Contents
Pertemuan
Part 2 - Kerinduan, 12 Januari 1998
Di puncak musim hujan, 12 Januari 1998, tepat sudah di tiga bulan ini melalui suratnya, ibu berjanji akan datang menemuiku, setelah hampir dua tahun kami berpisah. Aku menunggunya tepat di depan pintu sesuai janjinya, bahwa ibu akan pulang hari ini, tapi sampai hujan itu pecah, ibu belum juga kembali. Aku kecewa tapi tidak bisa membencinya, karena ibu adalah seseorang yang paling berharga dalam hidupku. Mungkin ibu masih merasa kuat dibandingkan aku, dalam melawan rindunya demi masa depanku.
Di teras depan panti, aku menikmati suara pecahan air hujan yang terjatuh, bersama cahaya sore yang menyihirku pada sebuah lamunan akan ingatan di masa lalu, dalam gambaran teduhnya wajah ibu dan tajamnya puisi-puisi cinta ayahku.
“Jangan ditiru!” kata ibu dalam kenanganku, saat ibu berusaha menutupi rasa tersipunya dihadapanku, kala ayahku mulai membacakan puisi-puisi cinta untuknya.
“Ayah, lihat wajah ibu memerah!” kataku yang diiringi tawa, dan membuat ayah semakin bersemangat menaburkan kata-kata cinta melalui puisi yang dibacanya.
“Kalian berdua ini sama saja!” bentak ibu yang tak mampu menutupi rasa malunya.
“Akui saja cantik, kau tak perlu jadi penipu untuk perasaanmu sendiri,” balas ayahku, tepat di saat kedua hidung mereka beradu.
“Ihhhhh, sana! Sana!” ibu mendorong tubuh ayah. “Sudah cukup!” ibu memberi isyarat tanda menyerah pada setiap kata cinta yang ditaburkan, lalu ia berjalan mendekatiku dan berkata kepadaku. “Kenapa kau bela ayahmu?” tanya ibuku, dan aku hanya tertawa, lalu aku berkata.
“Aku ingin seperti ayah!” kataku.
“Gombal murahan kok ditiru,” kata ibu.
“Tahu tidak bu, kenapa aku ingin seperti ayah?” tanyaku dan ibu hanya menggelengkan kepalanya, seraya mendekatkan wajahnya ke arahku. “Supaya nanti, aku bisa mendapatkan istri yang cantiknya seperti ibu,” jawabku sambil ku mainkan kedua mataku.
“Ihhhhhh! Apa-apaan ini! Ayah sama anaknya, sama aja gombalnya!” ibu pun mengayunkan langkahnya menjauh dariku, bersama rasa malu yang tak mampu ia sembunyikan.
Saat langkahnya belum begitu jauh, ibu berhenti, seperti ada sesuatu yang telah membuatnya takjub sehingga menghentikan langkahnya.
Aku bersama ayah, melihat ibu sedikit membungkukkan badannya. Kemudian dengan wajah berseri, ia memanggilku. “Sini! Sini!” suaranya pelan, tangannya memberikan isyarat supaya aku segera menghampirinya.
“Tunggu sebentar bu,” jawabku, sambil berjalan bersama ayahku, menuju ke tempat ibu yang masih membungkukkan badannya, dengan bertopang pada dua tangan yang bertumpu ke lutut kakinya.
“Rugi kalau tak sampai melihat ini,” kata ibu. Mendengar itu, aku pun segera berlari menghampirinya. “Husss, berjalanlah pelan-pelan dan jangan bersuara,” pinta ibu, dan aku berjalan menjinjit, pelan-pelan mendekatinya, yang diikuti oleh ayahku.
“Ada apa bu?” tanyaku berbisik.
“Lihat itu!” ibu menunjukkan seekor kupu-kupu yang akan keluar dari kepompongnya, “Cantikkan?” tanya ibu.
“Iya, cantik!” jawabku.
“Suatu saat kamu akan seperti itu, melalui banyaknya proses untuk tumbuh dan berkembang, kemudian kamu bebas menentukan ke arah mana kamu akan pergi,” kata ibu, sambil tersenyum menatapku.
“Aku ga mengerti bu,” kataku.
