Try new experience
with our app

INSTALL

Enigma 

Prolog: Halo

Suara langkah sepatu berhak terdengar menggema di koridor yang lengang sore hari itu. Suasana terasa sedikit menyeramkan saking heningnya, apalagi ketika kemudian awan bergemuruh marah, mengancam tidak akan segan-segan menjatuhkan muatan yang dibawanya. Aneh sekali, padahal masih awal bulan Juli, tetapi hujan sudah sering datang akhir-akhir ini.

Bunga Putri Oktavia terus melangkah menuju pintu keluar gedung Fakultas Kedokteran sambil melirik jam di tangan, lalu mempercepat langkahnya, begitu menyadari bahwa hanya tersisa beberapa menit lagi sebelum ia terlambat datang ke agenda selanjutnya. Ia memindahkan beberapa helai rambut yang menghalangi pandangan ke belakang telinga, rambut panjangnya yang tergerai bergerak-gerak tertiup angin.

Bertepatan dengan tetes hujan pertama yang turun begitu ia keluar dari gedung, terdengar suara notifikasi ponsel dari dalam tas, membuat Bunga berhenti berjalan untuk sekilas mengecek ponselnya. Ternyata notifikasi tersebut berasal dari aplikasi email. Baru saja dia akan mengabaikannya ketika matanya keburu membaca nama pengirim email itu. saphiera.adeline@mail.com

Suara keras ponsel yang bertemu ubin lantai terdengar sangat kontras di tengah keheningan. Bunga memandangi tangannya yang kosong gemetaran, punggung dan ujung jarinya terasa beku, keringat dingin meluncur turun di dahi. Ia merasakan sesuatu yang tak enak merayap di dalam perut, membuatnya mati-matian menahan mual. Suara hujan yang semakin deras memperkeruh suasana yang sudah mencekam.

Perlahan ia ambil ponselnya yang terjatuh dan berkali-kali membaca ulang nama pengirim email itu, mencoba mencari ejaan yang salah di sana, atau mengingat-ingat orang lain dengan nama yang sama. Namun hasilnya nihil, sekeras apa pun ia mencoba, jawabannya tetap jatuh kepada orang itu.

Bunga menggigiti kuku jari, pikirannya melayang ke manamana. Tapi … tapi, kok, bisa? Bukannya dia … dia sudah ….

Beb! Ayo pergi!”

Bunga terlonjak di tempat. Jantungnya berdegup kencang sekali sampai badannya terasa lemas, begitu adrenalin selesai menamparnya kuat. Ia berusaha menenangkan diri sembari melihat ke arah sumber suara.

“Ih, Satria! Jangan ngagetin gitu, dong!” seru Bunga kesal, masih gemetaran.

Lho? Aku enggak ngagetin, kamu aja kali yang penakut!”

Seorang lelaki dengan tahi lalat di bawah bibirnya menyeringai. Lesung pipit yang muncul seiring dengan ujung mulutnya yang naik sempurna melengkapi wajah tampannya. Ia berdiri di bawah lindungan payung yang cukup besar untuk dua orang.

Satria berangsur-angsur terlihat bingung ketika Bunga malah memandangnya dengan wajah pucat. Tangan kanannya— yang tadinya berada di dalam saku—dengan hati-hati berusaha meraih wajah Bunga.

“Kok diam? Kamu enggak apa-apa? Sakit?” tanya Satria sambil menyentuh dahi Bunga untuk mengecek suhu tubuh.

Seakan tersentak dari lamunan, Bunga langsung berjalan masuk ke bawah lindungan payung Satria. Ia menggenggam lengan pacarnya itu kuat-kuat dan menariknya menjauh dari gedung fakultas.

“Ayo, kita bicara di mobilmu saja.”

Satria hanya bisa mengernyit, pasrah ditarik Bunga yang terlihat ketakutan dan waswas melirik ke semua arah. Lelaki itu memilih untuk tidak mempertanyakannya.[]