Sekarang zaman sudah modern kali bu, orang bisa kerja di dalam rumah tanpa perlu ke kantor, pakai seragam dan panas - panasan di perjalanan hanya untuk diakui kalau dia kerja oleh mata kalian,” celetuk Wage membuat si ibu semakin geram.
Karena tingkah Wage ini beberapa warga yang memang dari awal tidak suka dengan mereka semakin merasakan kebencian di dada. Mereka merasa sudah habis kesabaran karena tindakan keluarga ini yang terlihat sangat mencurigakan dari dulu.
“Mending bakar saja rumahnya,” lolong seorang pria paruh baya yang berada di barisan paling samping.
“Pak … Bu …, tolong sabar dulu. Ini semua bisa dibicarakan baik - baik,” cegah pak RW tapi tidak berpengaruh karena mereka semua benar - benar ingin membuat onar pada keluarga ini.
Saat ada salah satu warga yang akan melempari rumah mereka dengan batu, ibu dan ayah Wage buru - buru mencegahnya dengan mengatakan, “Jangan rusak rumah ini!”
“Kenapa? Jangan - jangan rumah ini juga simbol pesugihan ya, pesugihan kandang bubrah pasti,” celetuk warga yang memegang batu di tangannya.
“Tidak bukan begi–”
“Halah jangan bacot doang lo, dasar keluarga dukun sesat. Pergi dari kampung kami sekarang!”
“Iya!”
“Iya!”
“Pergi saja,” yang lain kompak meneriaki suami istri tersebut sedangkan Wage masih diguyel - guyel oleh ibunya Bagus.
Mausia tiba - tiba merasakan sakit dikepalanya membuat dirinya berteriak kencang sekali, “BERHENTI!”
Untungnya para warga langsung menurut termasuk si ibu RW yang juga berhenti menarik - narik tubuh anak sulungnya.
“Bu tolong lepaskan anak saya dan jangan diperlakukan seperti itu. Apakah ibu tega melihat anaknya disiksa oleh orang lain di depan matanya sendiri,” ucapan Mausia berhasil membuat ibu RW tertegun, mungkin ia sedang membayangkan nasib anaknya jika diperlakukan seperti itu.
“Jika kalian semua mau kami pergi dari kampung ini, oke akan saya turuti asal kalian berhenti merundung keluarga kami.”
Mereka semua mengangguk setuju tanpa pikir panjang karena yang terpenting niat mereka mengusir keluarga Kliwon berhasil.