“Nanti, kamu juga akan mengerti, jika sudah besar nanti,” ibu mengusap lembut kepalaku. Tak lama kemudian, kupu-kupu yang kami amati terbang dan kami pun takjub dengan karya Tuhan yang baru saja kami lihat, dalam senyumannya, ibu menitipkan pesan kepadaku. “Tetaplah fokus dan tidak terpengaruh oleh semua hal yang menghalangimu, lalu terbanglah bersama kebebasanmu untuk menciptakan mimpimu.” Kata ibu, yang terus mengajakku untuk mengamati kemana pun kupu-kupu itu pergi. “Jadilah seperti kupu-kupu, yang tidak pernah peduli dengan banyaknya proses yang harus dialami, dari hanya sekedar makhluk merayap menjadi mahluk yang bersayap,” nasihat ibuku, yang kemudian ditambah kata-kata dari ayahku.
“Bersifatlah seperti angin, tidak pernah takut pada setiap tekanan,” kata ayahku.
***
Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan untuk bisa kembali ke masa-masa indah itu. Aku hanyalah seorang anak kecil yang dipaksa menunggu dan menahan harapan, sampai akhirnya semua yang terlihat menjadi hening saat hujan sore itu tak lagi turun, malam pun mulai menampakkan diri bersama isyarat-isyarat dingin, yang meraba pada kulit rindu yang tak terbalas.
***
Aku berjalan sendiri mencoba merapihkan semua foto dan surat-surat cinta dari ibuku ke dalam sebuah box kaleng yang aku beri nama rindu, berwarna silver bermotifkan bunga batik di setiap sisinya. Box kaleng pemberian oma, yang dulu diberikan oleh sahabat karibnya yang tak lain adalah nenekku sendiri, yang bernama Ambar Larasati. Seorang istri dari loyalis Soekarno, yaitu kakekku, yang bernama Muhammad Kasman, dan belum juga diketahui keberadaannya hingga sekarang.
Ada banyak cerita yang belum terungkap tentang keluarga ibuku, sebab oma dan opa tak banyak mengatakan tentang apa yang sebenarnya terjadi, mereka hanya menceritakan sebatas persahabatan yang terjalin di antara mereka sejak zaman penjajahan Jepang. Meski sedikit, opa pernah kelepasan kata.
“Kakekmu dulu, adalah seorang perwira yang memilih jalan hidupnya untuk menjadi seorang pedagang dan politisi. Kakekmu itu orang yang sangat loyal terhadap pimpinan tertinggi revolusi pada saat itu, tetapi setelah tragedi politik di awal tahun 1966, opa tidak pernah lagi bertemu dengan kakekmu, sampai akhirnya nenekmu datang ke panti ini untuk menitipkan ibumu yang saat itu masih berumur sembilan bulan,” terang opa kepadaku.
“Revolusi itu apa, dan kenapa nenekku menitipkan ibu disini?” tanyaku kepada opa.
“Emmmm... revolusi itu?” belum sempat opa menjelaskan tentang apa itu revolusi, tiba-tiba saja oma datang, dan menghentikan perbincangan kami berdua.
“Opa!” oma memanggil opa sembari memberikan isyarat di kedua gerak matanya, tanda untuk segera dihentikannya cerita, sehingga apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga ibuku pada masa revolusi tidak banyak yang aku ketahui, begitu juga dengan kepergian ayahku yang sampai detik ini masih menjadi sebuah misteri dalam hidupku, dan menjadi tanda tanya, ada apa sebenarnya dengan keluargaku.
Aku menjadi teringat dengan lemparan batu yang pecahkan kaca jendela, dan pandangan tajam orang-orang yang tidak aku kenal, aku juga teringat kembali ketika untuk pertama kalinya ibu mendaftarkan aku ke Sekolah Dasar Negeri yang letaknya tidak jauh dari rumahku.
“Ada apa dengan anak kami, kenapa dia tidak bisa diterima di SD Negeri ini, umurnya juga sudah lebih dari cukup untuk bisa diterima di sekolah ini, dan dia juga sudah pandai menulis serta membaca, kepandaiannya dalam berhitung pun sudah melampaui anak-anak seumurannya, ada apa sebenarnya ini bu, kenapa namanya dicoret dari daftar penerimaan sekolah ini?” kata ibuku, yang berusaha mencari keterangan kenapa nama ku bisa tercoret dari daftar penerimaan siswa baru kepada pihak sekolah, yang diwakilkan oleh seorang guru.
“Maaf ibu, bangku di kelas satu tahun ini terbatas, dan hanya cukup untuk empat puluh satu siswa,” jawaban yang tidak logis dari perwakilan sekolah membuat ibu sedikit menahan nafasnya.
“Saya adalah pendaftar pertama di sekolah ini bu, ada apa sebenarnya, kenapa nama anak saya tiba-tiba saja dicoret?” tanya ibu kembali.
“Maaf bu, kami hanya menjalankan tugas dan hanya itu yang bisa kami sampaikan, terima kasih.” Tanpa kejelasan yang diinginkan, perwakilan dari sekolah itu pun mempersilakan ibuku untuk keluar dari ruangannya. “Saya harap ibu mengerti,” timpalnya kembali dengan membukakan pintu keluar untuk ibuku.
“Ya saya mengerti, inilah nasib saya dan nasib anak saya, sebagai keturunan daftar merah negeri ini.” Ibu lalu menggandeng tanganku berjalan meninggalkan ruangan itu, semua orang melihat kami yang membuat kami merasa seperti orang asing di negeri kami sendiri.
“Ibu, daftar merah itu apa?” tanyaku.
“Itu artinya kamu anak pintar yang tak pantas sekolah di tempat ini,” jawab ibu bersama rasa kecewa yang tak mampu disembunyikan oleh wajahnya.
***
Hampir seharian penuh ibu mencarikan sekolah untukku, nampak jelas terlihat keringat dan rasa letih di wajahnya, tapi tidak ada sedikitpun dari debu dan panasnya matahari yang sanggup melunturkan kecantikannya. Ibu adalah kecantikan yang sempurna di mataku.
Setelah lama kami berjalan, akhirnya kami mendapatkan sekolah dasar swasta yang mau menerimaku meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, tetapi dengan melihat semangat ibu dalam usahanya untuk menyekolahkanku, membuatku tak pernah mempermasalahkan jarak tempuh yang begitu jauh, aku tetap bahagia meskipun harus memaksakan diri untuk bangun lebih pagi.
“Sekolah itu sangat penting, karena dari sini kamu akan banyak mengenal dan belajar tentang banyak hal, berbahagialah karena tidak semua anak bisa bersekolah sepertimu,” pesan ibu kepadaku.
“Tapi sekolahnya jelek bu, tidak sebagus yang tadi,” kataku. Ibu mendekatkan wajahnya kearahku.
“Bukan sekolah yang menentukan keberhasilanmu, tapi dirimu sendiri,” ibu menarik hidungku dan aku hanya tertawa.
“Sakit, bu!” kataku, sembari memegang bekas cubitan ibu.
“Yuk, kita kabarkan ke ayah, kamu diterima di sekolah ini,” kata ibu, yang kemudian menggandeng tanganku.
***
Keesokan hari, di pagi yang indah, dan untuk pertama kalinya, aku mengenakan seragam sekolah. Senyuman ayah mengembang, menyambutku yang sedang memamerkan seragam baru.
“Wah, ganteng sekali anakku,” puji ayah sembari memegang kedua bahuku. “Alhamdulillah, akhirnya sekolah juga kamu nak, yang pintar ya sekolahnya,” kata ayahku kembali. Kemudian, ibu memakaikan topi yang berwarna merah dan putih, di kepalaku.
“Meskipun jaraknya jauh, kamu harus tetap semangat sekolahnya!” harapan ibu menguatkan semangatku.
“Ayah mau mengantarku?” tanyaku.
“Ayahmu hari ini mau mengirimkan tulisannya, dan sudah ada janji sama orang lain, jadi kamu berangkat sekolahnya sama ibu aja,” pinta ibu.
“Doakan ayah ya, semoga tulisannya laku, lumayan buat beli kompor baru, kasihan ibumu itu setiap hari harus benerin kompor minyaknya,” kata ayah sembari mengarahkan pandangannya ke ibu.
“Iya ayah,” jawabku.
“Sudah rapih, yuk berangkat!” ajak ibu, dengan senyumannya yang mengawali semangat hari pertamaku ke sekolah.
***
Di sepanjang jalan menuju sekolah, aku dan ibuku selalu tebarkan senyum harapan akan indah sebuah masa depan, sesekali kami berdua saling mencuri pandang, meskipun tangan kami tak lepas dalam gandengan. Dan ketika pandangan kami berdua beradu, kami pun melepaskan tawa. Saat itu, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika pertama kali ibu mengantarkan aku ke sekolah, aku membayangkan diriku adalah seorang anak pangeran yang selalu dalam penjagaan ibu pemilik kerajaan.
“Ibu sini,” pintaku menghentikan langkah ibu.
“Ada apa?” tanya ibu.
“Sini menunduk,” kataku. Ibu mengerutkan dahinya, tapi tetap mengikuti keinginanku. “Aku ingin mengatakan sesuatu ke ibu,” kataku. Setelah itu, ibu merapihkan rambutnya supaya apa yang akan aku sampaikan ke telinganya dapat di dengar olehnya dengan sempurna, lalu ibu semakin mendekatkan telinganya ke arah bibirku, dan aku mulai berbisik kepadanya. “Aku sayang ibu, muah!” dengan cepat aku cium pipinya, dan lalu aku berlari sembari berkata, “Ayo kejar aku bu!” tantangku.
“Dasar anak nakal, mencuri ciuman di pinggir jalan, bikin malu keturunan,” ibu tertawa dan kemudian ia mengejarku. “Awas kalau tertangkap! ibu akan keluarkan pukulan ksatria baja hitam!” Kata ibuku, sembari menggerakkan tangannya seperti dalam film Kamen Rider Black.
“Hahahahahaaa... aku Gorgom akan menangkis seranganmu, dengan kekuatan petirku,” kataku yang tak berhenti berlari dari kejarannya.
“Bisa-bisanya kamu seperti itu,” ibu tak henti-hentinya tertawa. “Pasti ini ajaran ayahmu!” kata ibu yang berhasil menangkapku.
“Aku cuma mau meniru gaya ayah saat mencium kening ibu,” jawabku.
“Anak, sama ayahnya, sama aja! Pandai mencuri perhatian! Ayo jalannya di percepat, sebentar lagi jam tujuh,” kata ibu yang kemudian kembali menggandeng tanganku.
“Bu, aku mau belajar buat puisi cinta seperti ayah,” kataku.
“Belum waktunya!” jawab ibu sambil matanya melotot ke arahku. “Ayo cepat jalan, nanti terlambat!” ucapnya kembali.
***
Aku benar-benar tidak bisa lepas dari semua kenangan, apapun yang tersisa sampai saat ini, pasti akan selalu membuatku kembali mengenang masa itu. “Aku selalu merindukan kalian,” kataku dalam kesendirian, yang menjerumuskan aku pada sebuah lamunan.
“Cakra?” dengan tongkatnya Santi mencari tahu keberadaanku.
“Iya, ada apa Santi?” jawabku.
Santi adalah seorang anak perempuan yang umurnya dua tahun di atasku, ia memiliki rupa yang sangat cantik, seperti Suku Maori di Selandia Baru. Warna kulitnya sawo matang, tubuhnya tinggi besar, berhidung mancung, dan bermata bening kecoklatan. Tetapi sayang, di kedua matanya yang indah itu, dia tidak dapat melihat. Santi di besarkan di panti dari umur tujuh tahun, setelah ia ditinggalkan begitu saja oleh ayahnya di depan pintu pagar panti, saat musim penghujan di bulan Februari.
Santi ditemukan sedang menangis. Bersama tas di punggungnya, dalam keadaan basah di sekujur tubuhnya karena serangan hujan yang terjadi pada malam itu. Santi dihampiri oma, dan kemudian digendong opa ke dalam panti. Tubuhnya yang membiru, mengiringi tangisnya yang tak henti.
“Siapa namamu, nak?” tanya oma.
“Santi,” jawabnya sembari menahan sisa-sisa tangisnya. Tapi sorot mata Santi tak menuju ke arah oma. Merasa ada yang aneh, oma melambaikan tangan kanannya di hadapan Santi, tapi tatapan mata Santi tidak berubah, matanya tetap pada posisi yang sama. Tidak bergerak sama sekali, dan wajahnya hanya mengarah lurus ke dinding kamar mandi. Dalam kecurigaan akan kondisi Santi, oma memanggil opa dengan isyarat dari tangannya.
“Ada apa dengan anak ini, matanya terlihat bagus, tapi tatapannya kosong?” tanya oma kepada opa yang berjalan mendekatinya.
“Santi,” opa memanggilnya. Setelah lama mengamati di kedua bola matanya, tak lama kemudian, tanpa rasa canggung Santi meraba wajah opa dengan kedua tangannya yang mengeriput karena dinginnya air hujan.
“Apakah anak ini buta?” bisik oma pelan kepada opa.
“Iya, anak ini buta, meskipun kedua matanya terlihat sempurna,” jawab opa.
***
“Ayahku ada dimana?” tanya Santi kepada oma.
“Kami tidak tahu ayahmu ada dimana, kami hanya melihat kamu di depan pintu gerbang berdiri sendiri tanpa ayahmu,” jawab oma dengan terus memandangi wajah Santi yang masih nampak terlihat bingung.
“Tadi, ayah menyuruhku untuk tetap memegang pintu gerbang, katanya dia ada perlu sebentar dengan pemilik rumah, dan aku menurutinya karena ayah telah berjanji dia akan kembali,” ungkap Santi.
“Di mana ibumu?” tanya oma.
“Aku tidak pernah tahu tentang ibuku, ayah hanya bercerita bahwa ibuku meninggal setelah melahirkan aku,” mendengar jawaban Santi membuat oma dan opa terdiam untuk sesaat. Kemudian oma membawa Santi ke ruang tengah, sedangkan opa membuatkan Santi segelas teh manis hangat bersama roti tawar berbalurkan mentega, dan sedikit taburan gula pasir di atasnya.
“Di mana ayahku?” Santi kembali bertanya tentang ayahnya, dan dengan rasa keibuan oma memeluknya.
“Sekarang Santi sudah berada dalam perlindungan oma dan opa, jangan takut ya sayang, kamu disini aman. Berdoalah selalu untuk ayahmu, semoga ayahmu segera datang kembali menjemputmu,” kata oma. Santi pun menangis, memahami bahwa ayahnya telah pergi meninggalkannya.
Meskipun kedua matanya tak bisa melihat, tapi Santi memiliki daya ingat yang kuat, sehingga ia dapat dengan cepat menghafal setiap jalan menuju ke semua ruangan di panti, Santi pun juga mampu mengenal seseorang hanya dengan mendengarkan suaranya.
***
“Sedang apa kau Cakra?” Santi mendekatiku dengan berjalan meraba bangku menuju ke arahku.
“Sini,” kataku. Ku bimbing dia menuju ke tempatku.
“Kok, kamu tahu aku ada disini?” tanyaku.
“Tadi, saat aku berjalan ke arah ruang tamu, aku mendengar suara box kaleng yang baru saja kamu tutup. Di panti inikan hanya kamu yang memiliki box kaleng itu, lagi pula aku hafal sekali dengan suaranya,” jawab Santi.
“Kamu hebat Santi!” kataku. Santi pun tersenyum.
“Oh ya Cakra, sudah ada kabar tentang ibumu?” tanya Santi kepadaku.
“Belum San,” kataku, sembari tertunduk lesu.
“Kenapa kamu ga telepon ibumu aja?” tanya Santi.
“Ibu melarangku,” jawabku.
“Kenapa?” tanya Santi kembali.
“Karena biaya telepon dari sini ke Jakarta mahal Santi,” terangku.
“Kan bisa telepon sebentar, cari tahu kabarnya,” balas Santi.
“Ibu tetap menolaknya, kecuali kalau ada yang benar-benar penting untuk disampaikan,” terangku kembali.
“Tapi, kamu masih sangat beruntung Cakra. Dibandingkan aku, bersama anak-anak panti disini,” terang Santi yang membuatku merasa lebih bersyukur dengan kondisiku, setidaknya aku masih tahu dimana orang tuaku berada, meskipun itu hanya ibu yang aku tahu.
“Iya Santi,” balasku.
***
Tidak lama kemudian, oma datang menghampiri kami berdua.
“Kalian belum tidur?” tanya oma. “Cakra, ingat besok hari senin kamu harus bangun lebih pagi,” tegur oma kepadaku.
“Iya oma,” balasku.
“Santi, sementara ini kamu tidur sama Mbok Tun ya, soalnya tempat tidur kamu malam ini mau di bongkar opa supaya besok pagi bisa langsung diganti sama yang baru,” pinta oma.
“Iya oma, terima kasih,” jawab Santi.
“Ayo semuanya tidur, jangan lupa rapihkan mainannya.” Kata oma sembari menepuk-nepuk kedua tangannya, memberikan isyarat kepada semua anak-anak di panti bahwa waktunya bermain sudah habis.
Opa dan oma adalah sosok malaikat penyelamat bagi kehidupan anak-anak di panti, pasangan suami istri ini tidak dikaruniai anak, sehingga mereka berdua setuju ketika kakekku memutuskan untuk mengajak mereka membangun sebuah panti yang menampung anak-anak terlantar di sekitar tempat tinggalnya. Kakekku merupakan salah satu penyumbang terbesar pembangunan panti, dan pernah menjadi pengurus panti di tahun pertama panti ini dibangun. Selain berdagang, kakekku juga aktif di salah satu partai politik yang beraliran nasionalis, sampai akhirnya tragedi politik di akhir tahun 1965 menenggelamkan namanya.
***
Kami sangat bersyukur berada di panti ini, oma dan opa sangat perhatian kepada kami semua. Mereka berdua benar-benar telah menganggap kami seperti anaknya sendiri, semua diperlakukan sama, tidak ada yang dibedakan di panti ini, bahkan kepadaku oma dan opa tetap memperlakukan aku sama seperti anak-anak yang lainnya, meskipun sebagian tanah di panti ini adalah pemberian dari kakekku, yang tidak lain adalah sahabat mereka sendiri.
Apa jadinya kami, jika tanpa kehadiran orang-orang baik seperti opa dan oma. Pernah di suatu ketika, kami di panti mendengar cerita dari seorang tamu tentang nasib anak-anak di panti lain, di mana kehidupan mereka di panti tidak sebaik dan seberuntung kami di sini, mereka di sana hanya menjadi mesin uang bagi pemilik panti yang selalu gemar mencari sumbangan ke berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk mengeruk keuntungan pribadinya sendiri, dengan menjual agama, kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Ini sangat jauh berbeda dengan yang kami rasakan di sini. Untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari, oma dan opa lebih banyak mengandalkan hasil kebun dan ternak ikan di tanah milik panti yang berada persis di belakang bangunan panti. Meskipun ada sumbangan dari luar, itu tidak dijadikan sebagai prioritas utama dalam memenuhi kebutuhan kami di panti.
Hampir setiap hari minggu atau hari libur sekolah, anak-anak di panti bersama-sama dikerahkan oleh opa dan oma untuk membersihkan kebun dan kolam ikan mereka dari rumput dan daun-daun yang kering. Biasanya opa atau oma membagi kami dalam beberapa kelompok, dan saat ini aku terbagi dalam kelompok yang bertugas membersihkan kolam ikan dari daun-daun kering di sekitar kolam.
“Suharti, lihat ini!” seorang anak lelaki bertubuh gempal bernama Darman, menempelkan seekor cacing ke hidung teman perempuannya yang berada persis di sampingnya.
“Aaaaaa!!!!” teriak Suharti sambil berlari menjauh. “Darman jahat!” maki Suharti, yang berlari ke arah oma. “Oma, tadi Darman menempelkan cacing di hidungku,” keluhnya kepada oma.
“Darman, buang cacing itu!” bentak oma. Darman lalu membuang cacing itu ke dalam kolam ikan yang berada di sampingnya. “Darman, sekarang kamu bantu opa angkat sampah-sampah itu,” pinta oma.
“Awas kamu Suharti! Tukang ngadu!” dengan rupa yang kesal Darman mengancam Suharti.
“Darman!” Bentak oma semakin keras. “Sana bantu Opa!” tangan oma menunjuk ke arah sekelompok anak-anak panti yang sedang membantu opa membakar rumput dan daun-daun kering.
“Rasain, Wekkk!” Suharti menjulurkan lidahnya ke arah Darman, membuat oma pun menegurnya. “Kamu juga sama, sana bantu opa!” Dengan wajah masam, Suharti mengikuti perintah oma.
“Hihihhiiii emang enak,” bisik Darman ke Suharti, membuat Suharti semakin jengkel dan mempercepat langkahnya meninggalkan Darman.
“Kamu jahat!”kata Suharti, setelah melempar potongan ranting ke arah Darman.
“Tapi kan aku ganteng, ya ga?” ledek Darman.
“Pretttttt!” balas Suharti, yang kemudian berjalan ke arah opa.
Aku tahu kenapa oma memperlakukan Suharti seperti itu, karena Suharti dan Darman sering sekali bertengkar yang ujung-ujungnya mereka berdua berdamai dan kembali akur seperti semula.
“Kalian ini dikit-dikit berantem! dikit-dikit berantem! Ga bosan apa?!” kata oma yang membuat semua anak di panti tertawa.
***
Aku senang berada di panti, bukan sekedar karena aku menemukan keluarga baruku disini, tetapi di tempat ini aku banyak sekali belajar menikmati rasa bersyukurku atas semua karunia Tuhan, yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang terbaik dalam hidupku.
“Cakra! Ada surat dari ibumu,” teriak Mbok Tun dari kejauhan. Aku pun segera berlari menghampirinya.
Mbok Tun itu, orangnya sangat perhatian terhadap anak-anak di panti terutama dengan Santi. Hampir setiap hari setelah Santi mandi, Mbok Tun mengepang rambutnya menjadi dua bagian dengan sangat rapih, sehingga Santi terlihat menjadi lebih cantik.
“Itu surat dari ibumu,” kata Mbok Tun yang masih mengepang rambutnya Santi.
“Makasih Mbok Tun,” kataku.
“Iya,” jawab Mbok Tun yang mulai mengikat ujung kepang rambut Santi.
“Cakra bacanya nanti ya, tunggu rambutku selesai di kepang Mbok Tun, aku mau tahu kabar ibumu,” pinta Santi yang biasa menemaniku membaca surat dari ibuku.
“Sudah rapih sekarang, sudah mirip Divya Bharti,” kata Mbok Tun, setelah selesai mengepang rambutnya Santi menjadi dua bagian.
“Divya Bharti itu siapa Mbok Tun?” tanya Santi kepada Mbok Tun.
“Teman SD Mbok Tun, sekarang sudah jadi artis Bollywood,” jawab Mbok Tun sekenanya, yang membuat anak-anak di panti tertawa.
“Mbok Tun berkhayal,” balas Santi dibarengi tawa cantiknya.
“Sudah sana, temani Cakra baca surat dari ibunya,” kata Mbok Tun.
“Makasih ya Mbok Tun,” kata Santi sembari memegang kedua kepangnya.
“Jangan kebanyakan melamun kamu Cakra, doakan saja ibumu supaya selalu diberikan kesehatan dan keselamatan di sana,” kata Mbok Tun kepadaku.
“Iya Mbok,” balasku.
Tak lama kemudian Mbok Tun melihat Anto yang mencoba berbalik arah menghindar darinya.
“Eh! Anto, mau kemana kamu? sekarang kan jadwal kamu sama Darman dan Ismail bantu Mbok Tun di dapur,” kata Mbok Tun, kepada Anto yang tak dapat lagi menghindar dari tugasnya.
“Mau ke WC Mbok!” jawab Anto.
“Lho, barusan Darman sama Ismail izin ke WC, sekarang kamu mau ke WC juga? alasannya kok ga bermutu. Biar nanti Mbok Tun laporkan ke oma, kalian bertiga ini kalau dingatkan jadwal tugasnya selalu pergi ke WC. Cacingan apa kalian semua ini? lagi pula, WC itu arahnya ke belakang, bukan ke ruang tamu. Ayo! Bantu Mbok Tun di dapur! biar nanti Darman sama Ismail Mbok Tun laporkan ke oma.” Mbok Tun lalu berjalan ke dapur diikuti oleh Anto yang menggaruk kepalanya.
“Apesssss,” kata Anto.